“Welcome to coffee buy,” sapa Luke.
“Hai, Ben kan?”
“Elena kan?”
“El, panggil El aja.”
“Udah sampe? Tumblr mana, biar di isiin,” ucap Julian.
“Thank you, Jul.”
“Kalian berdua tuh pacaran kah?” tanya Luke sambil memproses pembayaran Elena.
Julian dan Elena saling bertatapan dan tertawa. “Enggak, takut di labrak ah gue,” jawab Elena.
“Wah lo ya El, gitu lo bener-bener,” saut Julian.
“Dah ah udah jam segini, gue jalan dulu.”
“Eh El lo kerja di MY Mall?” tanya Luke.
“Iya, kenapa?”
“Dimananya? Penasaran aja sih gue.”
“Kantor CEO Building management MY Mall. kenapa?” jawab Elena.
Traangg~!
Luke seakan tidak percaya, itu artinya Sekretaris yang di maksud oleh David adalah orang yang ada di hadapannya sekarang.
“Ada apaan?” Gris keluar dari ruang penyimpanan, dia melihat lantai sudah berantakan, dan Julian pun berulang kali melihat lantai dan Luke berulang kali.
“Lo kenapa Ben?” tanya Julian.
“Ah gak selip tangan gue. Sorry-sorry,” ucap Luke.
“Lo yakin? Kena kaki lo gak?” tanya Elena.
“Gue pake sepatu kok nyantai,” ucap Luke.
“Keluar dulu, keluar,” ucap Gris sambil menyeret Luke keluar dari konter.
Elena mengambil kopinya yang sudah selesai, Luke keluar dari konter, dan Julian pergi ke tempat penyimpanan.
Elena melihat Luke yang duduk di kursi pengunjung sambil melihat kakinya. Elena menyadari bahwa kaki Luke berdarah karena terkena pecahan keramik gelas.
“Kaki lo berdarah Ben,” ucap Elena.
“Ah iya gak papa, udah jalan gih lo El.”
“Duduk dulu diem,” ucap Elena.
Elena meletakkan tas dan tumblrnya, dia berjalan ke konter mengambil tisu dan botol air mineral di kulkas.
“Lo ngapain El?” tanya Julian.
“Kakinya Ben berdarah,” ucap Elena sambil berlalu.
Elena bergegas kembali dan melihat luka Luke. “Eh Ben, gulung celana lo deh.”
“Eh udah El gak usah gue bisa sendiri.”
“Udah buruan. Makin cepet lo nurut makin cepet juga kelarnya,” ucap Elena.
Luke hanya mengangguk mengikuti apa yang di perintahkan Elena. Elena membuka botol air mineral, Luke selesai menggulung celananya. Elena membuka sepatunya, dia menyiramkan air ke luka tersebut.
Elena langsung membasuh luka itu dengan cepat dan mengelapnya dengan tisu. Lalu dia mengeluarkan obat merah dan meneteskannya di luka Luke.
“Wow,” ucap Luke perlahan.
“Sabar dikit lagi.”
Elena membuka sebuah plester besar dan menempelkannya di kaki Luke. “Oke it’s done. Hati-hati nanti kalau sempet ke dokter, gue jalan dulu ya. Udah telat.”