Elena terduduk di sofa apartemennya. Luke melihat ke dalam kulkas, dia mengambil satu botol air mineral.
“Minum dulu,” ucapnya.
“Thanks, Ben.”
“Lo kenapa sih? Tiba-tiba keluar kantor nangis-nangis gitu? Kenapa? Ada yang bikin lo gak nyaman? Kerjaan lo numpuk?”
Elena menggelengkan kepalanya. “Gue gak pernah bermasalah kalau itu tentang kerjaan, tapi hari ini ada kejadian yang buat gue ngerasa keputusan gue untuk kerja itu salah.”
“Maksud lo?”
“Gue pernah bikin kesalahan yang fatal Ben. Gue pernah kerja dan gue ninggalin kerjaan gue gitu aja.”
“Well, menurut gue itu gak masalah gak sih?”
“Mungkin buat lo gak masalah tapi hal yang gue lakuin waktu itu fatal, bukannya gue beresin justru gue pergi gitu aja.”
“Oke, gue gak bisa menilai apa yang lo lakuin bisa di normalisasi apa gak tapi at least jangan salahin diri lo terlalu banyak.”
“Kalau lo tahu lo pasti ngerti dan lo pasti bilang gue juga salah.”
“Ada kejadian apa sih di kantor?” Tanya Luke.
Elena berdiri. Dia pergi ke kulkas. “Ben lo lebih suka bir atau wine?”
“Bir?”
Elena mengambil 2 kaleng bir dari kulkas, dia memberikannya ke Ben, mereka berdua bersamaan membuka kaleng itu.
“Jadi gimana kenapa?”
“Abis selesai proyek pameran MY Mall gue kayaknya resign Ben.”
Luke mengerutkan keningnya, kenapa tiba-tiba Elena memilih untuk resign padahal pekerjaan selalu bagus dan semua ini bisa terjadi berkatnya.
MY Mall bisa tanda tangan dengan Next TV, VX dan Grup Har juga karena dia.
“Proyek ini bukannya proyek MY Mall setelah sekian lama ya?”
“Iya tapi ya mau gimana lagi. Kayaknya cuma ini yang bisa gue lakuin, gue gak mau apa yang orang-orang pikirin tentang gue kejadian.”
“Maksud lo?”
“Ben, gue punya kehidupan yang buruk sebelum kita ketemu dan gue takut hal buruk yang pernah gue lakuin, gue lakuin lagi sekarang.”
“Terus jadi menurut lo, resign adalah jalan keluar?”
“Sebenernya kalau gue boleh milih gue gak mau resign, gue seneng kerja disana, gue bahagia kerja disana, tapi ketika kenyataan nampar lo kaya gitu, gue gak punya pilihan lain.”
“Tapi mau apapun kondisinya, kenyataan pasti akan terus ngebangunin kita dari mimpi indah El.”
Elena tersenyum sambil meneguk lagi bir itu.
-
Lorance apartment
Letysia terdiam di tempat tidur dia mencoba bangun walau badannya terasa sangat sakit.
Sean datang tidak dengan baik-baik saja, dia tahu, satu menit setelah dia tanda tangan kontrak itu dengan MY Mall akan membuat Sean murka.
Sean yang tidur di samping Lety merasa bahwa ada pergerakkan di sampingnya, dia pun terbangun.
“Kamu mau kemana?” Tanyanya tegas.
“Aku gak kemana-mana aku cuma mau ke kamar mandi aja, gak enak badan lengket.”
“Itu kan kita buat bersama, kenapa mau di ilangin?”
“Aku mesti kerja siang ini sayang, aku mandi dulu ya, kamu juga kan mesti ke kantor, nanti Rachel nyariin loh.”
“Kamu mau kerja kemana? Emang ada pemotretan hari ini?”
“Enggak, aku harus ketemu sama tim humasnya MY Mall.”
Sean menjambak rambut Lety. “Aw, sakit Sean,” rintih Lety.
“Aku udah bilang batalin pameran kamu sama dia!”
“Sean, aku pameran bukan karena Luke, tapi emang agensi aku yang mau, Sean please jangan… ” pinta Lety.
Sejak semalam dia berusaha semaksimal mungkin agar Sean tidak memukulnya.
Mungkin benar jika orang pernah bilang jangan menilai buku dari sampulnya. Tapi sebelum dia akhirnya berakhir dengan Sean dia sudah pernah mendengar cerita tentang Sean yang kasar terhadap wanita.
Dan Lety tidak percaya tentang hal itu.
Dia percaya bahwa itu hanya tuduhan orang yang tidak suka dengan Sean dan hanya karena mereka ditolak olehnya, dan ketika tahu bahwa dia dekat Sean mereka mulai bicara begitu.
Namun ternyata, itu benar adanya.
Plak~!
Tamparan itu akhirnya terjadi, tangan Sean yang besar, wajah Lety yang kecil membuat rasa dari tamparan itu 2 kali lebih menyakitkan.