Morning Coffee

Ang.Rose
Chapter #19

Chapter 19 : Even a long breath can't take it.

Elena POV

The third thing that I hate. I hate to be involved around him.

Aku selalu berusaha untuk tidak pernah terlibat dengannya, apapun itu, apapun yang terjadi antara aku dengannya waktu itu, sekarang aku tidak ingin sama sekali.

Tapi, setelah aku mendengar apa yang dikatakan Shinta dan Jenni waktu itu, bahwa orang itu telah kembali, dan bahkan sekarang aku sedang menuju kesana, ke tempat pacar barunya.

Aku tahu, aku tahu apa yang terjadi dan aku tidak menutup mata dengan apa yang mungkin akan aku temukan.

Mendengar bahwa, Luke sendiri yang turun tangan untuk membuat Letysia menandatangani kontrak itu, tidak mungkin laki-laki itu tidak tahu.

Tidak mungkin Rachel tidak memberitahu Letysia, walaupun dia tidak suka melihat Sean memukul perempuan tapi dia tidak punya pilihan selain menutup mata.

Dia bekerja, walaupun itu artinya dia harus menutup mulut tentang apa yang bosnya lakukan.

Aku tahu rasanya, ketika semua gerak gerik diawasi, bahkan makan saja terasa hambar, bekerja juga tidak konsentrasi. Walau sudah pergi darinya aku masih suka merasa ada yang mengawasiku.

Drrrt ~!

“Ya Jen, nomor berapa unitnya?” Tanyaku.

“1024,” jawabnya.

“Lo yakin?”

“Iya, Apartemen Lorence, unit nomor 1024.”

“Oke.”

Bajingan itu masih memakai kamar yang sama saat kami masih bersama.

Dan bahkan yang lebih menyedihkannya, aku masih memegang kartu akses apartemen itu.

Aku segera memarkirkan mobilku, dan pergi ke lift. Menekan lantai 10 dan akhirnya lift itu berhenti, aku keluar dari sana berjalan beberapa langkah, hampir ke ujung lorong.

Aku menemukan pintu itu.

Seakan terbang kemasa lalu, pikiran ku melayang-layang ke masa dimana kami berdua masih bersama.

Apartemen ini merupakan apartemen yang kami beli berdua, dan aku tidak memikirkan bahwa dia masih memakai apartemen ini.

Aku mengingat betul bagaimana kondisi saat itu, ataupun bagaimana setiap deraian air mata dan juga senyuman.

Bagaimana dia memukulku di setiap sudut apartemen itu. Membuka pintu pun sebenarnya berat dan menakutkan, tapi jika aku tidak melakukannya, mungkin dia akan mati.

Rasa ketakutan itu datang lagi. Aku benci ini.

Tok tok

Aku mencoba mengetuk pintu namun tidak ada jawaban.

Tok tok

“Siapa?” Tanya suara itu dari dalam.

“Saya dari MY Mall. Mba Lety bisa saya masuk?”

“Saya udah bilang sama Jenni saya gak mau dateng, jadi tolong please pergi.”

“Mba, tolong buka pintunya, saya harus ngomong.”

“Gak bisa! Udah keluar sana pergi.”

“Mba tolong buka, saya tahu mbak-nya kenapa jadi tolong buka, saya harus ngomong.”

“Tahu apa kamu!?” Teriak dia lagi.

“Saya tahu lebih dari apapun, jadi tolong buka.”

Cekreek…

Pintu itu terbuka dan begitu aku masuk kesana, apa yang aku curigai benar. Apartemen itu hancur berantakkan dan Letysia tidak terlihat baik-baik saja.

“Selesaikan hubunganmu dengannya atau hal ini akan terus terjadi,” ucapku begitu melihatnya.

“Lo tahu apa? Apa maksud lo bilang gue harus selesaikan hubungan gue sama dia? Emang lo siapa!”

“Gue mungkin bukan siapa-siapa ya, tapi tolonglah lo gak liat badan lo?”

“Gak usah komentar,” ucapnya sambil merapatkan kembali gaun tidurnya.

“Fine, kalau gitu ini surat penaltinya, karena pihak kalian yang memutuskan untuk tidak melakukan pameran jadi ganti ruginya adalah 1 miliar.”

“1 miliar? Kenapa sebanyak itu?”

“Udah tertulis di kontrak kan, kalau pemutusan sepihak ada konsekuensinya kan.”

“Saya gak bisa.”

“Kalau gitu..” aku membuka tas dan mengambil salep luka.

“Buka gaun tidur lo,” ucapku.

“Itu apa?”

Lihat selengkapnya