Rumah Sakit
Seorang perempuan bertubuh tinggi memiliki wajah campuran, ya biasa disebut blasteran, dia merupakan seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta besar di Jakarta.
Kemana dia berjalan biasanya akan ada satu dokter intern yang mengikutinya. Di jas putih yang dia pakai tertulis Alexandria Marina.
“Jes, abis ini saya ada operasi gak?”
“Enggak Dok, hari ini rawat jalan udah beres, sama operasi si gak ada, dokter juga lagi gak jaga malem kan.”
“Oke deh, thank you, saya balik deh ya kalau gitu.”
“Emm, Dok itu,” ucapnya sambil menunjuk ke depan pintu ruangan.
Alex melihat seorang laki-laki berdiri di depan ruangannya, masih dengan kaos hitam, celana jeans hitam, topi baseball putih, orang itu tersenyum sambil melambaikan tangannya.
“Hai kak!” sapanya.
“Kak? Gak usah sok nyapa kakak,” jawabnya.
“Ih kok gitu sih kak, jangan marah dong.”
“Udah jujur aja bikin masalah apa kamu sampe kesini nyamperin kakak?”
Luke tersenyum sambil menatap kakaknya, dia berjalan ke belakang kakaknya dan memegang pundaknya. “Gue lupa jemput mama di bandara, terus David juga lagi di luar negeri.”
“Hmm, bikin masalah lo emang El, El, emang David kemana sampe lupa juga?”
“David pergi ke Australia kak, gantiin gue ketemu klien disana.”
“Lah emang lo kemana? Kok gak lo yang pergi?”
“Jerry pergi, jadi lo paham lah.”
“Jerry pergi? Cafe baik-baik aja tapi?”
“Baik, cuma ya gitu Gris agak bete. Udah ah ngomongin gituan ayo kak temenin gue pulang, kalau lo gak temenin gue pulang, mati gue dipukul mama.”
“Iya, iya bawel banget banget lo jadi adek, heran gue.”
-
Coffee Buy
Julian melihat ke kiri ke kanan dia mencari dimana orang yang kemarin hampir saja dia pukul setelah dia tahu bahwa orang itu hampir merebut gebetannya.
“Nyari siapa lo?” Tanya Pam.
“Ben dimana?”
“Hmm, pulang, tadi ada yang nyari dia gitu terus akhirnya dia bilang dia harus pulang jadi dia pulang.”
“Eh Jul, gue denger dari Gris kemarin lo berantem sama Ben?”
“Terus kalau iya kenapa?”
“Siapa yang berantem sama Ben?” Sebuah suara muncul dari belakang mereka berdua.
Hal itu cukup mengejutkan untuk Julian dan Pamungkas, karena mereka tidak mendengar bel masuk sama sekali.
Julian menoleh kebelakang dan ternyata Elena ada di sana, terlihat masih rapi dengan baju kantornya sedangkan ini masih sore, belum malam.
Elena terlihat meminta penjelasan apa yang sudah dia dengar tadi apa maksudnya Julian dan Ben bertengkar, karena apa dan kenapa hal itu bisa terjadi.
“Lo udah pulang? Tadi gue pikir gue mau jemput lo El.”
“Gue abis dari luar ini mau langsung balik, lo berantem sama Ben? Kenapa?” Tanya Elena.
“Cuma perdebatan kecil kok lo tenang aja.”
“Gara-gara gue?” Tembak Elena langsung.
Julian terdiam begitu pula dengan Pamungkas, memang bukan karena dia secara langsung tapi hal itu terjadi karena mereka berdua memperebutkan orang yang sama.
“El duduk dulu aja, gue bikinin makanan ya,” ucap Pamungkas mencoba mencairkan suasana.
Pamungkas menarik Elena ke ujung ruangan dan membiarkannya duduk di sana. Namun Elena menarik tangan Pamungkas. “Pam… ”
“Tenang aja, mereka berdua cuma adu argumen kok bukan berantem yang sampe pukul-pukulan.”
“Beneran?”
“Beneran, lo mau makan atau mau cake aja?”
“Laper Pam gue,” ucap Elena.
“Oke, gue buatin carbonara ya buat lo, kayaknya bahannya sih masih ada.”
“Thank you.”
Pamungkas kembali ke konter dan melihat Julian yang sedang membuat kopi. “Lo jelasin deh ke dia, kita semua kan udah temenan, gue paham kalau lo suka sama dia, tapi kan dia belum tentu suka sama lo juga, jangan bikin situasi makin lebih rumit dari yang seharusnya,” ucap Pamungkas.
“Iya Pam, gue usahain.”
Julian membawa gelas kopi itu ke meja Elena, dia meletakkannya di depan Elena. “Sorry kalau gue bikin lo overthinking ya.”
“Lo kenapa sama Ben? Karena gue?”
“Sebenernya gue cuma kaget aja pas kalian berdua dateng bareng, terus gue tahu kalau dia jemput lo dan dia nginep di rumah lo El.”
Elena memejamkan matanya. “Terus maksudnya lo cemburu?”
“Yang gue tahu seharusnya itu tugas gue El, itu tugas gue buat jemput lo.”