Morning Coffee

Ang.Rose
Chapter #24

Friend always come in the right time

MY Mall.

Elena melihat ke venue tempat acara yang akann di pakai nanti malam, semua sesuai dengan permintaannya. Seluruh staff yang berhubungan dengan pameran ini di ganti oleh perempuan.

Dari staff panggung hingga pengamanan semua di gantikan dengan perempuan setidaknya itu yang bisa dia lakukan, mengingat ketika Lety sudah bicara dengan Rachel, Sean pasti juga sudah tahu bahwa seluruh staff di ganti oleh perempuan.

Jenni melihat Elena yang sedang mengatur pameran dia mendekati Elena. “Len… ”

Elena menoleh dan melihat Jenni yang ada di belakangnya. “Hai Jenn.”

“Lo beneran mau resign abis ini?” tanya Jenni lagi.

Elena mengangguk, ya ini adalah acara terakhir yang akan dia lakukan setelah itu dia akan menghillang dan tidak akan muncul disini.

“Yang di bilang bu Naira bener, mau gimana pun juga gue hampir ngancurin perusahaan gue sendiri, kalau waktu itu adek gue gak ada di sana mungkin perusahaan itu tinggal nama.”

“Tapi bukannya Elcika masih punya lo?”

“Nama doang, karena gue secara tidak langsung udah di usir sama perusahaan gue sendiri. Estra yang berusaha untuk balikin nama perusahaan gue itu supaya masih berjalan.”

“Terus kalau lo keluar dari sini, lo mau kemana? Gue tahu lo gak ada masalah finansial, tapi kerja lo selama ini, gue yakin lo bisa kenal banyak orang juga karena usaha lo yang gak berhenti.”

Elena menatap Jenni lalu memegang pundaknya, lalu tersenyum. “Tenang aja, gue tahu gue mau ngapain, dan selama mereka, keluarga gue tahu gue masih hidup itu yang buat mereka tenang.”

“Len, lo ngomong seakan lo mau mati, lo denger gak sih kata-kata lo sendiri?”

“Dengerlah, udah tenang aja oke? Kita masih punya pameran yang harus di jalanin.”

Fine… percuma ngomong sama orang keras kepala ternyata.”

Elena tersenyum mendengar kata-kata Jenni, ya tidak ada yang pernah mengatakan bahwa dia orang yang keras kepala. Selain sebutannya sebagai perempuan tangguh, pendiam dan tegas.

Ayahnya pernah bilang bahwa mereka berdua mirip, mereka lebih suka menyendiri dan melakukan segala sesuatu sendirian dari pada harus melakukan sesuatu bersama dengan orang lain, ataupun orang lain tahu tentang itu.

Mengingat tentang ayahnya dan kemarin Estra datang ke apartemennya, entah kenapa itu membuatnya menjadi ingat dengan keluarganya.

Dia terkadang terlalu fokus dengan hidupnya sendiri, seperti apa yang dikatakan oleh Luke, dia mungkin merasa itu adalah rasa bertanggung jawabnya dengan tidak menarik orang lain dalam masalahnya.

Tapi sebenarnya itu hanya tindakan egois, dimana dia menutup akses semua orang terhadap dirinya ketika dia sebenarnya sangat membutuhkan orang lain.

Dan dia berpikir itu adalah jalan terbaik padahal nyatanya tidak. Kini dia menyesali hal itu, dia menyesal menutup diri bahkan dari sahabatnya sendiri.

Orang yang dulu selalu menemaninya, orang yang selalu ada untuknya tapi dia mengusirnya begitu saja.

Mendadak air mata Elena mengalir, dia berusaha menghapusnya dengan cepat, Jenni melihat hal itu langsung menarik tangan Elena.

“Lo kenapa? Gak papa?”

“Enggak papa,” ucapnya. “All staff 200 kan?”

“Iya, kenapa?”

“Gue udah pesenin kopi, ntar gue ambil, gue ke toilet dulu, lo bisa final check sendiri?”

“Bisa kok, tenang aja, ini bukan pengalaman pertama gue.”

“Thank you.”

Elena pergi ke toilet dia membasuh wajahnya perlahan dan menatap wajahnya sendiri di kaca.

Fisiknya sudah membaik, fisiknya sudah kembali normal tapi entah kenapa seluruh bayangan itu masih menghinggapi dirinya, itu yang tidak dia mengerti kenapa, semua itu masih membayanginya sampai sekarang.

Bahkan setelah dia melihat Lety, bayangan itu kini makin jelas, hal yang dulu menimpanya yang selama ini sudah dia lupakan kini muncul lagi.

Elena berpegangan pada pinggir westafel karena dia tahu kakinya mulai lemas, nafasnya mulai tidak beraturan.

Kenapa, itu adalah pertanyaan yang terus berada di kepalanya, kenapa semua itu bisa terjadi.

Lihat selengkapnya