Coffee Buy.
Julian masih membersihkan konter dan memasukan biji kopi ke mesin penggiling.
Ting~!
“Maaf kami belum buka,” ucap Julian.
“Hai, Jul,” sapa Elena dari depan pintu.
Julian mengerutkan keningnya, Elena terlihat pucat dan tidak baik. Mobil lain terparkir di depan cafe, dan dia tidak bisa membaca apa yang akan terjadi. Namun Julian hanya tersenyum, sepertinya memang mereka harus bicara.
“Duduk dulu, nanti gue kesana.”
Elena hanya mengangguk. Julian mengambil gelas dan menuangkan bunga teh lalu mencampurnya dengan air hangat. Dibawanya gelas itu dan memberikannya ke Elena.
“Minum, itu teh kok, biar lo lebih rileks.”
“Thank you,” ucap Elena sambil memegang cangkir itu, merasakan hangatnya yang mengalir melalui gelas.
“Lo gak kerja hari ini?” tanya Julian.
“Gue abis ini ke kantor. Jul, gue mau ngomong sesuatu.”
“Sebelum lo ngomong boleh gue ngomong duluan?”
Elena hanya mengangguk.
“Kalau lo nanya apa yang terjadi di antara gue dan Ben, kita gak papa, lo gak usah ngerasa hubungan gue dan dia rusak. Dan gue pengen memperjelas sesuatu. Gue suka sama lo El.”
Elena menunduk sebentar, lalu menatap Julian. “Kalau lo nanya apa gue tahu lo punya perasaan ke gue jawabannya gue tahu. Tapi mungkin gue gak bisa apa-apa tentang itu.”
“Maksud lo?”
“Jul, gue gak bisa melarang orang lain untuk berpikir apa tentang gue, gue juga gak bisa melarang lo buat gak suka sama gue atau cukup anggap gue temen. Tapi gue cuma bisa bilang, gue tidak dalam kondisi untuk memulai hubungan dengan orang lain.”
“El… ”
“Dan gue berharap baik lo ataupun Ben bisa hargain keputusan gue, gue gak bisa di Jakarta sekarang dengan kondisi yang kaya gini.”
“Lo mau kemana?”
“Gue harus pergi buat sementara ini, gue bener-bener berterima kasih sama lo, Gris, Pam sama Rein, kalian adalah temen gue setelah 2 tahun menyendiri. Kalian yang buat gue ngerasa gue masih bisa hidup, berani ketemu orang dan berani lagi buat kerja. Walau sekarang kondisinya kaya gini.”
“2 tahun? Lo sebenernya kenapa El?”
“Ada masa dimana kehidupan gue terlalu buruk dan gue bahkan gak bisa liat orang luar, atau bahkan berpikir untuk mati. Tapi gue sekarang udah gak papa kok, lo gak usah khawatir.”
“Kalau lo gak papa untuk apa lo pergi?”
“Ada yang harus gue selesaikan. Ada yang bilang sama gue bahwa ini udah saatnya gue menyelesaikan semuanya kalau gue udah siap. Gue harus mikirin ini mateng-mateng apa gue udah bener-bener siap.”
“Dan menurut lo pergi adalah cara terbaik buat mencari tahu lo udah siap atau belum?”
“Jul, I’m sorry but you don’t know me before this, jadi lo gak bisa ngomong ke gue kaya gitu.”
“Gue tahu, gue paham, gue gak punya hak dan gak bisa ngomong begitu ke lo karena jujur gue juga gak ngerti untuk apa anak keluarga Gancika jadi sekretaris CEO Mall.”
Elena menatap Julian tidak percaya. “Lo tahu kalau gue Gancika? Dari kapan? Apa itu artinya semua orang juga udah tahu gue Gancika?”
“Erin yang ngasih tahu gue kalau lo Gancika. Intinya, kalau lo merasa kita adalah temen lo, kenapa lo gak tetep disini sampai semua masalah lo selesai? Gue bisa bantu lo.”
“Bantu gue buat lawan keluarga peringkat 10 besar di ASEAN?” Tanya Elena.
“Maksud lo?”
Elena tersenyum, tapi senyuman terasa pahit. Bahkan dia belum minum kopi pagi ini tapi mulutnya sudah terasa getir, asam yang terasa di lambungnya naik ke tenggorokan, seakan menstimulasi perutnya untuk memuntahkan seluruh isinya.
Tapi Elena mencoba menahannya, dia bahkan tidak sudi merasa bahwa tubuhnya kembali di sentuh oleh Sean.
“Lo akan tahu nanti. Gue sekali lagi pamit. Gue titip ini buat anak-anak yang lain, thank you Jul,” ucap Elena.
“El… ”
“I mean it Jul, thank you for everything you’ve done for me, taking care of me. Gue tahu lo sadar bahwa gue gak nyaman sama laki-laki dan lo tetep sabar sampai akhirnya gue bisa nerima keberadaan lo. So thank you.”
“Jadi maksudnya, gue cuma cukup sampai disini?”
“Gue udah bilang, ini bukan tentang gue gak suka sama lo atau gue gak nerima lo, tapi ini karena gue belum siap untuk memulai hubungan baru, baik lo atau Ben, kalau kalian tahu apa yang terjadi, kalian gak akan menganggap gue sebagai perempuan yang menarik.”
“Tapi gue beneran suka sama lo El, despite you are a Gancika or not.”
“Pikirin lagi baik-baik lo tertarik gue sama gue karena gue atau lo merasa gue adalah orang yang butuh di temenin, karena lo membaca gue dengan sangat baik,” ucap Elena.
“Lo tahu gue gak nyaman dengan keberadaan lawan jenis, lo jaga jarak lo, lo tahu gue gak suka bersentuhan sama laki-laki lo yang salaman sama Rein, lo tahu gue kaget karena ada Ben tiba-tiba lo yang ambil alih, lo tahu gue anxiety karena mau kerja lo akhirnya jemput gue di kantor. Gue tahu Jul, gue tahu lo notice semua itu,” sambung Elena.
Julian tidak menyadari bahwa dia melakukan semua itu, dia bahkan tidak sadar bahwa dia melakukan itu pada Elena.
"Gue tahu lo begitu bukan karena lo kasian sama gue. Tapi, jangan buat diri lo sendiri salah paham sama perasaan lo. Lo ngelakuin semua itu karena lo sadar dengan kondisi gue atau emang lo bener-bener tertarik sama gue? Karena apa yang gue liat lo ngelakuin itu semua karena lo ngerti apa yang terjadi dengan gue."
“I’m sorry El.”
“Lo gak perlu minta maaf Jul. Ini bukan sebuah kesalahan yang harus ngebuat lo minta maaf ke gue. Gue justru pengen banget berterima kasih sama lo, tanpa lo mungkin gue gak bisa ketemu orang atau bahkan punya temen baru. So thank you so much.”
Elena memegang tangan Julian dia menggegam tangan itu sebentar. “Let me go oke?” Ucap Elena.
“How can I let you go?”
“You have to. I know you can.”
“It’s hard enough.”
“I’m so sorry. I need to go. Salam sama yang lain ya.”
Elena melepas genggamannya lalu pergi dari Coffee Buy.