Seminyak, Bali.
Hiruk pikuk kota hari itu dipenuhi oleh turis dan yang lainnya, ya ini sudah genap 2 minggu dia berada di sini, sampai saat ini, belum ada satu berita tentang Luke atau pun Sean.
Dia bahkan tidak berani untuk menghubungi siapapun termasuk Jenni, walau dia tahu di dalam hatinya dia merindukan aktivitasnya di Jakarta dulu.
Bercanda dengan barista Coffee Buy. Bekerja dengan Jenni, membayangkannya saja sudah membuatnya cukup bahagia.
Dia tidak menyangkah pada awalnya bahwa dia bisa mempunyai ikatan baru dengan orang lain, atau lebih tepatnya dia mempunyai teman baru, dia tidak pernah menyangka itu.
Tapi ternyata inilah yang terjadi, dia bertemu dengan orang baru dan akhirnya bisa menjalin hubungan dengan orang lain.
Namun, ada satu hal yang mengganggunya. Estra, adiknya yang keras kepala itu tidak mencarinya.
Itu saja sudah mencurigakan, walau dia yakin Estra bisa dengan mudahnya mengetahui dimana dirinya.
Apa ada sesuatu di Jakarta?
Apa Sean sudah mulai bertindak?
Atau Estra sekarang sudah mulai untuk balas dendam?
Atau ayahnya sudah bekerja keras menutupi apa yang terjadi?
Sebenarnya apa yang terjadi.
Pikirannya terus melambung entah kemana dan membuatnya makin cemas.
Wajahnya mulai kembali murung, senyumnya kembali menghilang. Abigail menyadari hal itu dia mendekat sambil membawa gelas kopinya.
“Tadi senyum-senyum sekarang murung, kenapa?” tanya Abi.
“Bi, lo tahu apa yang terjadi di Jakarta selama gue disini?”
Abigail meletakan gelas kopinya. “Gue sih jujur belum dapet kabar apa-apa, Estra juga gak hubungin gue sama sekali.”
“Estra pasti udah tahu kalau gue gak ada di Jakarta. Tapi kenapa dia gak nyari gue ya.”
“Lo nanya sama gue gue nanya sama siapa coba.”
Elena hanya menatap Abi dengan cemas, sambil akhirnya dia berbalik ke arah berlawanan menatap kolam berenang lalu bertanya.
“Udah jam segini lo gak kerja?”
“Enggak, gue hari ini mau nanya sama lo, sebenernya apa yang terjadi 2 tahun lalu, dan apa yang terjadi sebelum lo dateng kesini, dan El, gue rasa ini udah waktunya lo jujur sama gue kan?”
Elena membuka kulkas dan mengambil botol bir, dia membukanya lalu memberikannya ke Abigail, dia pun membuka satu untuk dirinya.
“Kalau untuk 2 tahun lalu, gue rasa Estra udah cerita sama lo? Termasuk gimana gue gak keluar apartemen selama hampir 2 tahun?”
“Lo hampir setahun di rumah sakit, tapi maksud gue kenapa kecelakaan itu bisa terjadi?”
“Bisa Bi, kenapa gak? Dia bilang bahwa lebih baik kita mati daripada gak bisa sama-sama.”
“Itu percobaan bunuh diri?”
Elena menganggukan kepalanya. “Kalau gue gak sigap ngambil alih setir mobil itu mungkin udah nabrak ujung pembatas jalan tol yang tajem, gue juga masih sempet buat bikin dia nginjek rem, walau mobil kita ke balik untungnya gue atau kita berdua gak papa.”
“Gue gak heran kenapa Estra pengen banget ngebunuh itu orang, kalau gue tahu kejadiannya kaya gini mungkin gue juga sama kaya Estra.”
“Gue gak pengen lo harus berurusan sama Sean, karena cukup gue dan Perusahaan gue yang jadi korban.”
“Gue gak ngerti sih El sama lo, kenapa lo bisa-bisanya termakan bujuk rayu dia.”
“Di Harvard gue gak punya banyak temen lo juga temen gue satu-satunya tapi karena kita beda jurusan kita jadi gak punya banyak waktu, dan waktu itu pasti ngeliat dia jadi pembicara, gue awalnya cuma kagum.”
“Ya gak heran, orang yang manipulatif paling bisa bikin topeng.”
“Lo juga ngerasa gue begitu kan? Punya banyak topeng?”
“Gue selalu tahu kalau lo gak mau cerita sama gue sama apa yang terjadi, gue pun sadar lo menjauh sejak pacaran sama dia, tapi gue gak tahu kalau sejauh itu. Kalau aja waktu itu gue lebih keras sama lo.”
“Bi, ini bukan salah lo, dia terlalu manipulatif dan ngebuat gue merasa kalau gue gak bisa hidup tanpa dia, dan gue takut dia kenapa-napa kalau gue ninggalin dia.”
“Sejauh itu dia manipulasi perasaan lo?”
“Dulu gue mana ngerti, dulu gue mana paham kalau dia menutup akses gue ke orang lain, nutup jalan pikiran gue, dan membuat gue bergantung sama dia, ataupun ngebuat gue merasa kalau gue gak ngikutin kemauan dia, gue salah dan gue bukan anak baik.”