Bali.
Elena pergi ke supermarket di dekat villa Abi, ini sudah hampir 3 minggu dia disini, tapi sampai sekarang dia belum melihat adanya tanda-tanda Sean mengetahui keberadaannya.
Ini memang aneh dan sangat aneh, Sean adalah orang yang tahu bagaimana kehidupannya, siapa temannya dan kemana dia ketika dia tidak ingin diganggu.
Seakan Sean sedang menunggu sesuatu terjadi, dan jika itu benar, ini yang dia takutkan.
Kembali kehidupan orang-orang terdekatnya akan sengsara karenanya. Dan dia tidak mau itu.
Elena mendorong troli belanja sambil berhenti di lorong kopi. Dia melihat ada merek kopi Hers disana. Kopi yang menemukannya dengan teman-temannya di Coffee Buy.
Ya hal itu dia rindukan, setiap pagi selalu pergi kesana, bukan hanya tentang kopi, tapi tentang bagaimana setiap dia kesana dia diperlakukan sebagai keluarga.
Ketika dia tidak bisa mengucapkan selamat pagi pada siapapun di apartemennya, dia bisa mengucapkan itu di sana. Dia bisa merasakan bagaimana pulang.
Coffee Buy bukan rumah bukan juga tempat bermain, tapi orang-orang yang ada di sana yang membuatnya selalu ingin datang jika dia bisa.
Terkadang itu membuatnya bertanya-tanya bagaimana kabar mereka sekarang, apa mereka membencinya karena pergi begitu saja, atau mereka sudah tidak peduli lagi dengannya.
Elena mengambil satu pack kopi itu dan berjalan ke lorong lain, ya lorong yang membuatnya mengingat sebuah ucapan cliche yang dilontarkan oleh Luke.
“Bibirmu manis setelah minum bir.”
Kalimat itu seakan menjadi sebuah mantra yang membuatnya merasakan bahwa Luke itu sebenarnya tulus dan dia mulai merasakan dirinya yang perlahan-lahan mulai merasakan hal yang sama.
Tapi, Elena tidak pernah berani untuk mengatakan hal itu. Mengatakan bahwa mungkin saja benar bahwa dia mencintai Luke sekarang. Elena tahu bahwa Luke akan menerimanya bagaimanapun bentuknya.
Tapi Elena lebih memilih untuk pergi, karena hanya itu satu-satunya jalan, karena dialah masalahnya, dialah yang membawa takdir buruk untuk Luke.
Dan ada beberapa hal yang harus dia selesaikan, dan itu termasuk dirinya sendiri.
Elena pergi ke kasir, dia fokus mengeluarkan belanjaan sambil melihat ke TV.
“Berita berikutnya, diduga adanya indikasi perampokan, sebuah cafe di Jakarta Selatan ditemukan hancur berantakan. Seorang pegawai yang bertugas untuk membuka cafe di pagi hari menemukan pintu cafe sudah tidak terkunci dan seluruh cafe dalam keadaan hancur. Diketahui kerugian mencari 250 juta lebih dalam bentuk interior, alat, dan juga supply. CCTV di dalam cafe pun juga telah rusak, cafe ini terletak dengan gedung-gedung apartemen hal ini menarik pendapat dari beberapa penghuni karena merasa tidak aman. Manager Store menambahkan, tidak ada uang yang hilang hari itu, brankas mereka juga masih aman, namun kerugian dari alat dan supply sangat besar.”
Elena terkejut mendengar hal itu, dia tahu bahwa itu ulah Sean, tidak ada di dunia ini yang bisa melakukan hal seperti itu dan bersih selain dia.
“Berita Selanjutnya, CEO dari MY Mall, Luke Ben Marina, dikabarkan pernah menghamili mantan pacarnya saat di Australia dan memaksanya untuk menggugurkan kandungannya, diketahui orang tua juga terlibat dalam ini, belum ada pernyataan resmi dari keluarga Marina. Apa karena ini pertunangan antara keluarga Marina dan Gancika akan berakhir?”
“Pengacara dari CEO Laksa Grup, Sean Laksa Putra melayangkan gugatan pada CEO MY Mall Luke Ben Marina, karena Luke Ben melakukan kekerasan pada Sean Laksa dan membuatnya harus berada di rumah sakit selama 1 minggu. Belum di ketahui apa penyebab pertengkaran diantara kedua CEO itu namun di pastikan hal itu terjadi di MY Mall. Sampai Saat ini pihak MY Mall belum dapat dimintai keterangan, Bahkan David Yaniar selaku Wakil Direktur di MY Mall juga tidak dapat dihubungi.”
“Kak, totalnya jadi satu juta dua ratus lima puluh ribu.”
Elena langsung mengeluarkan kartu kreditnya dan langsung keluar dari sana, nafasnya seakan tercekat dia tidak bisa bernafas. Di dalam mobil dia seakan berada di dalam air.
Hidungnya tidak bisa bernafas, membuka mata pun tidak bisa, jantungnya berdegup kencang, tangan, kaki hingga tubuhnya bergetar seakan dia akan kejang.
Dia mencoba mengatur nafasnya namun sulit. Dia ingin membuka mata tapi kelopak matanya seakan di lem hingga dia tidak bisa membukanya.
Elena meremas dadanya, memukulnya berusaha untuk bangun dari serangan panik yang dia derita. Namun nafasnya justru makin pendek.
Dia sudah pasrah jika akan mati hari ini, karena semuanya sangat gelap, gelap sampai dia tidak bisa melihat apa ada cahaya yang menunggunya, atau membuatnya keluar dari kegelapan itu.
Praang~!
Elena terkejut mendengar kaca mobil yang di tumpangi pecah, tangan itu membuka kunci mobil. Lalu membuka pintu dan menarik Elena keluar.
“Buka mata!” Teriak suara itu.
“El buka mata kamu!” Teriak suara itu lagi.
“El, please, buka mata kamu!” Teriak suara itu lagi.
Elena mencoba membuka matanya dan betapa terkejutnya dia siapa yang ada di sana, tapi itu tidak mungkin. “Nu?” Ucap Elena lirih.
“El!” Teriak sebuah suara lagi. Kali ini dia tahu suara siapa itu.
“Bi?” Elena kembali mencoba melihat situasi dan benar itu adalah Abigail.
“Bi, Sean ngelukain cafe dan Ben, gue harus gimana?”
“Lo tenang dulu, kalau lo hyperventilate begitu di dalem mobil ac gak nyala lo bisa mati tahu gak!” Abigail tidak tahu apa yang ada di pikiran temannya itu.
Dia mengalami serangan panik di dalam mobil yang bahkan tidak menyala, AC tidak ada dan itu membuat kondisi di dalam minim oksigen dan lebih panas.
Abigail mengeluarkan sebuah kertas seperti bungkusan makanan dia memberikannya ke Elena, dia langsung berusaha bernafas dari sana.
Abigail melihat ke sekeliling matanya melihat ke arah yang berlawanan dari Elena orang itu berdiri di sana sambil mengisyaratkannya untuk diam.
Di saat itu Abigail mengerti, bagaimana Luke mencintai temannya. Bahwa terkadang kita tidak perlu terlihat mencintai untuk peduli. Menjaga seseorang yang kita cintai, dan mencintai tanpa pamrih.
Kedua orang ini mengajarkan banyak hal, tanpa Elena ataupun Luke sadari.
Abi mungkin tidak memiliki kisah cinta yang rumit seperti Elena tapi apa yang terjadi dengannya membuatnya semakin mengerti jika nantinya hal seperti ini terjadi.
Dia juga belajar bahwa mencintai itu membuat kita memiliki banyak cara untuk saling melindungi, tapi terkadang melindungi juga bisa membuat kita saling melukai.
“Udah tenang?” Tanya Abigail.
Elena hanya mengangguk. Dia membawa Elena pergi ke mobil lain. “Pak tolong urus mobil yang itu ya,” ucap Abi.
“Iya mba, pulang aja biar saya yang urus.”