Morning Coffee

Ang.Rose
Chapter #43

Chapter 43 : Take care.

LF Building


 “Pak kita sudah sampai,” ucap Lukman.

Andre terdiam sebentar sambil menatap gedung itu. Gedung ini awalnya akan di peruntukan untuk hotel dan restoran untuk Nuan, tapi karena Nuan telah tiada, mereka merelakan gedung ini.

Andre sebagai seorang ayah merasa kurang cakap dalam mengurus keluarga, bahkan ketika anak laki-lakinya sakit, dia pun tidak mengetahuinya dan itu menyakitkan hatinya.

Ketika Elena membawa Sean masuk ke dalam keluarga mereka, semua seakan baik-baik saja, semua terasa sangat menyenangkan, dia kembali memiliki anak laki-laki.

Tapi ternyata orang itu melukai hatinya, melukai anaknya dan itu sangat menyakiti hatinya.

“Kamu udah bilang sama polisi kan?” tanya Andre.

“Sudah pak. Sebentar lagi mereka datang.”

“Ayo kita masuk.”

Kedua orang itu turun dari mobil, sebelum Polisi datang mereka masuk ke dalam gedung itu, Andre sebenarnya tidak ingin seperti ini, dia masih mau memberikan Estra kesempatan untuk menyelesaikan ini tapi, ketika dia tahu masalahnya sebesar ini sekarang.

Dia tidak bisa diam. Tidak lagi. Setidaknya jika dia tidak bisa menyelamatkan seseorang dulu, kini dia harus menyelamatkannya setidaknya satu orang.

Nuan harus pergi tanpa mereka ketahui penyakitnya, dan Elena hampir menghilang ketika di luar negeri, Andre tidak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

Anak-anaknya benar sudah mandiri tapi, dia tidak mau ikut campur, tapi kali ini dia tidak ingin kehilangan lagi, dan dia akan ikut campur.

“Herdian,” panggilnya begitu masuk ke dalam sebuah ruangan.

Herdian terkejut melihat Andre ada di depan pintu kantornya. Dia seakan tidak tahu harus berbuat apa sampai tiba-tiba Rachel masuk ke dalam ruangan dan juga bingung melihat Andre ada disana.

“Pak Andre,” ucap Rachel.

“Rach, kamu keluar dulu,” ucap Herdian.

“Pak, tapi saya baru dapet laporan… ”

“Saya ngerti, kamu keluar dulu hubungi Sean suruh dia dateng.”

“Baik Pak.”

“Lukman, kamu juga keluar aja.”

“Baik pak, saya tunggu di depan pintu.”

Andre duduk di kursi, dia duduk dengan santai. Sedangkan Herdian sudah bisa mengira apa yang akan terjadi sekarang, dia sudah bilang Sean untuk tidak lagi mencari masalah dengan Gancika, dan sekarang semuanya sudah terlambat.

“Andre, apa ini gak bisa di bicarakan?”

“Her, saya udah bilang untuk ajak anak kamu bicara, tapi kamu malah minta proyek dan gedung, saya kasih kan?”

“Cara saya didik anak itu urusan saya kan?”

“Saya tahu dan saya gak mau ikut campur soal itu, tapi, kamu jangan tutup mata. Sean seperti ini itu juga ada campur tangan kamu.”

“Dia punya pilihan saya gak perlu ngajarin itu. Lagi pula kamu mau saya untuk usir dia dari sini kan?”

“Saya mau dia menjauh dari Elena, iya, bener. Tapi saya gak pernah berpikir bahwa kamu bakal ngusir dia dari Indonesia bahkan saat kondisinya masih butuh pertolongan. Apa pernah anggap dia anak kamu?”

“Cukup basa-basinya, kamu kesini mau apa? Kamu mau saya nyuruh Sean buat cabut tuntutan? Atau mau ngusir dia lagi.”

“Coba kita ngomong sebagai sesama orang tua. Sean itu anak kamu Her, apa kamu gak bisa ajak ngomong anak kamu?”

“Apa kamu bisa ajak ngomong anak kamu sendiri? Yang bahkan menghilang dua tahun?”

“Dia menghilang karena Sean, bukan karena saya dan istri saya memperlakukan dia dengan tidak baik.”

“Istri? Kamu masih punya istri Andre, saya enggak.”

“Dan kamu berpikir, lahirnya Sean adalah penyebab kematian Rina? Her, kamu tahu Rina bisa meninggal kapan aja karena penyakitnya, tapi kalian tetep memaksa untuk punya anak. Dan ketika dia berjuang mati-matian untuk bisa lahirin Sean kamu anggap Sean sebagai penyebab kematian Rina?”

“Jangan pikir kamu tahu soal saya dan Rina!”

“Tapi masalahnya saya tahu Her. Sean gak pantes dapet perlakuan begitu dari kamu, kamu ayahnya harusnya kamu melindungi dia, ajak dia bicara dan terima dia. Bukannya menolak, atau hal ini akan terus terjadi.”

“Saya bilang jangan ajari saya bagaimana caranya mendidik anak saya!”

Braak~!

Sean dan Rachel masuk bersamaan, kedua orang itu terdiam, mereka berhenti bicara. Herdian terlalu keras kepala, dia tidak mau merendahkan diri untuk bicara dengan anaknya sendiri.

“Papah… ”

Lihat selengkapnya