Lorance.
Sean masih terdiam di apartemennya setelah kejadian semalam, dia tidak bisa memikirkan apalagi yang akan terjadi sekarang, dia bahkan tidak bisa memikirkan apa yang sebenarnya dia tuju atas semua yang telah dia lakukan.
Lety yang baru mengambil makanan dari bawah melihat kondisi pacarnya sekarang justru merasa kasihan, Lety membuka bubur dan menuangkannya di mangkok.
“Sean, kamu makan dulu,” ucap Lety.
Sean melihat Lety lalu memeluknya. “I’m sorry Let.”
Lety mengelus punggung Sean. “Aku mungkin bisa maafin kamu, tapi kamu sadar kan sekarang bukan itu masalahnya.”
“What should I do now?”
“Aku gak tahu, cuma kamu yang tahu harus ngapain Sean, aku cuma bisa nemenin kamu aja sekarang.”
“Aku harus bisa beresin semuanya.”
“Pelan-pelan oke, kamu bisa kelarin ini pelan-pelan.”
Ting Tong~!
“Kamu makan dulu aku buka pintu.”
Sean hanya mengangguk, dia mengambil mangkok itu, sedangkan Lety menuju pintu depan, dia membuka pintu depan dan ternyata Rachel yang muncul disana.
“Mba, maaf tapi.”
“Iya udah gak papa, Sean lagi makan.”
“Oh, iya mba.”
Lety dan Rachel berjalan beriringan, Sean yang sedang makan melihat Rachel ada disana, seakan dia sudah tahu apa yang akan terjadi.
“Kenapa?”
“Pak, Bryan bakal ke kantor polisi tapi saya udah bilang tunggu dulu, karena seteah masalah LF saya rasa… ”
“Iya udah biarin, kita mediasi lagi sama MY Mall. Masalah LF gimana?”
“Sesuai dengan regulasi, LF harus kita tutup, kita juga harus bayar denda.”
“Berapa?”
“Mereka minta 15 M.”
“Minta Bryan untuk turunin dendanya, karena kita juga gak akan bisa operasi lagi di LF.”
“Baik pak saya usahain. Saya buat janji sama MY Mall untuk harinya nanti saya kabari bapak, saya permisi dulu.”
“Rach,” panggil Sean.
“Ya Pak.”
“Thank you.”
“Bapak gak perlu begitu sama saya. Saya permisi.”
-
Manny’s
“Elena permisi ke kamar mandi dulu ya,” ucapnya sambil berdiri.
Luke memegang tangan Elena sebentar, “mau aku temenin gak?”
Elena mengerutkan keningnya tidak percaya mendengar ucapan Luke di depan orang tua. “Diem gak, udah disini aja,” ucap Elena.
“Oke… ”
Elena berjalan dan pergi dari sana dia pergi ke kamar mandi hanya sebagai alasan karena ketegangan yang ada di sana jauh lebih dari perkiraannya, dan dia merasa dia akan hilang kendali kapan pun itu.
Jadi lebih baik dia menyingkir untuk menenangkan diri.
“Kabur lo?” ucap seseorang dari belakang.
Elena menoleh dan ternyata Shinta ada disana. “Sebentar aja gak papa lah harusnya.”
“Bokap lo tadi nanya gue.”
“Nanya apa?”
“Dia nanya lo cerita apa ke gue, gue bilang aja lo gak cerita apa-apa, dan gue denger lo pacaran sama Luke Ben, beneran El?”
Elena mengangguk. “Gue sebenernya… ”
Elena berhenti bicara begitu dia lihat Naira ada di depan pintu kamar mandi, Shinta pun dapat melihatnya dari pantulan kaca. Shinta berbalik begitu pula dengan Elena yang berusaha bersikap tenang.
“Kita ngobrol lagi nanti ya El.”
“Oke,” jawabnya.
Shinta keluar dari sana, berganti dengan Naira yang masuk ke dalam kamar mandi.
“Bu,” sapa Elena.
“Saya masih sama dengan pendirian saya tentang kamu Elena, jadi saya harap kamu gak marah sama saya tentang itu.”
“Saya mana mungkin marah sama ibu, saya pun gak bisa memastikan bahwa saya udah lebih baik sekarang,” ucap Elena sambil menunduk.
“Saya tahu semua orang bisa berubah dan semua orang punya waktunya masing-masing, saya bisa aja tetep kekeh gak akan setuju soal kalian, tapi masalahnya anak saya lebih penting.”
Elena menatap Naira dengan tidak percaya. “Ibu… ”