“Welcome to Coffee Buy,” sapa Julian dengan nada riang.
Namun sepertinya hal itu mustahil karena pelanggannya kali ini merupakan seorang yang sedang merana karena di tinggal oleh pacarnya. Ya ini sudah hampir 2 minggu bahkan sudah mau menginjak 3 minggu tapi Elena belum ada kabarnya, walau dia percaya tapi tetap saja rasanya cukup berbeda.
“Ice Americano, 3 shots, hazelnut syrup,” ucapnya.
Julian cukup terkejut dengan pilihan kopi temannya itu pagi ini, dia seakan merasa dejavu karena dulu Elena pernah memesan hal yang sama tapi itu karena dia tidak tidur.
“Gak tidur lagi lo Ben?”
“Ya begitulah, masih sakit hati gue, jadi tiap hari gitu gak bisa tidur.”
“Sabar, El pasti pulang,” ucap Julian.
“Oh itu gue tahu, tapi ini udah mau sebulan dia ninggalin gue, gue udah mau gila."
Ucapan itu bukan hanya sekedar kata-katanya karena terlihat dari penampilan Luke yang cukup berantakan.
Bahkan terlihat kantung mata dan matanya yang hampir gelap.
Luke masih harus bekerja, masih harus menata perusahaannya tapi di satu sisi yang lain dia masih berusaha untuk tetap tidak kehilangan akal. Ya sepertinya ini sudah mencapai batasnya. Dia sudah hampir menyerah.
Tapi bukan menyerah untuk menjalani hubungan ini melainkan dia hampir menyerah akan mencari Elena jika dia tidak kuat lagi menahan kerindungan itu.
“Oh, sadar ternyata, dari cowok yang gak pernah update status di Instagram tiba-tiba galau tiap hari, maksud lo update wine tiap hari apa?” ucap Jerry dari belakang.
"Loh Jer, kok lo disini? Lo gak nyamperin dia?"
"Gue udah kesana tapi cuma ngeliat dari jauh aja," ucap Jerry tetap melanjutkan mengepel lantai.
"Lo yakin gak papa? Lo gak tanya dia itu anak siapa?" tanya Luke.
"Gue belum siap, kalau bener itu anak gue, berarti orang tua gue keterlaluan sampe nyuruh Patirce keluar dari Australia."
"Lo kasian sama Patrice sama anaknya atau lo takut kehilangan Gris?" tanya Luke.
"Gak usah ikut campur tentang gue, lo gimana sama Elena? Masih bertahan?"
"Ya, begitulah mencoba dan berusaha untuk tetep bertahan walau gue juga tahu itu sulit sebenernya. Tapi gue rasa dia juga tahu gue kemungkinan akan begini."
"Maksud lo?" tanya Julian.
"Nyokapnya Elena, mama Lana, dia rutin nanyain kabar gue, gue juga tahu dia pergi sama Abigail tapi tetep aja, dia gak ngabarin gue."
"Tapi lo tahu dia kemana?" tanya Jerry.
Luke menggelengkan kepalanya. "Enggak, gue bisa aja cari tahu tapi gue gak mau."
“Hmm, gitu… ” ucap Julian sambil memberikan tumblr kopi milik Luke.
Tapi Luke mendapati hal aneh yang terlihat dari wajah Julian. “Jul,” panggilnya.
“Apa?” Julian menjawab tapi tidak menatap wajah Luke. Dia berusaha mengalihkan pandangannya.
“Jul,” panggil Luke lagi.
“Apaan?”
“Eh kalau di panggil orang tuh nengok!” ucap Luke sambil menarik baju Julian.
“Woy!!” teriak orang dari belakang.
Julian dan Luke refleks melihat kebelakang, ternyata itu adalah Erin mantan istri Julian.
“Erin?” ucap Luke tidak percaya.
“Rin, udah dateng,” ucap Julian.
“Babe, are you oke? Luke bisa lepasin dia gak?” ucap Erin.
Luke melepaskan cengkramannya perlahan dia menatap Erin dan Julian bergantian, dia tidak percaya dengan situasi yang terjadi di depannya saat ini.
“Tunggu kalian berdua balikan?”
“Still trying,” ucap Julian.
“Lo ngapain sih Luke narik-narik Julian kaya gitu?”
“Rin biarin aja, dia lagi stress di tinggal Elena.”
Erin menatap Julian kaget lalu dia melihat Luke, ya memang, Luke yang biasanya terlihat sangat tangguh dan berwibawa kali ini terlihat sangat, menyedihkan.
Erin menganggukkan kepalanya. “Julian gak tahu apa-apa soal Elena, tapi gue yang tahu, lo mau gue ceritain sesuatu? Gue juga gak bisa lama-lama cuma sampe kopi gue selesai di buat.”
Luke langsung melihat Erin dengan seksama, ada satu orang yang bersedia mengatakan hal yang mereka tahu tentang Elena dan untuk Luke ini adalah kesempatan emas untuk tahu apa yang terjadi dan dimana Elena.
“I’m listening,” ucap Luke.
“Belum lama, kalau gak salah dua minggu lalu, dia minta nomor gue dari Julian, dia dateng gue awalnya cuma nanya 3 contoh bahan kain, dan kebetulan gue juga lagi butuh dari produsen yang sama, gue minta dia buat bawa barang gue juga, karena katanya dia bakal ngirim jetnya dia sendiri.”
“Kain untuk pameran?”
Erin menganggukan kepalanya. “Tapi ternyata dia punya 4 sampel kain, satunya dia tunjukkin ke gue di belakang adiknya si Estra. Itu kain langka yang kalau gak salah cuma ada di Belanda, tepatnya dimana pun gue juga gak tahu, jadi dia ada di sana sekarang, beberapa kali dia sempet hubungin gue nanya tentang pengerajin yang dia tahu.”
“Gue gak ngerti deh Luke, kenapa dia gak ngasih tahu lo soal dia nyari kain di Belanda, aneh aja gitu menurut gue,” ucap Julian.
“Ini bukan tentang kain, iya kan Luke?” tanya Erin.
Luke mengangguk. “Ini bukan tentang kainnya.”
“Maksudnya?”
“Belanda punya arti lain buat Elena, dan itu cukup jadi alasan yang kuat kenapa dia bereaksi kaya gitu di Caleum kemarin.”
“Jadi info tentang anak angkat keluarga Marina itu bener?”
“Anak angkat dan tunangan Elena, dia dari keluarga Naragraha.”
“Wah, circle Elena gak main-main ternyata,” ucap Julian.
“Gue tahu soal itu ternyata bener. Dia gak ngelarang gue untuk bilang itu ke lo, tapi gue yakin yang lain dilarang untuk ngasih tahu itu ke lo. Yang penting lo udah tahu, gue pergi dulu ya. Babe aku kerja dulu ya.”
“Hmm hati-hati nanti aku jemput,” ucap Julian.
Luke justru duduk di depan meja konter, dia tidak melanjutkan perjalanannya ke kantor.
Setelah kembali dari Bali Luke memilih untuk tinggal di apartemen milik Elena, setidaknya dia masih bisa melihat semua tentang Elena disana, dan dia tidak perlu merasa terlalu kesepian, walau itu artinya dia hanya tidur di sofa selama seminggu ini.
Drrtt~!
Luke mengambil ponselnya. “Ya kenapa Jen?”
“El lo dimana? Belum sampe kantor?”
“Kenapa ada yang urgent, VX minta ketemu.”
“Oh oke, gue di Coffe Buy, 5 menit.”
Luke berdiri lalu mengambil kartu dari dompetnya. “Jul, kirim Ice Americano 20 ke kantor gue ya, kaya biasa,” ucapnya sambil melemparkan kartu itu pada Julian.