Belanda.
Langit masih setia bersama matahari, Elena berjalan menyusuri sungai sambil melihat sahabatnya yang belum juga selesai telponan dengan seseorang yang dia juga tidak tahu siapa. Elena datang kesini awalnya memang sendirian, namun keesokan harinya ketika dia sedang sibuk mencari kain yang dia inginkan, Abigail menghubunginya dan bertanya dimana posisinya saat itu.
Karena itulah sekarang mereka berdua mencari dimana kain itu, beberapa pengerajin sudah dia kunjungi namun hasilnya nihil, termasuk juga pertanyaan Elena pada Abigail, kenapa dia tiba-tiba muncul disini, Abigail hanya mengatakan bahwa pekerjaannya tidak banyak dan dia ingin menemaninya.
Nyatanya, sejak mereka berdua mencari kain, HP Abigail tidak pernah luput dari deringan telpon, sudah pasti dia berbohong tapi Elena tidak mengerti kenapa. Jika memang dia khawatir Elena akan melakukan hal bodoh sepertinya dia tidak perlu menutupi itu karena pertemanan mereka sudah lebih dari cukup untuk bisa membaca pikiran satu sama lain.
Hari ini masih ada 3 tempat lagi yang harus mereka kunjungi, tapi sebelum itu Elena harus bertemu dengan seseorang di sebuah gedung. Ini adalah langkah terakhir Elena untuk berdamai dengan dirinya sendiri, melepaskan masa lalu, baik itu masa lalu yang bahagia ataupun masa lalu yang buruk.
"Ish, lama banget ngomongnya astaga," gerutu Elena kesal.
Abigail yang mendengar temannya bicara begitu, hanya menatapnya sambil memberikan angka 5 dengan jarinya. Benar setelah 5 menit Abigail mematikan ponselnya, lalu berjalan ke Elena. "Udah selesai nih gue, kita mau kemana lagi?"
"Gue mau ketempat lain dulu sebelum kita pergi cari kain lagi."
Abigail hanya menganggukkan kepalanya. "Kita jadi balik minggu depan?"
"Ya gue sih gak pengen minggu depan juga, kalau udah dapet ya udah kita balik, kenapa? Banyak meeting lo?" tanya Elena.
"Iya nih, sorry ya El."
"Balik aja duluan kalau gitu, daripada kepikiran."
"Mana bisa gue balik, sedangkan lo disini, kalau lo kenapa-napa gimana?"
"Lo mikir gue mau ngapain disini? Mama bilang apa sih sama lo?"
"Enggak ada."
Elena menatap temannya tidak percaya, dia tahu temannya berbohong. "Terserah lo dah, pokoknya, jangan bilang siapa-siapa kalau kita balik."
Abigail hanya mengangguk mengikuti langkah Elena tidak jauh dari sungai dimana mereka berhenti tadi, ada sebuah gedung 4 lantai dengan nuansa bangunan tua, masih terlihat tembok bata yang mengelilingi gedung itu. Elena mengambil sebuah kunci dari tasnya lalu membuka pintu gedung tersebut.
Elena membuka pintunya. Tring! Bunyi lonceng di pintu terdengar begitu dia menggerakannya, Abigail langsung mengerti bahwa ini merupakan sebuah restoran, tidak hanya dari lonceng di pintu yang menandakan adanya pelanggan, tapi tata ruangan itu yang membuatnya yakin.
Ada 6 meja bundar berukuran sedang yang di pasangkan dengan 2 kursi. Abigail pernah mendengar bahwa setelah Nuan berhasil mendapatkan tempat untuk sekolah chef di Belanda, Pak Andre memberikannya sebuah gedung untuk di buat menjadi restoran, tapi seingatnya gedung itu tidak lagi di lanjutkan kontraknya.
"El, bukannya ini gedung udah di lepas ya?" Abigail mencoba memastikan informasi yang dia tahu.
Elena mengangguk. "Setelah Nuan gak ada gedung ini di lepas bokap, gue lanjutin kontraknya, gak lama gue beli ini gedung."
"Lo beli untuk apa?"
Elena mengangkat bahunya. "Enggak tahu, gue cuma pengen beli aja gedungnya."
Pada dasarnya Abigail mengerti, bahwa Elena adalah orang sentimental, dan ketika sesuatu sudah berada di tangannya, dia akan mencoba untuk menyimpannya selama mungkin.
"Gue pikir selain lo nyari kain, lo mau ketempat abunya Nuan."
"Jadi itu maksudnya lo ikut kesini? Lo takut gue breakdown, galau gara-gara liat tempat peristirahatan Nuan?"
"Bukannya gitu, gue cuma khawatir."
"Gue tahu lo khawatir tapi percaya juga sama gue, gue gak akan kenapa-napa juga lagi. Ini memang tentang Nuan tapi bukan soal yang lo takutin."
"Terus? Lo mau lanjutin ini restoran atau gimana?"
Elena menggelengkan kepalanya. "Ini udah saatnya gue ngucapin selamat tinggal sama gedung ini dan ngasih ini ke orang lain."
Bagi Elena, menyimpan sesuatu adalah hal yang berharga termasuk gedung ini, namun ketika dia sudah mau melepaskan hal itu, itu artinya sudah ada hal lain yang akan dia lindungi.
Abigail tahu bahwa Elena sudah move on sepenuhnya dari Sean dan Nuan, dia sudah memantapkan hatinya untuk Luke.
Tapi...
Abigail bingung, teman Elena tidak banyak dan jika pun ada, dia sudah pasti tahu walau mungkin Abigail pun tidak pernah melihat orang itu. "Lo mau kasih kesiapa?"
Elena duduk di sebuah kursi lalu dia menunjuk ke depan pintu yang terbuka.
Tring! Muncullah seorang laki-laki dari pintu itu, orang yang mereka berdua kenal, bagaimana tidak, ketika semua kehidupan tentang Elena berputar hanya padanya, bagaimana dia bisa melupakan wajah orang itu.
"El!" teriak Abigail tidak percaya. "Ini maksudnya apa!?"
"Enggak usah drama deh, gue aja gak drama kok lo yang drama?" ucap Elena.
"Ya bukan gitu, ini maksudnya gimana? Lo juga Sean ngapain lo disini!?"
Sean berhenti melangkah dia berdiri di tengah-tengah. "Gue kesini karena dia yang nyuruh, bukan karena gue mau juga, gue gak tahu kenapa dia nyuruh gue kesini."