Satu hal yang Elena pelajari ketika dia akhirnya kembali pulang kepelukan Luke. Bahwa, dia tidak lagi akan meninggalkan Luke sendirian.
Keduanya pulang ke apartemen, dan ketika mereka pulang, apartemen Elena yang biasanya tertata rapi, wangi dan bersih.
Kini menjadi seperti bekas peperangan, dan Elena akhirnya mengerti apa yang di maksud berantakan seperti kapal pecah.
Hanya kamarnya dan kamar Estra. Elena menatap Luke kesal.
“Maaf,” ucap Luke yang tahu bahwa dia melakukan kesalahan besar kali ini.
“Apartemen aku gak pernah begini Ben,” ucap Elena.
“Maaf.”
“Udah aku capek, aku gak mau beberes sekarang.”
“Kita ke hotel aja kalau gitu?”
“Gak usah aneh-aneh!” bentak Elena kesal.
Elena masuk ke kamar Estra dan mengambil matras yang bahkan Luke tidak tahu itu ada disana.
Dia mengambil matras itu dan membawanya ke kamar, di letakannya matras itu di samping tempat tidur dan mengambil selimut baru dari lemari.
“Tidur di situ,” ucap Elena.
“Kamu?”
“Aku di atas kamu disitu,” ucap Elena kesal.
Luke menurut tanpa membantah sama sekali, seakan dia takut jika dia membantah kali ini Elena benar-benar akan pergi. Tapi, Elena naik ke atas kasur dan menarik selimut.
Dia memejamkan matanya sambil bicara. “I’m not going anywhere again.”
Luke tersenyum, entah bagaimana caranya Elena bisa melihat kekhawatirannya. Luke mengurulkan tangannya ke atas tempat tidur.
“El, tangan kamu mana?”
Elena meraih tangan Luke dan memegangnya. “Udah tidur, aku capek,” ucapnya.
Dalam 2 bulan terakhir, akhirnya dia bisa tidur dengan nyenyak, karena dia tahu apa yang dia cari sudah kembali.
.
.
Luke terbangun namun dia baru menyadari bahwa tanganya tidak lagi menggenggam tangan Elena seperti semalam.
Kasus pun sudah rapi seakan tidak ada orang yang tidur di sana. Kecemasan yang kemarin hilang kini kembali muncul dan ketakutan itu kembali.
“El,” panggil Luke namun tidak ada jawaban.
“El,” Luke kembali memanggil tapi nihil.
Luke keluar dari kamar dan melihat ruang tamu masih sama seperti kemarin. “El!” kini Luke berteriak mencari Elena.
Dia berlari ke kamar Estra, kosong. Dia membuka semua kamar mandi di apartemen itu namun juga nihil. Luke keluar dan mencari di sekitar lorong juga sama.
“El, kamu dimana,” ucap Luke sambil menahan emosinya.
Luke mencoba pergi ke lobby mencari Elena, tapi sepertinya juga sama. Sambil menahan rasa sakit yang baru kali ini dia alami. Luke masuk ke dalam lift.
Namun lift itu terbuka di lantai 8. Luke tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. Namun tiba-tiba ada suara yang dia kenal.
“Ben kamu ngapain keluar?” ucap suara itu.
Luke langsung melihat sumber suara itu. Emosi yang dia tahan dan dia pendam, langsung mengalir begitu saja. Dia tidak bisa menahannya begitu melihat Elena.
Luke langsung memeluk Elena, tanpa dia sadari dia menangis, merasa tenang dan merasa lega melihat Elena benar kembali, dia tidak sedang bermimpi semalam.
“Ben, kamu kenapa?” tanya Elena.
“Aku bangun dan kamu gak ada, aku mikir kalau kemarin aku halu ketemu kamu El.”
Luke tidak hentinya menangis. Elena memeluk dengan erat Luke dan mengusap punggungnya, mencoba untuk menenangkannya.
“I’m sorry, kamu pules banget, aku pikir kasian kamu kalau aku bangunin.”
“Jangan pergi lagi El.”
Elena mengusap pipi Luke menghapus air matanya. “Maaf, aku minta maaf, oke, aku gak kemana-mana, aku cuma minta tolong ke management buat bantuin beresin apartemen.”
Luke baru menyadari bahwa di dalam lift itu tidak hanya mereka berdua, namun ada beberapa petugas kebersihan.
Sontak Luke langsung malu dan menundukan kepalanya. Elena tersenyum dan menyembunyikan Luke di belakangnya.
“Maaf ya mas, tunangan saya emang gitu agak aneh,” ucap Elena.
“Gak papa kak, saya malah ngiri sama mas dan mba El.”
Butuh waktu kurang lebih 2 jam untuk membersihkan apartemen Elena yang sebenarnya tidak terlalu besar itu. Luke mau tidak mau harus ikut membersihkannya karena dialah yang membuat apartemen itu kotor.
Seluruh petugas kebersihan sudah keluar dari sana, Elena mencuci tangan dan Luke berada di belakangnya sambil memeluk pinggangnya.