Morning, Doctor!

Deianeira
Chapter #1

Panggil Aku Dokter Sanjaya

Seorang pria gemuk paruh baya keluar dari sebuah klinik dengan wajah marah dan sedih bercampur jadi satu. Pintu dibanting dibelakangnya sambil menangis dan merasakan hatinya sakit seperti teriris dan kemudian tubuhnya yang gemuk menghantam tanah dengan keras.

Dua orang dokter muda berlari keluar dari Klinik dan menghampiri tubuh yang terkapar itu.

"Pak," panggil salah seorang dokter sambil menepuk-nepuk bahu pria yang tak sadarkan diri itu. "Pak Ghani!"

Tak ada respons.

Lalu dia mendekatkan telinganya ke hidung dan mulut Pak Ghani dan menunggu, saat salah seorang lagi sedang merogoh saku celana coklatnya sendiri dan mengambil ponselnya.

"Tidak ada napas," seru dokter tadi.

Dokter yang satunya menyalakan senter dari ponselnya dan mengarahkan sinar itu ke pupil pria yang tak sadarkan diri itu, lalu berkata, "Pupilnya masih bereaksi," sambil mengantongi lagi ponselnya.

Saat itu dokter yang satunya memeriksa denyut nadi di leher dan pergelangan tangan pria itu, dan berkata, "Denyutnya sangat lemah."

Keduanya mengambil kesimpulan, "Gagal jantung!"

Salah seorang segera melakukan CPR sambil berkata pada rekannya, "Cepat telepon ambulance!"

Rekannya pun merogoh sakunya lagi dan menunggu panggilannya tersambung.

"Halo, ini dokter Gavin," serunya di ponsel, "Cepat kirimkan ambulance kemari," sambungnya, "Ada seorang pria 50 tahun mengalami gagal jantung," jelasnya, "Ya, Dokter Sanjaya sedang melakukan CPR sekarang," lanjutnya, "Tolong cepat!" lalu menutup panggilan.

Dokter yang mengaku bernama Sanjaya itu masih terus melakukan CPR saat Gavin berlari membawa stetoskop dari dalam Klinik.

"Biar aku periksa detak jantungnya," seru Gavin menyela CPR yang telah dilakukan selama 10 menit.

Gavin memeriksa dengan stetoskop dan berkata, "Aku bisa denger detak jantungnya!" serunya sambil menengok ke arah rekannya yang masih terengah-engah, "Detak jantungnya udah kembali."

Keduanya terduduk di tanah di samping pria paruh baya itu dengan perasaan lega.

Saat itu gerimis turun saat ambulance datang 5 menit kemudian.

Kedua dokter itu bangkit saat dua petugas keluar dari ambulance bertuliskan PUSKESMAS keliling itu.

"Biar aku aja yang anterin," sahut Gavin lalu masuk ke dalam ambulance.

Suara sirene ambulance justru memudahkan gadis yang tengah mencari seseorang yang dia cintai-yang dia pikir sudah mati.

Gadis itu berlari sekuat tenaga menerjang gerimis. Dia bisa melihat lampu ambulancenya.

"Di sana," pekiknya menyemangati dirinya sendiri.

"Sebentar lagi," tambahnya dengan napas terengah-engah.

"Tinggal satu belokan lagi," menambah semangat.

Gadis itu pun memperlambat larinya dan kemudian berhenti setelah melihat punggung seorang pemuda berkemeja putih. Punggung yang dia kenal sejak lama. Punggung yang sebenarnya sangat dia rindukan.

Gadis itu mulai melangkah lagi bersamaan dengan ambulance yang melaju perlahan. Suara derap kaki berlari gadis itu tersamarkan oleh suara sirene dan rintik-rintik gerimis kala itu.

Semakin dekat dan semakin dekat, akhirnya gadis itu memeluk punggung bidang itu dengan erat.

Tubuh Sanjaya terlontar ke dapan. Dia terkejut ada yang memeluknya tiba-tiba.

Gadis itu terisak.

Sanjaya merasa tak asing dengan suara isakan itu.

"Jadi benar?" kata gadis itu lirih, "Ternyata kau masih hidup," tambah gadis itu dalam tangisnya, "Aku pikir kau sudah mati," lanjutnya, "Kenapa kau bohongi aku?"

Sanjaya terdiam. Dia tahu siapa gadis yang memeluknya itu. Dia adalah Lissa, gadis yang sangat dia rindukan.

Kedua tangan Sanjaya bergerak hendak menangkap kedua tangan ramping yang membelitnya erat-erat itu, namun tak sanggup. Dia tak berdaya. Merasa tak berhak menepisnya, karena hati, jiwa dan raganya adalah milik gadis itu.

Begitu banyak yang ingin Sanjaya ungkapkan, tapi tak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya.

***

Sepekan sebelumnya...

Di suatu pagi yang sejuk, mentari menyingsing menyinari pepohonan dan persawahan. Dinginnya embun pagi terasa menyejukkan hati seorang pemuda.

Dia sedang mengayuh sepeda birunya menyusuri persawahan untuk pergi ke rumah-rumah pasiennya. Hanya dengan mengenakan kemeja putih berlengan panjang dengan tiga tekukan di bagian lengannya dan celana kain berwarna hitam polos. Terdapat sebuah tas peralatan medis terikat di boncengan di belakangnya. Dengan sepatu sneakers biru navynya, dia mengayuh tanpa lelah.

Terulas senyum di wajahnya dan sesekali membunyikan bel sepedanya setiap kali ada orang yang dilaluinya.

"Pagi, Dokter!" sapa seorang petani yang sedang menanam bibit padi, kemudian diikuti oleh para petani lainnya.

"Pagi, Nak Dokter!"

"Selamat pagi, Dokter!"

Lantas pemuda itu mengangguk seraya menjawab, "Selamat pagi!" sambil terus mengayuh sepedanya.

Tak terasa sepuluh menit bersepeda membuatnya berkeringat. Di bawah pohon yang rimbun dia berhenti. Menghela napas panjang lalu mengambil botol air minumnya. Dia minum seteguk demi seteguk. Air yang segar menyegarkan kerongkongannya yang kering. Dia habiskan sepertiganya lalu dia mulai mengayuh lagi.

Tiba di sebuah rumah tua dari kayu dan anyaman bambu, Dokter itu turun dari sepedanya. Dia sandarkan sepeda itu ke sebuah pohon di depan rumah itu.

Seorang wanita paruh baya keluar menyambut dokter itu. "Pagi, Dokter!" sapanya lantas mempersilakan Dokter itu memasuki rumahnya. Seorang anak laki-laki tanpa bertelanjang dada berlari mendekatinya.

"Hei," seru dokter itu saat anak tadi menyahut tas medis dari tangannya, seperti biasa, dan anak itu membawakan untuknya.

"Haikal," seru wanita tadi sambil memandang tajam putra semata wayangnya itu. "Maafkan atas ketidaksopanannya, Dokter."

"Oh, tidak apa-apa, Bu," sahut dokter itu.

"Silakan, Dokter," wanita itu membukakan kelambu usang yang menutupi sebuah kamar tanpa daun pintu itu. Terlihat suaminya berbaring dengan selang infus di lengannya.

Dokter itu masuk dan mendekati seorang pria paruh baya yang didiagnosa menderita gastritis itu. "Bagaimana perasaan Pak Ahmad pagi ini?" sambil memantau tetesan cairan infus.

"Sudah mendingan, Dokter," jawab pria itu saat anak lelaki tadi meletakkan tas medis di atas meja dekat Dokter itu berdiri.

"Terima kasih, Haikal," serunya setelah melihat tas medisnya telah siap di atas meja.

Haikal tersenyum dan mendapati kepalanya diusap-usap dokter kebanggaannya itu. Haikal melihat bekas jahitan di telapak tangan kanan dokter itu, tepat di bawah kelingkingnya, memanjang ke bawah.

"Apa masih mual muntah?" Dokter itu mengeluarkan stetoskop dari tas medisnya.

"Masih mual sedikit, Dokter," jawab Pak Ahmad saat diperiksa dengan stetoskop.

"Obatnya diminum teratur?"

"Iya, Dokter."

"Jangan makan makanan berminyak, asam, dan pedas ya," nasehat Dokter itu sambil memasukkan kembali stetoskopnya ke dalam tas.

"Baik, Dokter," jawab istrinya.

"Oke," Dokter itu bangkit, "Cairan infusnya akan habis nanti sore, jadi saya akan kemari lagi nanti," tambahnya sambil menenteng tasnya lalu beranjak keluar.

"Terima kasih, Dokter," jawab istrinya sebelum Dokter tadi menghilang dibalik kelambu.

Dia megayuh sepedanya lagi, bergegas menuju rumah pasien selanjutnya. Kunjungan ini rela dia lakukan karena pasiennya tidak memungkinkan untuk pergi ke kliniknya karena jarak dan medan yang sulit.

Di sana juga jarang ada kendaraan bermotor yang melintas. Sebagian besar mereka bersepeda atau berjalan kaki untuk pergi ke suatu tempat.

Di pinggir Danau Sembiru, ada seorang ibu muda sedang berjalan bersama seorang anak laki-lakinya yang berusia 4 tahun. Ibu muda itu tengah asyik melihat beranda di instagramnya.

Sedangkan anaknya sedang bermain-main sendiri dengan bola barunya yang baru saja dibelikan oleh ibunya. Sudah sejak lama dia menginginkan untuk memiliki bola dan baru kesampaian karena ibunya barusaja mendapatkan kiriman dari suaminya yang bekerja di Ibu Kota.

Ibunya mendengar suara bola terpantul di tanah beberapa kali di belakangnya.

"Handy, jangan mainkan bolamu di sini," perintah ibunya sambil menoleh sebentar ke belakang, "Nanti bolanya jatuh ke Danau," tambahnya sambil melihat gadgetnya lagi.

Tapi Handy tak menggubrisnya dan tetap memainkan bolanya.

Ibunya masa bodoh dan terus berjalan.

"Aaaa..." suara teriakan Handy.

Ibunya menoleh ke belakang dan melihat anaknya tidak ada. Tak ada siapa-siapa di sana.

"Handy?" panggil ibunya tapi tak ada jawaban. "Handyyy!!" panggilnya lagi lebih keras.

Ibunya tampak khawatir dan melihat bola milik putranya mengambang di Danau.

"Handy!" pekik ibunya melihat anaknya berusaha menggapai-gapai sesuatu.

"Handyyy!!" teriak ibunya yang mulai panik karena dia sendiri tak bisa berenang.

"Handy! Handyy!!" teriak ibunya saat kedua tangan itu mulai lemas di dalam air.

"Toloooong!!" teriak seorang wanita muda di pinggir danau yang sepi.

Dokter itu melihat wanita itu panik dan bergegas mempercepat kayuhannya.

"Ada apa?" tanya Dokter itu setelah turun dari sepedanya dan membiarkan sepedanya roboh ke tanah.

"Anak saya! Anak saya!" sambil menunjuk ke arah danau.

Dokter itu melihat sepasang tangan kecil hampir tenggelam tak jauh dari pinggir Danau. Tanpa pikir panjang Dokter itu melepas sneakersnya dan berlari melompat ke Danau.

***

Kedua tangannya yang basah memegangi cangkir berisi teh hangat. Cukup untuk menghangatkan sekujur tubuhnya yang basah kuyup dibalik selimut lurik yang tipis.

"Terima kasih, Dokter," seru Kepala Dusun yang duduk tak jauh darinya. "Berkat Dokter, anak itu selamat, sekali lagi terima kasih, Dokter."

Dokter itu mengangguk lalu menyeruput teh hangatnya lagi. Pandangannya tertuju keluar dan merasa tak nyaman karenanya. Dia seperti orang aneh yang sedang ditonton orang banyak. Baik orang tua maupun anak-anak, tua maupun muda, bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan para gadis dan jandapun ikut melihat siapa pahlawan baru di desa mereka. Pantas saja karena dia adalah pendatang baru dan banyak yang belum mengenalnya.

"Dokter...." Kepala Dusun itu mengingat-ingat.

"Sanjaya," jawab Dokter itu. Titik-titik air menetes turun dari rambut klimisnya.

"Oh, iya, Dokter Sanjaya," Kepala Desa itu mengangguk-angguk. "Saya Abdul Ghani, Kepala Dusun sini,"

Dokter itu mengangguk dan berpura-pura baru mendengar perkenalannya, padahal tiga bulan lalu mereka sudah pernah bertemu saat ketua RT memperkenalkannya pada ketua RW yang saat itu sedang bertamu di rumah itu.

"Ehm, Oke," sahutnya setelah melirik jam tangannya. "Sudah saatnya saya untuk pergi," sambil meletakkan cangkir yang hampir kosong itu ke meja.

"Oh, kenapa buru-buru sekali, Dokter?" tanya Pak Abdul Ghani.

"Saya, masih harus ke rumah Kakek Mustofa," jawabnya sambil bangkit dan mengambil selimut yang melorot dari balik punggungnya. "Maaf, selimutnya jadi basah," tambahnya setelah melipatnya sebentar dan meletakkannya di kursinya yang kini kosong.

Lihat selengkapnya