Morning, Doctor!

Deianeira
Chapter #2

Bidan Mutia

"Satriaaa!" panggil seorang pria yang jatuh terduduk di lantai dan bersandar di tembok, tepatnya di lantai dua di sebuah gudang tua.

Pemuda yang terluka tusuk di perutnya itu sedang dipapah oleh seorang gadis. Keduanya menghentikan langkahnya setelah mendengar suara di belakangnya.

Keduanya terkejut melihat pria di belakangnya itu memegang pistol yang mengarah pada mereka.

"Mati kau!" pekik pria yang merupakan tahanan kabur saat akan dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa itu.

"Lissa, awaass!" Satria mendorong gadis di sebelahnya itu hingga tersungkur ke lantai, membuat Lissa mengeryit menahan sakit pada bekas jahitan di perutnya itu.

DHARR.

Satria tersentak menyadari bahu kanannya tertembus peluru.

"Tidaaakk!" teriak Lissa melihat Satria tertembak. Tubuhnya tak sanggup untuk bangkit karena luka jahitannya terasa nyeri.

Satria merasakan panas dan perih di bahu kirinya, membuat sekujur tubuhnya terasa sakit. Tapi dia berusaha untuk tidak goyah, demi Lissa yang mulai menangis.

"Mati kau!" seringai pria itu.

DHARR.

Satria tersentak lagi saat peluru kedua menembus bahu kirinya, hanya beberapa senti dari jantungnya.

Tubuhnya mulai limbung dan tak kuasa lagi menahan sakitnya. Kedua kakinya mulai lemas tak mampu menyangga tubuhnya, hingga kemudian kedua lututnya beradu ke lantai.

Dia tertunduk dan berusaha untuk tidak roboh walau kesadarannya berangsur-angsur menghilang.

Darah merembes membasahi kemeja putihnya.

"Satriaaa!" pekik Lissa sambil berusaha bangkit, tapi kedua kakinya lemas.

"Selamat tinggal, Dokter!" pekik pria itu sekali lagi yang masih menodongkan pistolnya.

Satria tak sanggup lagi menahan sakit di sekujur tubuhnya yang mulai mati rasa, saat mendengar letupan ketiga.

DHARR.

Satria terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya basah karena keringat, membuat kaos oblong putih dan training hitamnya basah.

Mendadak bekas luka tembak di bahu kirinya terasa sakit. Itu karena jantungnya berdegup kencang sehingga menarik otot yang bekas tertembak.

Itu bukan mimpi biasa. Itu adalah memori beberapa bulan yang lalu sebelum dia datang ke Desa ini.

Dia bangkit dan mengambil mug berisi air putih yang selalu dia siapkan di dalam kamarnya.

Dia teguk hingga mug itu kosong sebagai pengganti keringat yang banyak keluar.

Dia menghela napas panjang dan kerja jantungnya pun telah normal kembali.

Dia kemudian melepas kaos yang basah di tubuhnya itu. Lalu melangkah ke lemari.

Tampak dengan jelas bekas luka tembak di bahu kanan dan kirinya, juga bekas jahitan di perut bagian kanan saat dia berhenti di depan cermin yang tertempel pada lemarinya.

Dia mengambil kaos oblong v-neck berwarna hitam dari dalam lemarinya lalu mengenakannya. Kaos itu fit dengan tubuhnya yang bidang.

Kali ini dia melangkah ke dapur. Mengambil sebuah apel dari piring buah di atas meja makan. Masih tersisa empat apel lagi disitu.

Dia langsung menggigit apel yang telah bersih itu dengan lahapnya.

Lalu melangkah ke kulkas sambil menggigit apelnya lagi. Dia mengambil dua butir telur hanya dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya memegang apelnya yang tersisa separuh. Lalu dia dorong pintu kulkasnya dengan kakinya supaya menutup.

Dia melangkah ke tempat kompornya. Dia letakkan kedua telurnya di meja dekat kompor. Lalu memakan apelnya lagi.

Tangan kirinya yang masih bebas menggapai teflon yang tergantung di depannya, dan meletakkannya di atas kompor.

Dia beri sedikit olive oil ke dalam teflon lalu dia putar knop kompornya supaya apinya menyala.

Lalu dia menggigit apelnya lagi dan membiarkannya dimulutnya untuk beberapa saat, supaya kedua tangannya leluasa menceplok kedua telur tadi di atas teflon, menjadi telur matasapi. Dia taburi sedikit garam untuk menambah rasa.

Dia habiskan apelnya lalu melempar sisa bagian tengah apelnya ke tempat sampah tak jauh darinya.

"Yes," serunya tepat sasaran.

Merasa sisi telur yang di bawah sudah matang, dia balik telur itu, dan dia kecilkan apinya.

Sembari menunggu telurnya matang sempurna, dia ambil sebuah panci bersih dari rak.

Dia putar kran dan mengisinya dengan air bersih sampai memenuhi setengah pancinya.

Dia pindahkan teflonnya ke kompor yang tak terpakai di sampingnya, lalu dia letakkan panci tadi ke atas api. Tak lupa dia besarkan apinya.

Dia tiriskan dua telur mata sapi tadi ke atas saringan, dan ditiriskan.

Lalu dia melangkah ke kulkas lagi dan mengambil sebuah brokoli. Dia iris tiap-tiap bonggolnya ke wadah dan dia cuci bersih lalu dia rendam sebentar dengan air dan sedikit garam.

Sambil menunggu air mendidih, dia pindahkan dua telur matasapi tadi ke piring.

Air di panci sudah mendidih. Dia masukkan brokoli tadi, aduk-aduk sebentar, lalu dia matikan apinya, kemudian saring.

Brokoli rebus setengah matangnya telah siap.

Kini dia melangkah ke ruang makannya dengan membawa piring berisi dua telur matasapi dan semangkok brokoli setengah matangnya.

Dia telah tiba di ruang makan. Dia letakkan piring dan mangkok di kedua tangannya ke atas meja.

Tak lupa dia menyiapkan satu gelas besar air putih di mejanya.

Kini dia telah duduk di kursinya. Mengambil sendok dan garpu yang sudah disiapkan diatas meja, dan dia mulai dengan dua telur matasapinya.

Dia pisahkan kuning telur dari putihnya. Dia letakkan kuning telurnya ke mangkuk kecil yang ada di bawah meja.

"Mochi!" panggilnya.

Tak ada yang datang.

"Mochiii!" panggilnya lagi sambil menghentak-hentakkan mangkok plastik berisi dua kuning telur tadi.

Tak berapa lama muncul seekor kucing persia berbulu merah mendekati kakinya.

"Meow," sapa kucing itu pada empunya.

"Yuk, makan," ajaknya pada kucingnya itu.

Satria melahap 2 putih telurnya hingga habis tak bersisa. Sesekali diselingi dengan brokoli rebusnya.

"Pos!" teriak seseorang dari luar.

Dia bangkit sambil terus mengunyah brokoli yang sudah terlanjur berada di dalam mulutnya sambil melangkah keluar.

"Pos-pos," teriaknya lagi.

Dia membuka pintu Kliniknya. Tertempel tulisan 'TUTUP' di kaca pintunya. Meskipun masih tutup, jika ada pasien yang datang, dia pasti akan memeriksanya.

"Ya?" dia menjawab.

"Dokter S. Sanjaya?" tanya Pak Pos yang berdiri di depan pintunya.

"Ya, saya sendiri."

"Ada paket," sambil menyerahkan amplop coklat dan selembar kertas, "Tolong tanda tangan di sini."

"Oke," jawabnya lalu membubuhkan tanda tangannya.

Setelah petugas pos itu pergi, dia membawa masuk paketnya dan membawanya ke ruang makannya.

Sambil melahap brokolinya, dia membaca siapa pengirim amplop coklat itu.

"Gavin Nugroho," bacanya.

Itu pasti adalah beberapa brosur alat-alat medis yang dia minta pada sahabatnya itu.

Mereka adalah rekan kerja di Rumah Sakit Medica Harapan sebelum dia memutuskan untuk datang ke Desa yang terpencil itu.

Dia membuka dan membaca brosur-brosur itu sambil menghabiskan sarapannya.

"Meow," seringai Mochi di dekat kakinya.

Dia melirik dan melihat kucingnya itu telah habis melahap 2 kuning telurnya. Kuning telur sangat baik untuk kesehatan bulunya.

Hari ini hari Minggu. Jadwalnya Klinik untuk tutup. Dan seperti biasa, dia telah siap dengan hoodie hitamnya dan tengah mengikat tali sneakers Nike Air Max 270 White miliknya. Setelah melakukan beberapa stretching, dia mengenakan earphone dan play musik favorit di ipodnya. Dance monkey dari Tones and I, menemaninya joggingnya pagi itu.

Dia mengawalinya dengan lari-lari kecil.

Lihat selengkapnya