Morning, Doctor!

Deianeira
Chapter #3

Dokter Gavin

Satria melihat cahaya di depannya. Dia seperti sedang terbaring di sesuatu yang sedang bergerak, namun kemudian berhenti. Samar-samar dia merasa berada di dalam ambulance.

Terlihat wajah yang sangat dia kenal, sahabatnya, Gavin muncul dari balik pintu dengan panik. "Sat! Satria!" panggilnya saking paniknya.

"Anda Dokter Gavin?" tanya seorang wanita yang ternyata itu adalah Bidan Mutia.

"Ya, tolong segera lakukan transfusinya," Gavin menyerahkan 2 kantong darah sekaligus.

"Baik, Dokter!"

Satria lega melihat sahabatnya datang. Dia tak khawatir lagi tentang hidupnya sekarang. Yang dia inginkan hanyalah mengistirahatkan tubuhnya.

Satria terusik dalam tidurnya. Ada suara-suara tak jauh darinya. Suara yang dia kenal.

"Sebenarnya dia kemari karena ingin menikmati hidupnya. Tidak terlalu sibuk dengan banyak pasien, tapi tetap bisa mengabdikan dirinya untuk orang lain."

"Saya pikir juga begitu, awalnya saya pikir aneh, ada dokter muda yang datang kemari, bukankah di Ibu Kota tenaganya lebih dibutuhkan daripada disini? tapi setelah mengenalnya lebih dekat, dia dokter yang tulus membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya, dia sangat peduli, bahkan, pada kesulitan pasien-pasiennya."

"Ah, Anda terlalu berlebihan," sahut Gavin terkekeh.

"Memang begitu," jawab Satria tiba-tiba. Dia merasa kepalanya pusing dan meraba kepalanya yang telah diperban.

"Oh, Dokter Sanjaya sudah siuman," seru Bidan Mutia.

"Oh, Sat- Eh, Sanjaya! Udah sadar?" Gavin berbalik dan mendekat dan membantu Satria duduk bersandar di ranjang.

"Gavin? Aku pikir cuma mimpi."

Alih-alih menjawab, Gavin malah memukul kepala Satria.

"Aduh."

"Udah pindah ke sini, masih aja cari masalah, bikin repot banyak orang!" Gavin kesal karena dibuat khawatir.

"Siapa juga yang suruh kamu ke sini?" Satria menimpali.

"Eh, eh, tuh, Bu Bidan denger sendiri kan? Dia emang orangnya nggak tahu berterima kasih," tuduh Gavin sedikit kesal, "Bu Bidan jangan terlalu berlebihan menilainya, dia orangnya nggak seperti itu."

Bidan Mutia menahan tawa.

Satria melihat ke arah Bidan Mutia. "Terima kasih, Bu Bidan, atas semua yang sudah Ibu lakukan untuk saya," ungkap Satria, "Tapi, bagaimana Bu Bidan bisa menghubungi Gavin?"

"Setelah saya menghubungi ambulance, saya-maaf-mengambil ponsel dokter yang ada di saku celana," jawab Bidan Mutia sambil malu-malu, "Ehm, sebenarnya saya ingin menghubungi orang tua atau wali Dokter, tapi di ponsel Dokter cuma ada 1 nomor saja, jadi saya hubungi saja nomor itu."

Gavin menahan tawa. "Untung aja Bu Bidan telepon gua kemarin, kalo nggak-" Gavin tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Kemarin? Ini- hari Senin?"

"Lu itu pingsan seharian, Lu tahu kan, Puskesmas di sini tidak punya stok darah A Rh (-), golongan darah Lu itu langka, Jadi setelah Bu Bidan ceritain semuanya, gua coba cari di bank darah Rumah Sakit, untung aja ada, jadi untuk mempersingkat waktu, kita janjian ketemu di ujung Pulau Kecil kemarin supaya Lu bisa ndapatin transfusi darah lebih cepat. "

"Waduh, jam berapa sekarang?" Satria melirik ke tangan kirinya tempat jam tangannya bertengger tapi kali ini tidak ada, entah dimana jam tangannya. "Aku harus ke rumah Kakek Mustofa sekarang dan Klinik juga sudah waktunya buka," sambil memaksa turun dari ranjang tapi kemudian kepalanya terasa berputar-putar.

"Dasar, Dokter gila, nggak pernah berubah, udah sakit masih aja mikirin pasien," sahut Gavin membiarkan Satria berbuat semaunya dan ingin melihat sampai sejauh mana kekuatan Satria.

Bidan Mutia menahan tawa saat Satria merebahkan dirinya kembali ke ranjang.

"Tapi agak aneh juga menurut saya, kenapa hanya ada 1 nomor saja di ponsel Dokter?" gumam Bidan Mutia sambil berpikir, "Saya dengar juga dari Pak Ghani bahwa Dokter sudah menikah, tapi, saya tidak menemukan nomor kontak bernama istri atau sayang atau apalah, dan saya pikir yang saya telepon kemarin itu adalah istri Dokter, ternyata yang menjawab suara laki-laki," jelas Bidan Mutia sambil tersenyum melihat Gavin yang tampak terkejut.

"Apa? Menikah?" sahut Gavin tak mengerti.

Satria buru-buru memukul perut sahabatnya itu dengan tangan kanan yang terbalut perban akibat luka pecahan botol.

"Eh- Itu- Memang- Telepon untuk sesama teman dokter," jawab Satria terbata-bata, "Kalau- nomor istri- Di- Ponsel satunya- Di Klinik- Saya tinggal," jawab Satria sambil tersenyum.

"Oh, iya, benar," Gavin terkekeh.

"Oh, begitu," Bidan Mutia masih curiga.

Satria dan Gavin saling pandang.

"Baiklah, karena Dokter Sanjaya sudah sadar, jadi saya permisi dulu," sahut Bidan Mutia undur diri, "Tolong lebih berhati-hati lagi ya, Dokter, karena sudah ada 7 bekas luka di tubuh Dokter."

"Sebenarnya ada 8, Bu Bidan," sahut Gavin bersedih.

"Satu lagi dimana?" tanya Bidan Mutia ingin tahu.

"Di hati," jawab Gavin dengan penuh perasaan.

Pukulan segera mendarat ke perut Gavin lagi.

Bidan Mutia tertawa seraya berkata, "Kalian ini," lalu meninggalkan dua sahabat itu.

Melihat Bidan Mutia menghilang di balik pintu, Gavin kembali memandang Satria dalam-dalam. "Menikah? Yang bener aja!"

Satria sebenarnya malas bercerita panjang lebar kenapa dia harus berbohong dan mengaku sudah menikah.

***

Bidan Mutia yang saat itu sedang dinas di Puskesmas, sudah duduk di ruangannya lagi. Jam prakteknya sudah selesai 1 jam yang lalu.

Dia sedang memikirkan sesuatu yang janggal. Bidan itu mengingat-ingat.

"Siapa Dokter Sanjaya itu sebenarnya?" gumamnya. "Kemarin, kalau aku tidak salah dengar, Dokter Gavin memanggil Dokter Sanjaya dengan sebutan Sat," pikirnya, "Tadi saat Dokter Sanjaya sadar, juga dipanggil Sat."

Akhirnya dia memutuskan untuk googling dengan laptopnya dan mengetikkan nama Dr. Sat Sanjaya, enter.

Muncul notifikasi, apakah yang anda maksud adalah Dr. Satria Sanjaya?

"Dokter Satria Sanjaya?" gumam Bidan itu sambil mengingat-ingat lagi saat Gavin tiba pertama kali di ujung pulau Gavin memanggil "Sat! Satria!"

"Ah, benar, Satria Sanjaya," gumamnya lalu klik nama itu.

Muncul 4 artikel di layar.

Artikel terbawah berjudul, Dr. Satria Sanjaya Lulusan Kedokteran Terbaik Tahun 2016.

Artikel kedua dari bawah berjudul, Dr. Satria Sanjaya Lulus Specialis Dengan Nilai Tertinggi Tahun 2018.

Artikel ketiga dari bawah berjudul, Dokter Lulusan Terbaik Terlibat Dengan Makelar Jual Beli Organ.

Artikel teratas berjudul, Dr. Satria Sanjaya Meninggal Dunia Akibat Kecelakaan pada tanggal 30 Januari 2020.

Bidan Mutia terbelalak membaca artikel itu. "Apa? Meninggal dunia?" karena penasaran dia klik berita itu dan membacanya.

***

Sore itu Satria memaksa untuk pulang ke Klinik, dan dia sudah berbaring di kamarnya, Sedangkan Gavin melihat brosur yang dia kirimkan di atas meja makan.

"Apa kau sudah memutuskan?" tanya Gavin sambil menunjukkan beberapa brosur di tangannya.

"Hhm, belum," jawab Satria di atas tempat tidurnya.

Sahabatnya itu tahu, apa masalahnya sebenarnya. Satria bukan tipe dokter matre yang suka memeras pasiennya. Apalagi ini di suatu desa kecil di pulau terpencil.

"Baiklah, pikirkan saja pelan-pelan," sahut sahabatnya itu lalu menutup pintu kamar Satria.

"Jangan lupa kasih makan Mochi!" teriak Satria.

"Yoi!" jawab dari sebelah ruangan. Gavin sedang bersandar di pintu itu. Dia sedang berpikir apakah dia harus memberitahukan keadaan Satria pada Lissa. Layar Ponsel di tangannya sudah siap dengan nomor Lissa. Tinggal satu sentuhan saja. Tapi setelah dipikir-pikir, dia urungkan niatnya karena nanti urusannya bisa panjang. Dan diapun beranjak ke halaman belakang, tempat Mochi biasa bermain.

Gavin mengambil kantong makanan kucing yang tergantung di dinding. Dia tuangkan ke mangkok tempat makanan Mochi hingga penuh, juga mengisi tempat minum Mochi.

Terdengar suara bel pintu berbunyi.

Gavin menoleh ke belakang, dan beranjak pergi membukaan pintu depan yang saat itu tertempel papan bertuliskan 'BUKA'.

Lihat selengkapnya