Tidak ada waktu untuk berpikir: Katherine menjerit, Dog menggeram, gadis itu tampak meragu sesaat sementara Tom melihat peluangnya dan menerjang maju, menangkap lengannya saat gadis itu hendak menghunjamkan belatinya ke jantung Valentine. Gadis itu mendesis, memberontak, dan belatinya terjatuh ke dek saat dia menggeliat membebaskan diri dan berlari menyusuri titian.
“Hentikan dia!” teriak Valentine, mulai bergegas maju, tapi para pengungsi lain telah melihat belati itu dan berpencar kalut, menghalangi jalannya. Beberapa pemulung mengeluarkan senapan dan seorang petugas kepolisian bersenjata menerobos kerumunan seperti seekor kumbang biru besar, berteriak, “Senapan dilarang di London!”
Menoleh ke belakang kepala para pemulung, Tom mendapati sesosok siluet gelap pada latar cahaya menyilaukan tungku-tungku di kejauhan. Gadis itu sudah sampai di ujung titian, memanjat tangga dengan gesitnya ke lantai yang lebih tinggi. Tom mengejarnya dan menangkap pergelangan kakinya saat dia mencapai puncak. Tom hanya meleset beberapa senti, dan pada waktu bersamaan sebuah anak panah mendesis melewatinya, melecutkan bunga api saat menghantam anak tangga. Dia menoleh ke belakang. Dua petugas kepolisian lainnya menerobos kerumunan dengan busur terangkat. Di belakang mereka, dia dapat melihat Katherine dan ayahnya memandanginya. “Jangan tembak!” pekik Tom. “Aku bisa menangkapnya!”
Dia mengempaskan tubuhnya ke tangga dan bergegas memanjat, bertekad untuk menjadi orang yang berhasil menangkap si calon pembunuh. Dia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang penuh gairah. Setelah tahun-tahun menjemukan yang dihabiskannya mengkhayalkan sebuah petualangan, tiba-tiba dia terlibat di dalamnya! Dia telah menyelamatkan nyawa Valentine! Dia adalah seorang pahlawan!
Gadis itu sudah menyusuri labirin titian lantai atas yang mengarah ke distrik tungku pembakaran. Berharap Katherine masih bisa melihatnya, Tom memulai pengejaran. Titian bercabang dan menyempit, pagar titian hanya berjarak satu meter antara satu sama lain. Di bawahnya, pekerjaan Pelataran Cerna tetap berlanjut; tak seorang pun di bawah sana menyadari drama yang sedang berlangsung di atas kepala mereka. Tom menerjunkan diri ke dalam bayang-bayang gelap dan kepulan uap yang hangat dan membutakan, sementara gadis itu selalu beberapa meter di depan. Syal kepala hitamnya tersangkut dan robek oleh saluran pipa yang melintang rendah. Rambut panjangnya berwarna tembaga di bawah cahaya redup tungku-tungku perapian, tapi Tom masih tidak dapat melihat wajahnya. Dia bertanya-tanya apakah gadis itu cantik; seorang pembunuh jelita dari Liga Anti-Traksi.
Tom merunduk saat melewati syal yang terjuntai dan terus berlari. Sambil terengah, tangannya tergopoh membuka kerah bajunya. Menuruni tangga besi spiral yang memusingkan dan keluar menuju lantai Pelataran Cerna, melewati bayang-bayang ban berjalan dan tangki-tangki gas bulat besar. Sekumpulan buruh narapidana mendongak terheran-heran selagi gadis itu berlari cepat melewati mereka.
“Hentikan dia!” teriak Tom. Mereka hanya berdiri melongo selagi dia melintas, tapi ketika menoleh ke belakang, Tom melihat bahwa salah satu Ahli Teknik Magang yang mengawasi kerja mereka menghentikan pekerjaannya untuk bergabung dengan aksi pengejaran. Tom langsung menyesal telah berteriak memanggil yang lain. Dia tidak rela menyerahkan kemenangannya kepada seorang Ahli Teknik bodoh! Dia menambah kecepatannya, agar menjadi yang pertama berhasil menangkap gadis itu.
Di depan, jalan dirintangi oleh lubang bulat di lempeng dek, dikelilingi pagar karatan—lubang pembuangan, hangus dan menghitam tempat ampas logam dari tungku-tungku pembakaran digelontorkan ke bawah. Gadis itu melambatkan langkahnya sesaat, bertanya-tanya ke mana dirinya harus berbelok. Ketika dia memutuskan untuk meneruskan berlari, Tom sudah merapatkan jarak. Jemarinya yang terulur meraih tas gadis tersebut; tali pengikatnya terlepas dan gadis itu berhenti dan berputar menghadapnya, diterangi cahaya merah mesin-mesin pelebur logam.
Usia gadis itu tidak lebih tua dari Tom, dan wajahnya mengerikan. Bekas luka yang parah melintangi wajahnya dari kening hingga ke rahangnya, membuatnya tampak seperti sebuah lukisan potret yang dicoret dengan penuh kemarahan. Mulutnya tertarik miring membentuk seringai permanen, hidungnya bagai tunggul yang diremukkan dan satu matanya menatapnya dari reruntuhan itu, berwarna kelabu dan dingin seperti lautan pada musim dingin.