Tiga hari setelah meninggalkan Jogja, mereka sampai di Blora. Kota kecil yang dulu hanya jadi nama dalam pelajaran geografi kini menjadi titik hening dalam perjalanan mereka. Langit mendung, jalanan sepi, dan pepohonan jati berdiri seperti para penjaga masa lalu.
Sang ibu mengarahkan van ke sebuah rumah tua bercat hijau pudar di pinggir kota. Bukan milik mereka, bukan rumah keluarga. Tapi rumah seorang sahabat ayah Rara—Pak Marwan—yang dulu sering bepergian bersama ayahnya. Kini rumah itu dijaga anak perempuannya, Bu Wening, yang menyambut mereka dengan teh panas dan senyum tenang.
“Waktu Bapak kamu meninggal, Ibumu ke sini sendiri. Diam di kamar dua malam, cuma nulis-nulis di buku. Nggak banyak bicara,” kata Bu Wening sambil menyodorkan biskuit jahe.
Malam itu mereka menginap di kamar kecil berisi rak buku tua dan kasur tipis. Rara tidak bisa tidur. Pukul dua dini hari, ia bangun, menyalakan lampu temaram, dan mulai membuka-buka rak kayu tua itu.
Sampai matanya tertumbuk pada sebuah buku berwarna cokelat tua. Kulitnya mengelupas, dan di sudut kanan atas tertulis dengan tinta hitam: “Februari 2004 – Untuk Diriku Sendiri”
Ia membuka pelan.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya berhenti mencintainya, tapi aku juga tidak tahu bagaimana caranya hidup dengan kehilangan.”
“Rara masih kecil. Aku tak bisa membebani matanya dengan kesedihanku. Tapi malam ini, di kota asing ini, aku boleh jujur hanya pada kertas.”