Motivator Gagal

Art Maris
Chapter #1

Perang KATA

Makanan yang dihidangkan ibu sungguh nikmat dilidah. Pagi ini fokus otakku cukup tertuju pada nasi goreng irisan udang dan telur. Entah sudah berapa tahun aku absen mengunyah sarapan terbaik racikan ibuku ini. Hmmm. dari detik ke detik ayunan tanganku semakin cepat memasukkan makanan ini dengan amat sangat lahap. 


" Jadi kali ini, siapa cewek yang udah kau lamar?"


Bapakku mulai membuka percakapan dengan tujuan mencairkan suasana. Karena dari mulai subuh hingga kesibukanku membuka pagar rumah dan berganti pakaian kantor, belum ada kalimat pembuka apapun yang aku sebarkan ke hadapan dua orang tuaku. 


" Ya ini lagi dicari...kemaren gak cocok ! Jawabku santai seolah sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan special tersebut.


" Kalau nyari cocok, ya mana ada di dunia ini yang cocok, cocok itu nanti kalau sudah berumah tangga , dari dulu-dulu itu-itu aja alasanmu. Ingat mar, umurmu dah 32 , mau sampai kapan lagi melajang ?"


Kalimat level kedua yang dilontarkan sang bapak sepertinya menciptakan rasa sakit di kepala. Tiba-tiba mulutku terhenti untuk mengunyah. Menu di piring memang nasi goreng rasa kombinasi udang dan telur, akan tetapi mendadak berubah menjadi nasi goreng rasa irisan sakit hati. Gigi gerahamku saling menekan. Refleks tanganku memijat-mijat keningku. Seketika posisi dudukku berubah haluan langsung tertuju ke hadapan bapak di dapur.


" Bapak gak tau. Cuma aku yang ngerti cocok atau enggak. khan aku yang menjalani hidup aku. YANG JELAS JODOH ITU YANG NILAI CUMA AKU "

Suaraku mulai meninggi. Sempat terlihat tempe terjatuh sebelum masuk di penggorengan. sepertinya ibuku terkejut. Tapi dia tetap setia dengan kesibukan menggorengnya.


" Mar...Kamu itu intropeksi gitu lho. Kau kalau gak berani melamar anak orang , bilang aja. nanti bapak temani kok, mumpung bapak ada di rumah sekarang. jangan nunggu diterima atau enggak. Kita datangi rumahnya. Itu baru cowok jantan. Bukan cuma nunggu-nunggu aja " sergap bapakku dengan cukup tenang meladeni suaraku yang sudah mulai beringas. Memang dia sudah hapal tabiat dan beberapa gerak-gerik kejengkelanku. 


" Ini bukan masalah berani atau enggaknya melamar anak orang. MASALAH UTAMANYA, CEWEKNYA PUN GAK COCOK UNTUK AKU. Iya aku ngerti. Bapak nilai aku sebagai pengecut, gak berani melamar, Tapi aku juga berusaha. BUKAN BERARTI AKU GAK BERUSAHA . TAPI KHAN KUBILANG TADI. BELUM COCOK, NGAPAI LAGI DIPERPANJANG " Kali ini aku berdiri. Sepertinya emosi di tubuhku sudah mulai membara. Pembicaraan yang tidak cocok antara bapak dan anak mulai beradu. Ekspresiku di hadapan bapak mulai panas. Tapi bapak nampak santai dan legowo. Dia sedari tadi masih dalam posisi duduk sambil menyeringai mendengar semua balasan kalimatku. Tanda seringai itu aku hapal benar. Itu adalah kode bahwa aku bukanlah orang yang pantas meladeni semua pembicaraan si bapak.


" Iya kamu berusaha. Bapakpun tau. Tapi sampai kapan? sekarang coba lihat?! Dari kemaren-kemaren gak cocok aja. Kalau kita cari kecocokan sampai umur 60 tahun pun kamu gak bakalan kawin-kawin kalo gitu" Dengan merasa menang bapak menambah senyum simpul di depanku. Terkesan menantang. Aku paham benar. Ini posisi perebutan tahta idealisme. Saling melempar pernyataan, saling berbalas argumen , dan saling membangun strategi menyerang kata. Situasi ini sudah diprediksi oleh si bapak dengan sangat rapi dan konsisten. Aku akui beliau sudah berhasil menyerang psikisku dengan momen yang tepat. Terbukti dengan tidak ada reaksi marah atau kesal yang tergambar dari wajahnya. Dia berhasil menguasai arena pertempuran dengan tema " kapan kawin?" .Tapi berbalik pada diriku. Dadaku sudah bergumul beragam rasa kesakitan. Serasa ingin menunjang meja, kompor dan area-area dapur . Namun langkah itu sudah pasti kekanak-kanakan. Terpaksa aku tahan semuanya dengan efek panas disekujur tubuh ini.


Makanan belum habis tapi sudah aku pindahkan piringnya ke tempat penyucian. Aku pelan-pelan ambil minum. Bapakku masih terus-menerus membahas kalimat demi kalimat tentang pernikahan, kesetiaan, dan kepahaman agama. Aku hiraukan semua suara bapak. Saat melihat ke samping, mataku melihat wajah ibu memberikan kode isyarat tanpa suara. Kode itu bermaksud agar aku meninggalkan arena perang suara. Aku menyetujui kode itu. Setelah aku habiskan segelas air putih , langsung ambil kunci motor dan pergi tanpa pamit. Pusing kepalaku harus bertarung hujah dengan perbedaan refrensi ilmu. Itu ibarat kera sakti beradu dengan biksu tong sam chong. Semua ilmu kesaktian yang dipelajari kera sakti akan konyol berhadapan dengan biksu yang ilmunya cukup doa-doa kebaktian. Bukan masalah menang atau kalahnya siapa. Namun tidak adanya kecocokan satu sama lain.

***


Motor ku parkirkan di area depan pintu warnet Kosasih, yaitu markas andalanku untuk mencari inspirasi sekaligus menenangkan pikiran. Aku langsung masuk ke bilik com 42 ,persiapan menaruh barang ,cemilan, dan minuman dingin yang kubeli dari minimarket. Sebelum pesan "paket main" aku duduk sebentar memeriksa pesan chat dan sesekali membalas komentar social media di smartphone. Beberapa menit kemudian keluar seseorang dari kamar mandi. Dia adalah OP shift pagi. Seorang gadis manis dengan tinggi 170 cm. Tugas awalnya adalah mencuci semua piring dan gelas kotor yang tergeletak di sudut-sudut komputer. Walau jariku sibuk menekan-nekan smartphone, masih sempat mataku beradu tatapan dengan mata gadis manis ini. Kami sama-sama berpura-pura mengacuhkan satu momen itu. Hanya saja dadaku sudah terasa ngilu. Bagiku momen sepersekian detik beradu mata dengan dirinya seolah siksaan untuk beberapa jam. Pasti kedepannya akan menjadi buah pikiran liar di otakku. 


Sekarang gadis manis tersebut berjalan menuju meja kasir. Hatiku mulai tenang sekaligus menghayal. Ingin rasanya menggendong tubuh gadis itu menuju kamar pribadi lalu aku cium keningnya sembari berbisik di telinganya : Nikah yuk ?!'.

Lihat selengkapnya