Derap langkah kaki seorang pria berambut putih memacu secepat kuda. Anak rambutnya yang menjuntai hingga sebahu turut berkibar-kibar tersapu angin dingin di tengah lautan salju sejauh mata memandang. Langkahnya begitu sigap tiap kali ia harus melompat dan merunduk ketika mendapati batu ataupun ranting pohon rendah yang menghalangi jalur pacuannya.
Sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan seberapa jauh jarak antara dirinya dengan makhluk yang saat ini tengah mengejarnya. Mata birunya langsung melotot sempurna ketika mendapati makhluk-makhluk hijau besar itu ternyata sudah semakin dekat dengannya.
Ia segera memacu kakinya lebih kencang lagi, tak peduli dengan napasnya yang sudah menderu begitu cepatnya. Detak jantungnya pun berpacu secepat pacuan kakinya. Sebenarnya bisa saja ia melawan mereka. Ia memiliki kemampuan bermain pedang yang terbilang sangat memukau. Namun sepertinya itu bukanlah hal bijak karena jumlah mereka terlalu banyak untuk ia hadapi seorang diri. Apalagi melihat lawannya yang memiliki otot sebesar itu, mustahil ia bisa mengalahkan mereka semua dengan kondisi dadanya yang sudah terasa sangat sesak karena terus berlari sedari tadi. Pastinya itu adalah tindakan paling bodoh. Dan ya, ia memutuskan untuk berlari saja saat ini. Walau tidak tahu entah kemana.
Setengah jam pun berlalu, kini tubuhnya sudah terasa semakin lelah. Tapi ia tidak bisa berhenti jika tidak mau mati. Untungnya, beberapa menit berikutnya mata birunya berhasil menangkap dataran hijau yang sudah tidak tertutup salju lagi. Untuk sesaat ia menatap aneh pemandangan hutan itu yang terasa asing baginya. Tapi karena situasi mendesak, tanpa berpikir panjang lagi ia segera berlari memasuki hutan hijau di depan sana. Saat itu, hal aneh pun terjadi. Tiba-tiba saja makhluk-makhluk yang mengejarnya mulai melambatkan langkahnya. Dalam hatinya bersyukur sekaligus cemas. Kira-kira apa yang membuat mereka memperlambat kejaran mereka padanya?