Mottania : The Legend's Ice Sword

Andriyani
Chapter #3

Bab 2 - Masih Dikejar

Di sebuah negeri berlatar salju sejauh mata memandang, berdiri kokoh sebuah istana kristal yang di dalamnya terlihat banyak sekali patung makhluk hidup dengan berbagai ekspresi—berdiri berjajar di sepanjang koridor. Tepat di tengah-tengah bangunan itu, terlihat seseorang tengah duduk di sebuah kursi es yang terbentang di hadapan hamparan aula yang di kelilingi oleh makhluk-makhluk aneh. Sorot mata biru keputihannya yang amat dingin nan menusuk seakan mampu mengintimidasi siapa saja yang berani menatapnya.

Ia berdiri sambil menyibakkan jubahnya dengan kasar, kemudian kakinya melangkah perlahan menuruni anak tangga yang berada di bawah kursi singgasananya. Bola matanya menatap tajam pada lima sosok makhluk hijau yang tengah berdiri tertunduk di hadapannya. Lalu dengan gerakan tiba-tiba, tangannya terangkat dan mencengkeram kuncir kuda salah satu dari mereka.

“Mengapa kau membiarkannya lolos?!” Ia menggeram dengan gigi yang bergemeretak menahan amarah. Semua makhluk yang ada di sekitarnya pun seketika menjadi gemetaran ketakutan ketika mendengar suara beratnya yang begitu membuat merinding.

“Ma-maafkan hamba, Lord Glacio.” Makhluk hijau yang rambut kuncirnya tengah di cengkeram itu menjawab. “Pe-pemuda itu memasuki da-daerah terlarang. La-lalu menghilang dari pandangan kami secara tiba-tiba.”

“Dasar bodoh!” seru Lord Glacio tiba-tiba. Sorot matanya terlihat semakin berkilat marah. “Mengapa kalian membiarkannya memasuki daerah itu?!”

Kali ini tidak ada yang berani menjawab. Semua diam lantaran takut akan salah bicara. Mereka tidak mau bernasib sama seperti patung-patung es yang berada di sepanjang koridor itu. Ya, Lord Glacio lah yang menyihir mereka menjadi seperti itu.

“Tidak ada yang mau menjawabku, heh?” Lord Glacio semakin menggeram marah. “Apa sebaiknya kubekukan saja lidah kalian yang tidak berguna itu?”

Samar-samar, terlihat pendar asap dingin kebiruan yang menguar dari telapak tangan Lord Glacio. Ia menunjukkannya pada mereka, serta memberikan seringai penuh ancaman. Para makhluk hijau itu pun mundur takut, kecuali si kuncir kuda yang tidak bisa berbuat apa-apa karena rambutnya masih berada dalam cengkeraman sang Lord.

“A-ampun, Lord,” sergah si kuncir kuda memberanikan diri. “Maafkan kami. Tapi tolong jangan lakukan itu pada kami.”

Lord Glacio mencibir tidak senang. Ia menatap si kuncir kuda nanar. “Kau pikir kata maaf saja bisa membuat anak itu datang dengan sendirinya ke hadapanku?! Dasar bodoh!”

Sang Lord yang terkenal kejam itu melempar si kuncir kuda sampai tersungkur jatuh ke lantai. Sementara ia sendiri membalikkan tubuhnya, pandangannya menatap kosong entah kemana seperti tengah berpikir keras.

“Kalian tahu ...,” gumamnya dengan suara pelan. Namun tetap saja, itu tak menjamin kalau amarahnya sudah mereda. Dia bisa berubah jadi mengerikan kapan saja. “... daerah hutan tak bersalju itu adalah penghubung antara Mottania dengan dunia manusia. Jika Aident memasuki daerah itu, berarti dia telah melarikan diri ke tempat paling aman, yaitu dunia manusia.”

Ia berhenti bicara untuk beberapa detik. Tubuhnya perlahan kembali berbalik menatap kelima makhluk hijau yang ia utus untuk mencari dan menangkap Aident. Bola matanya terlihat begitu tajam nan menusuk.

“Dan itu semua gara-gara kalian!!!” serunya mendadak. Membuat semua makhluk hidup yang ada di ruangan ini melompat terkejut bukan main. Bahkan para patung yang berjajar di tiap sisi ruangan juga seolah ikut frustasi. “Maka dari itu kuperintahkan pada kalian untuk mengikutinya pergi ke dunia manusia, lalu bawa dia ke hadapanku baik itu hidup ataupun mati!”

Para makhluk hijau menegang. Mereka saling pandang satu sama lain, merasa tidak bisa melakukan itu.

Si kuncir kuda yang menjadi pimpinan para makhluk hijau berusaha protes. “Ta-tapi, Lord, kami—”

“Kau berani menentangku, heh?!” Lord Glacio mencengkeram kuncir kudanya sekali lagi. “Lancang sekali kau! Tidak ada yang boleh menentangku di seluruh penjuru Mottania kecuali jika kau ingin menjadi bagian dari para patung es pajangan di istana ini.”

“Ampun, Lord Glacio,” ucap makhluk hijau itu sambil menyembah memohon ampun. Lord Glacio pun melepaskan cengkeramannya, lalu menendangnya dengan kasar. Setelah itu ia kembali duduk di kursi singgasananya.

“Kalian tenang saja,” katanya pelan sambil menyilangkan kaki. “Tidak akan ada seorang pun manusia yang bisa melihat Orc seperti kalian di dunia manusia. Kalaupun ada, itu berarti dia adalah Mottarian yang sedang menyamar. Bawa dia juga padaku.”

Para makhluk hijau itu, alias Orc, mereka mengangguk patuh. Lalu segera bergegas pergi menjalankan perintah sang Raja Es, Lord Glacio.

•••

“K-kau bisa melihatnya?!” seru Aident tidak percaya. Tak sadar ia menghentikan pacuan kakinya dan menatap gadis di hadapannya dengan air muka yang tegang bukan main.

Gadis dengan mata biru dan rambut ikal panjang berwarna pirang pucat—atau Kisha—ia menatap heran pria yang ada di hadapannya. Di saat genting seperti ini, tidak seharusnya pria itu menghentikan pacuan kakinya.

“Kenapa kau bertanya?” jawabnya sebal. “Tentu saja aku bisa melihatnya karena aku tidak buta!”

“Bukan begitu maksud—” Aident langsung menghentikan perkataannya ketika menyadari kelima Orc yang sedang mengejarnya ternyata sudah semakin dekat dengan posisinya dan gadis asing itu berada saat ini.

“Nanti saja kujelaskan. Ayo kita pergi sekarang!” serunya sambil meraih tangan Kisha dengan paksa untuk kembali berlari.

Mata Kisha langsung melotot marah ketika tangannya disentuh sembarangan oleh manusia yang sangat dibenci olehnya. Ia segera melepaskan tangannya dari genggaman Aident dengan kasar. Lalu sambil terus berlari, tangannya melayangkan tinju ke wajah Aident.

Bug!

“Argh!” pekik Aident kaget seraya menatap Kisha tidak terima. “Mengapa kau memukulku?!”

“Itu balasan karena kau hampir mencelakai Leo, juga karena kau telah lancang menyentuhku barusan! Aku tidak sudi tanganku di kotori oleh manusia sepertimu!”

Aident hanya bungkam. Ia berusaha mati-matian untuk sabar menghadapi gadis ini. Lagi pula ini bukan saat yang tepat untuk bertengkar dengannya. Mereka tengah dalam kondisi genting saat ini. Yang harusnya ia pikirkan adalah, kemana ia harus berlari? Aident sama sekali tidak mengetahui daerah ini.

Lihat selengkapnya