Pedang Aident sudah berdiri kokoh dalam genggaman tangannya. Mata birunya menatap tajam ke arah lima Orc yang berada tepat di hadapannya. Ia tidak ingin bertindak gegabah dengan menyerang mereka terlebih dahulu. Salah-salah ia malah akan dikepung nantinya. Dan jika itu terjadi, tak hanya riwayatnya saja yang akan tamat. Tapi juga riwayat Mottania. Walaupun di sampingnya ada Leo si harimau bertubuh besar, tapi bagaimanapun juga ia hanyalah seekor harimau yang tidak secerdik para Orc.
Sementara Kisha, gadis itu tengah menggenggam busurnya erat dari jarak yang lebih jauh. Ia mengambil anak panah yang tergantung di punggungnya dengan perlahan dan hati-hati agar tidak menarik perhatian musuh. Lalu ia menarik tali busurnya beserta anak panah yang kini membentang lurus horizontal persis di depan sudut matanya. Lalu kemudian ....
Fiusss ...
Anak panah itu meluncur dengan cepat dan tepat mengenai sasaran. Senyum Kisha mengembang. Tapi sayangnya itu hanya sesaat. Karena detik berikutnya ia melihat kalau ternyata anak panah yang dilontarkannya barusan sama sekali tidak melukai Orc itu. Anak panah itu malah jatuh dan tidak menancap sama sekali di kulit makhluk hijau itu. Seperti batu yang dilempar dari jarak jauh, lalu terjatuh begitu saja ketika menabrak sebuah dinding kokoh.
Sang Orc pun menggeram marah. Mata mereka yang semula hanya terfokus pada Aident dan Leo, kini mereka menatap Kisha dengan penuh kebencian.
“Apa yang kau lakukan?!” pekik Aident. “Dasar gadis ceroboh! Diam saja jika tidak tahu apa-apa!”
“Apa kau bilang?!” balas Kisha terlihat tidak terima. Ia melangkah mendekati Aident dengan berani. “Akan kubuktikan kalau aku bisa menghajar mereka dengan tangan kosong!”
Aident mendengus kesal. Ia lalu kembali berfokus pada para Orc yang kini tengah melayangkan kampaknya ke arahnya. Terkejut mendapati serangan tiba-tiba seperti itu, matanya terpejam bersiap untuk merasakan sakit yang teramat sangat di tubuhnya. Tapi sudah beberapa detik berlalu, ia tak kunjung merasakan itu. Akhirnya ia membuka matanya dengan hati-hati, dan langsung kembali terkejut ketika melihat penampakan di hadapannya.
“Sudah kubilang aku bisa menghalaunya walau tanpa senjata,” ucap Kisha tersenyum senang. Tangannya kini terlihat memegang gagang kampak yang hampir saja menyentuh Aident. “Kau berhutang nyawa padaku, Aident.”
Sayangnya, senyum bangga Kisha hanya bertahan sebentar saja. Karena pada detik berikutnya, Orc itu memutar kampaknya dan memelintir tangan Kisha, kemudian dilemparkannya gadis itu cukup jauh dari posisi semula. Aident sempat melihat Kisha meringis kesakitan, tetapi hanya sebentar karena kali ini ia harus lebih sigap menghadapi para Orc ini.
Ia mulai menebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri, membuat gerakan menusuk dan menarik yang amat lihai dan teratur. Leo juga sangat membantu dengan lompatannya yang membuat para Orc tersungkur jatuh, lalu menancapkan taring tajamnya mencabik-cabik salah satu makhluk hijau itu. Alhasil, mereka berdua kini berhasil melumpuhkan tiga Orc hanya dalam waktu singkat. Namun sesaat berikutnya, perut Aident terkena tinjuan salah satu Orc yang masih tersisa. Membuatnya jatuh tersungkur dan sedikit mengeluarkan darah segar dari mulutnya.
Melihat itu, Kisha segera bangkit dari posisi duduknya. Ia berlari kecil menghampiri Leo dan Aident sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Setelah sampai di tujuan, ia berusaha mengeluarkan berbagai jurus bela diri yang dipelajarinya selama hidup di hutan. Tidak banyak membantu memang, tapi setidaknya itu dapat memberi sedikit jeda yang bisa ia manfaatkan sebaik mungkin.
“Leo!” serunya. Leo yang seolah mengerti akan maksud Kisha, ia sedikit menundukkan badannya agar Kisha bisa menaikinya.
Setelah Kisha berhasil menaiki tubuh Leo, ia berseru pada Aident, “Cepat naik! Kita tidak punya cukup tenaga untuk menyerang sisanya!”
Aident berusaha bangkit dari posisi meringkuknya karena menahan rasa sakit yang teramat sangat di perutnya. Ia melihat Leo dan Kisha sudah mulai bergerak menjauh. Ia pun segera berlari mengejar keduanya sambil sesekali menebaskan pedangnya pada dua Orc yang menghalanginya. Dan akhirnya, ia pun berhasil mengejar gerakan Leo yang masih terbilang lambat karena menunggu Aident. Ia langsung melompat menaiki tubuh harimau itu dengan sigap.
Leo memacu kakinya secepat yang dia bisa. Tatapannya lurus ke depan, fokus pada jalan yang berada di hadapannya. Aident dan Kisha tidak mengarahkannya akan bergerak kemana. Harimau itu hanya memacu kakinya saja sesuai nalurinya. Yang terpenting bagi mereka saat ini adalah, melarikan diri dari kejaran para Orc yang tersisa. Sesekali Aident menoleh ke arah belakang, dan kini ia mendapati kalau kedua Orc itu ternyata tengah mengejar mereka dengan menaiki kuda.
“Oh, tidak,” tukas Aident panik. “Mereka mengejar kita dengan kuda! Apa Leo sanggup menyaingi kecepatan kuda?!”
“Kau jangan meremehkan Leo!” seru Kisha tidak terima. “Dia lebih cepat dari apa pun yang ada di dunia ini!”
“Aku ‘kan hanya bertanya!” Aident menggeram kesal.
Sekali lagi Aident kembali menoleh ke belakang, dan matanya pun langsung melotot panik. Ya, jarak para Orc sudah semakin dekat dengan mereka. Kilatan kampak yang berada di genggaman makhluk hijau itu membuat Aident otomatis membayangkan bagaimana rasanya jika kampak itu menembus kulit, bahkan dagingnya. Tak hanya Aident, Kisha pun diam-diam mulai merasa takut akan terkejar oleh mereka.