Bulan melengkung indah bersama pendar keperakannya yang menerangi malam Aident, Kisha serta Leo. Walaupun hamparan salju di depan sana membentang tak berujung, tetapi syukurnya sang rembulan serta ribuan bintang masih mau menampakkan keelokannya.
Aident menatapnya dengan senyum teduh yang tersungging di bibirnya. Batinnya berkata, ‘andai aku bisa setenang ini setiap malam, menikmati keindahan bulan dan bintang tanpa perlu repot-repot memikirkan cara untuk mengembalikan kejayaan Mottania, aku pasti akan menjadi makhluk paling bahagia di muka bumi ini.’
Namun Aident menghembuskan napas lelah. Ya, ia sadar kalau ketenangan adalah hal yang mustahil terjadi dalam hidupnya. Lagi pula tidak ada satu makhluk hidup pun di dunia ini yang akan benar-benar hidup bahagia, benar-benar terbebas dari masalah. Setiap makhluk hidup pasti memiliki lika-likunya masing-masing. Kalau tidak hidup ini pasti akan terlalu membosankan.
Aident bangkit dari posisi tidurnya, lalu bersandar pada sebuah batang pohon besar. Ia menatap gadis di hadapannya yang tengah tertidur lelap di pelukan seekor harimau besar yang tak lain adalah Leo—sambil sesekali meringkuk kedinginan. Aident pun tertawa kecil melihat itu. Ditambah lagi ketika melihat pakaian yang dikenakan Kisha saat ini.
“Bodoh sekali,” gumamnya pelan sambil tersenyum-senyum sendiri. Mata birunya menatap wajah Kisha yang tengah tertidur manis. “Aku sudah memperingatkanmu untuk memakai pakaian tebal saja waktu kita mencuri di toko baju besar itu kemarin. Tapi kau malah memilih pakaian berlengan panjang yang berbahan tipis begitu. Bagaimana kau akan bertahan di luar sana nantinya?”
Hening. Ya, Kisha benar-benar sudah pulas saat ini. Tentu saja dia tak mungkin menjawab ejekan Aident barusan. Coba saja kalau dia mendengarnya, wajahnya pasti sudah memerah marah, mulutnya pun sudah menyemburkan kata-kata makian tak terima. Tapi sejujurnya hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Aident. Entah kenapa gadis itu jadi terlihat menggemaskan ketika sedang marah-marah. Ya, walau terkadang amarahnya itu agak keterlaluan dan menjengkelkan, sih.
Tak sadar Aident jadi cekikikan sendiri saat mengingat kembali wajah Kisha ketika dia sedang meledak-ledak. Tapi kemudian, Aident tiba-tiba teringat akan suatu hal yang begitu penting, juga sebuah kejanggalan yang tengah ia rasakan saat ini.
Aident teringat kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu saat tiba-tiba saja telinga Kisha berubah menjadi runcing, persis seperti telinga para Elves. Sejujurnya hal itu masih agak mengejutkan bagi Aident walau ia sendiri berkata pada Kisha kalau itu masuk akal. Dan gara-gara mengingat hal itu, sekarang ia jadi teringat akan sebuah ramalan tentang dirinya dari Yuni, sang Unicorn satu-satunya yang masih tersisa di Mottania dan masih belum di ketahui keberadaannya oleh Lord Glacio. Ramalan itu berbunyi :
‘Kau akan bertemu dengan seorang dari ras Elves terakhir yang masih tersisa, dan akan membawa kembali kejayaan Mottania bersamanya.’
Aident kembali menatap Kisha, kali ini dengan sorot pandang penuh keseriusan. “Apa ramalan Yuni memang sungguh sedang terjadi, atau ini hanya kebetulan semata?”
Dalam benak Aident kini terisi penuh oleh berbagai macam pemikiran yang campur aduk. Ia tidak tahu mengapa takdir mempertemukannya dengan Kisha yang ternyata adalah bagian dari penduduk Mottania. Tapi ia juga tidak bisa langsung menyimpulkan kalau Kisha-lah yang di maksud dalam ramalan Yuni itu, dan akan mendampinginya mencari pedang es legenda yang dikabarkan adalah satu-satunya benda yang dapat menghancurkan Lord Glacio. Apalagi melihat sikap gadis itu yang tidak pernah tersenyum kepadanya, alih-alih malah bersikap sebaliknya. Akankah gadis itu mau berdampingan terus dengannya di kemudian hari?
Aident mengacak-acak rambutnya frustasi, tangannya menopang kepalanya sambil tertunduk lesu. “Kalau memang semua itu benar, kenapa harus dengan gadis emosian ini, sih?” tukasnya dengan suara yang agak mengeras.
“Apa yang kau maksud itu aku?” Tiba-tiba terdengar suara Kisha dari samping kiri Aident. Ia pun otomatis menoleh ke sumber suara dan mendapati Kisha yang ternyata sudah terduduk sambil mengucek matanya. Aident pun gugup, tidak tahu harus menjawab apa.
“Ah, itu ... eum, aku ....” Aident gelagapan. Dalam batinnya ia merutuk dalam hati, ‘Hah ... Kisha pasti pasti akan mengoceh lagi sekarang.’
“Apa aku terlihat seperti orang yang emosian?” tanya Kisha datar. “Maaf kalau begitu. Akan kuusahakan untuk menahan emosiku sebisa mungkin.”
Kini bola mata Aident sukses dibuat terbuka lebar oleh ucapan gadis itu barusan. “Apa kau sedang kesurupan?” gumamnya tanpa sadar.
“Apa maksudmu?” Kisha mengernyit seperti menahan kesal.
“Ah! tidak, tidak!” seru Aident cepat-cepat, takut kalau Kisha malah akan marah-marah lagi. “Hanya saja kau tampak berbeda dari biasanya.”
Kisha memutar bola matanya jengah. Ia masih bersandar pada badan Leo yang hangat.
“Sudahlah, lebih baik kau istirahat saja,” katanya. “Biar aku yang berjaga kali ini.”
Aident menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar. Entah mengapa ia merasa begitu senang atas perubahan sikap gadis di hadapannya ini yang sepertinya menyadari kalau ia belum tidur beberapa hari terakhir. Dia juga jadi tampak lebih manis kalau sedang tenang seperti ini.
“Terima kasih,” ucap Aident tulus, yang tentu saja tak Kisha tanggapi sama sekali. Lalu kemudian ia segera merebahkan diri di atas tumpukkan daun untuk segera mengistirahatkan matanya.
Sementara itu Kisha, ia diam-diam menyunggingkan senyumnya tipis, entah karena apa. Ia sendiri sampai heran dengan perasaan senang tidak wajarnya saat ini. Mangkanya ia segera menutupinya dengan memalingkan wajah ke arah lain. Ya, ia tidak mau Aident jadi kegeeran melihatnya tersenyum padanya.
•••
Tiga jam telah berlalu, sebentar lagi pagi akan segera menyingsing. Namun karena matahari tertutup kabut dingin, pagi hari pun masih tampak gelap di dunia asing ini.
Kisha melirik ke arah Aident sejenak, sepertinya pria di hadapannya ini tertidur begitu pulasnya. Itu wajar, sih. Selama ini Aident pasti kesulitan mendapat tempat untuk beristirahat dengan tenang. Saat di gua pun Kisha yakin kalau pria itu tidak tertidur lantaran terus merasa cemas akan kehadiran para Orc. Pasti dia sangat kelelahan selama ini, karena harus terus-terusan berkejaran dan bertarung dengan monster-monster yang selalu memburunya.