MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #3

Pasal 2 TENTANG RUMAH

Suasana di depan tempat itu masih nampak sama. Tak banyak berubah. Damai meneduhkan pandang. Pepohonannya masih cukup rindang. Menjadi pembeda dengan lokasi lain yang mulai gersang, akibat rakusnya manusia era ini, membabat pohon dan hutan. Tempat itu adalah pancaran nafas kehidupan. Untuk sekian banyak manusia yang berlalu-lalang. Dengan beragam kepentingan. Beberapa penjual jajanan anak, bernaung di depan pintu gerbangnya. Tempat itu dulu sempat terkenal sebagai pusatnya peradaban ilmu agama, di kawasan Malang Raya. Sang pendiri tempat itu, berhasil melabeli kawasan yang dulu terkenal ganas, angker dan ter-cap hitam—kini berganti cap putih. Bersih dan suci.

Diatas pintu gerbangnya. Terdapat sebilah papan kayu besar dan bercat hijau. Bertuliskan Pesantren Assalam. Lalu dibawahnya lagi, ada tulisan khot arab berbunyi, Al-Muhafadhotu ‘Ala Qodimi Sholih Wal Akhdzu Bil Jadidil Ashlah. Memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Demikianlah, kira-kira visi dari tempat legendaris itu. Rata-rata, bangunan di tempat itu masih terbuat dari kayu-kayu jati. Sebuah lembaga pendidikan agama yang amat sederhana. Namun berkesan rindang dan bersahaja.

Pesantren Assalam. Sejak awal didirikan, sangat serius melestarikan tradisi pesantren tradisional. Yang fokus mengkaji kitab-kitab salaf atau yang familiar disebut kitab kuning. Karya-karya ulama dunia dan lokal Nusantara. Sebelumnya, memang tak ada perubahan kentara di Pesantren Assalam. Melestarikan kebijakan sang kiai pendiri, yang tak tertarik membuka sekolah formal yang terkenal sebagai lembaga pendidikan modern dan faforit. Namun terkenal pula dengan biaya uang gedung yang mahal karena santri tinggal di gedung-gedung mewah dan serta SPP yang berbiaya setinggi langit. Dulu, meski tak membuka sekolah formal. Pesantren Assalam tetap menjadi rujukan menuntut ilmu bagi para calon santri dari berbagai penjuru negeri. Lantaran kharisma dan kealiman Kiai Ishaq—sang pendiri pondok, adalah magnet utama. Ribuan santri berdatangan dari seluruh penjuru negeri ke pesantren ini. Untuk menimba ilmu agama. Dan tentu demi bisa mengaji kitab-kitab kuning gundulan ala pesantren salaf khas Nusantara. Serta berbagai macam keilmuan lain yang diajarkan di Pesantren Assalam.

Yah, itu adalah dulu. Kini, jaman telah berubah. Kondisi asrama santri ini memang masih nampak sama. Terutama bangunan lamanya. Namun, yang berbeda kini adalah manusia-manusia yang menempatinya. Datang silih berganti. Kini, semakin minim saja. Keramaian santri salaf yang mengisi bilik-bilik kamar asrama Pesantren Assalam. Akhirnya gedung-gedung megah dan baru untuk sekolah formal kini di dirikan oleh Yayasan Pesantren Assalam. Bukan di tempat lama yang berdamping dengan ndalem keluarga kiai, masjid pesantren dan asrama santri ini. Melain gedung-gedung megah itu dibangun di pinggir jalan raya sana. Agar lebih nampak oleh para pejalan supaya menarik mereka tuk menyekolahkan anaknya.

Meskipun Pesantren Assalam harus kehilangan marwahnya. Karena kini lebih anak-anak di desa-desa sekitar pesantren yang kemudian hanya meminati bersekolah formal saja disini. Daripada harus masuk ke pesantren. Tentu lebih murah dan mudah. Mereka tanpa harus susah payah hidup mandiri di asrama pesantren.

Mereka para murid almaghfurlah Kiai Ishaq. Terpaksa harus memutar otak. Bagaimana strategi untuk terus melestarikan pesantren yang sempat menjadi pusara ilmu ini. Menafsirkan, cara meneruskan perjuangan beliau di era ini. Apalagi, semenjak wafatnya Kiai Lamim, setahun yang tahun lalu. Pesantren ini seolah kehilangan pusaran magnet yang membuatnya di datangi manusia. Kiai Lamim sendiri adalah putra bungsu Almaghfurlah Kiai Ishaq, yang menjadi pengasuh terakhir Pesantren Assalam, sebelum kini untuk sementara waktu masih di wakili Bunyai Fatimah. Karena para putra almarhum Kiai Lamim rata-rata masih kecil.

Asrama Pesantren Assalam kini rata-rata tak terpakai. Banyak santri-santri senior pengkaji kitab salaf yang memutuskan boyong atau  berdakwah di rumahnya masing-masing. Ada pula beberapa yang pindah nyantri ke pesantren yang sanad keilmuanya berasal dari Kiai Ishaq. Lantas, demi meneruskan keberlangsungan pesantren. Demi menyongsong era modern. Kini kabarnya Pesantren Assalam denga pengurus yayasan terbarunya, mulai menggebrak ragam inovasi pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan formal. Menyiapkan konsep sekolah modern dan bertaraf internasional. Agar tak kalah bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan di sekitar.

Pagi ini. Setelah tiba dari perjalanan pulangku ke kampung halaman. Dari kota perantauan di ibukota negara menuju kota Batu di kawasan Malang Raya. Aku diam-diam berkeliling sejenak di Pesantren Assalam. Meski sebenarnya, aku sendiri tak pernah menjadi santri resmi disini. Namun sedari dulu, aku akrab dengan tempat ini. Saat aku masih bersekolah menengah pertama di SMP Negeri kota Batu dahulu. Sebelum akhirnya aku diajak merantau orangtuaku ke Jakarta saat SMA dan hingga berkuliah disana. Aku dulu sangat sering bermain atau sesekali ngaji diniyah di pesantren ini, jika benar-benar tak sedang malas, dan berujung bolos ngaji diniyah. Dengan mengendap-endap dari pengawasan Kakek lalu menyelinap ke warung-warung kopi terdekat, ala anak baru gede. Hehe.

Kamar-kamar santri putra utamanya yang semakin sunyi. Petala masjid pesantren pun nampak dihinggapi sarang laba-laba. Ubin masjid tertutupi debu tebal. Masjid ini adalah satu-satunya gedung disini yang keseluruhan bangunan sudah berbeton. Masjid yang megah. Namun sayang, mulai tak terawat dengan baik. Dedaunan kering pun berserakan di halamannya. Hembusan angin kencang, merontokkan daun-daun pohon jambu air yang banyak di tanam di halaman masjid.

Syukurlah. Di pelataran masjid Pesantren Assalam. Kini muncul dua santriwati yang bergegas menyapu dedaunan kering itu. Aku segera berlari masuk ke kamar asrama putra. Tak ingin menakuti mereka. Dua santriwati itu barangkali adalah abdi ndalem yang membantu Bu Nyai Fatimah. Apa yang kulakukan disini sebenarnya. Tentu aku punya maksud. Bukan sekedar menjadi pengunjung gelap. Apalagi berniat mengintip dua santriwati itu. Bukan, itu niatku kemari. Aku sedang mencari seseorang. Ia adalah orang paling sepuh dan paling setia pada tempat ini.

Nampaklah kini di selemparan batu dariku. Seorang kakek sepuh bertubuh jangkung sedang berdiri melamun. Di dagunya bertumbuh jenggot tipis putih keperakan. Kedua tangannya masih memegang kemudi gerobak sampah. Sedang kedua kakinya memakai sepatu boot kotor setinggi lutut. Lelaki sepuh itu bernama Soejawi. Mbah Jawi semua orang di tempat ini mengenalnya. Dengan sebutan—Kakek—aku memanggilnya. Ia adalah sahabat Kiai Lamim sejak kecil. Ia juga sempat mengaji langsung dengan Kiai Ishaq. Namun nasib kakekku itu memang bukan bermaqom kiai besar. Ia hanya diamanahi menjadi seorang imam masjid kampung. Selain bertani, Kakek juga dipinta menjadi petugas kebersihan dan seksi serba guna di pesantren ini. Maka darisanalah muara kenapa aku pagi ini datang kemari.

Matanya berkaca-kaca. Ia masih tak percaya. Cucunya hari ini datang untuk tinggal bersamanya. Setelah puluhan tahun aku berkelana tak jelas arah. Betul sekali. Aku adalah cucu kandung kakek renta bernama Soejawi itu. Dan untuk selanjutnya. Aku akan tinggal di rumahnya. Di rumah itu juga masih ada Nenekku. Sejak aku masih kecil, mereka berdua sudah berperan bak ayah dan ibuku. Terutama semenjak orangtuaku bercerai. Aku telah lama, lama ... sekali bahkan, tak mengunjungi mereka berdua. Bahkan boleh dibilang, hampir melupakan mereka selama ini. Rumah Kakek terletak tak jauh dari Pesantren Assalam. Masih satu desa. Hanya berbeda dusun. Setelah kami berdua sempat saling pandang takjub, segera saja kusambar punggung tangan Kakek. Lantas, dengan cekatan aku di seretnya tuk segera pulang kerumahnya menemui Nenek. Detik itu juga. Sembari berjalan pulang. Kami pun berbincang hangat melepas rindu berpuluh-puluh tahun tak jumpa.

“Kamu kok ya sudah sebesar ini le, tole! Mana, mana anak dan istrimu kok gak di ajak kesini sekalian?” ucap Kakek. Mengira aku memang sudah menikah dan berkeluarga tanpa sepengetahuannya.

“Anak? Aku bawa anak kata Kakek! Istriku saja masih dirahasiakan sama Tuhan kok Kek,” elakku sambil menunduk malu.

“Tole ..., tole, ganteng-ganteng begini kok belum laku-laku juga. Memangnya di Jakarta sana tak ada gadis toh, le,” serangnya sekali lagi.

“Udah santai Kek. Nanti juga ketemu jodohku. Kakek ini kutengok-tengok juga nampak tetep awet muda saja. Kakek tak berniat menikah lagi kan,” celekku.

“Bisa saja, kamu ini le, le,” balas Kakek sambil menabuk punggungku.

“Tapi, Nenek, sehat-sehat saja kan di rumah, Kek?”

“Alhamdulillah ... sehat, tapi ya begitu, masih suka ngomel le,” candanya dalam Jawa.

“Tidak Kakek panggil Mbah lampir kan ...! seperti dulu-dulu itu, kalau Nenek sedang ngomel,” candaku pula.

Lihat selengkapnya