MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #4

Pasal 3 GADIS PERINTIS

Kunikmati dusun kelahiran dengan ragam cara. Aku mulai menyesuaikan diri. Meski banyak hal kini telah berubah di dusun Kakek dan Nenek ini. Aku juga masih dianggap sebagai tamu oleh beberapa warga. Namun aku berupaya membaur sebisaku dengan mereka. Dengan misi rahasiaku. Tentang bagaimana cara tuk mengembalikkan suasana desa agar tak melupakan jati diri kedesaannya. Meski aku adalah pemuda didikan kota. Aku bahkan tak canggung ikut bermain dolanan rakyat dengan anak-anak kecil disini. Mempengaruhi mereka agar mengikuti pemikiranku tentu cukup mudah. Namun berbeda cara untuk mereka yang dewasa dan tua. Di desa, siapa yang kaya dan terbukti sukses, kini adalah panutan utama. Ikhwal ini tentu aku harus berproses dengan sabar. Apalagi aku masih bercap sebagai pemuda MA-DE-SU (masa depan suram).

Entah. Aku akan kuat menetap untuk sementara waktu saja. Atau bahkah selamanya di tempat sahaja ini. Di rumah udik khas pedesaan milik Kakek dan Nenek yang sudah sangat sepuh. Setelah nekat meninggalkan pekerjaan menjemuhkanku di ibukota. Sebagai karyawan di kantor per-MLM-an yang tak jelas juntrungannya. Kujalani bekerja apapun di desa. Membantu bertani di sepetak ladang Kakek. Menjadi buruh petani bunga, apel dan sayur-mayur. Sesekali bahkan aku tak malu menjadi kuli panggul di pasar sayur mayur kota Batu. Namun lebih sering aku ikut menjualkan jajanan desa bernama putu ayu, bikinan Nenek. Semua itu kulakukan dengan perasaan campur aduk.

Pagi ini. Suasana nampak hening di dusunku. Seketika kubayangkan, aku bagai berada di gua orang-orang yang ingin ber-uzlah. Aku jadi ingat, tarikh Kanjeng Nabi Muhamad SAW, kala beliau menempuh pengasingan diri di Gua Hira. Kenapa hayalanku pagi ini aneh-aneh, sih. Sampai akhirnya, mimpi pagi bolongku itu tersudahi. Lantaran saja, mendadak aku mendengar suara seorang gadis,“Assalamualaikum ... Mas, saya boleh nanya?”

Sontak aku tersadar dan berkata,

“Iya. Mau tannny—a apa,” jawabku gelagapan. Tatkala kurasai waktu mendadak berjeda. Mengapa aku tiba-tiba kikuk. Membengong seribu bahasa pagi ini. Tiba-tiba hadir seorang gadis bak bidadari kahyangan. Wajahnya asing bagiku. Sudah pasti ia bukan warga sini. Apa ini cuma ilusi. Oh Tuhan ... kenapa Engkau datangkan sesosok makhluk penjeda waktu padaku sepagi ini. Paras anggun itu, wajah itu ... aura perempuan itu. Wajah yang teramat sangat meneduhkan. Berdagu tak begitu lancip. Hidungnya menyorong hampir sempurna. Tak terlalu mancung juga tak terlalu menjorok ke tanah. Pipinya berseri-seri memerah bagai ranum buah delima. Lentik kedua bola matanya bulat namun menipis, bersiluet di bagian ujungnya. Gadis itu kini berjalan semakin mendekat dengan sejuta keanggunannya.

“Mas! Mas ...,” tegur gadis itu kebingungan melihatku. Aku terus memandanginya tajam-menghujam. Masih tercengang melihat gadis asing di hadapanku. Gadis yang membalut rapat-rapat kepalanya dengan kerudung pasmina berwarna biru muda. Serasi dengan gamis biru tua. Mulutku tercekat dan tak kuasa berkata-kata. Dan gadis itupun memandangku, dengan bersenyum-senyum sungguh manis adanya.

Jilbab bermotif bunga-bunganya itu berkelebat di terpa deru angin. Membuat wajah ayu-nya semakin anggun. Sekujur tubuhnya, ia balut dengan gamis muslimah, yang di pergelangan tangannya terdapat renda-renda bros bunga berwarna hitam. Kakinya bersandal gunung bukan high hills. Pancaran gadis ini sungguh, sungguh pancaran kecantikan gadis saliha penuh sahaja. Sempurna!

Ia terus saja melempar senyum-senyum semerbak penuh pancaran keteduhan. Ya Allah..., kenapa Engkau uji diriku di pagi yang dingin mencekam ini― Engkau turunkan bidadari ini ke hadapanku tatkala aku berpuasa wanita. Tanyaku pada Tuhan sekali lagi.

“Iy-ya ..., Mbak. Add-da yang bisa saya bantu?” kukumpulkan segenap energi untuk balik bertanya padanya.

“Saya mau tanya, Mas. Rumah Pak Lurah-nya desa ini, di sebelah mana ya Mas,” tanya gadis itu santun.

“Rumah Pak Lurah ya ... sebentar, sebentar ya Mbak ... saya berfikir dulu,” kataku pura-pura tak mafhum. Entah dapat ide darimana. “Setahu saya ... disini itu tak ada yang namanya Pak Lurah deh Mbak. Adanya disini itu Pak Inggi atau Pak Sen—,”

“Pak Senden!” sergapnya. “Intinya, dimana kira-kira rumah orang yang memimpin desa ini, Mas, bisa saya lekas diberitahu.”

Gadis itu memotong candaanku dingin. Sepertinya ia mulai kesal. Mengira aku memang sengaja mengerjainya.

Kurasai pula saat itu, hawa dingin alam pagi desa di lereng pegunungan ini tiba-tiba menjadi semakin dingin menerpa. Meski hari pagi mulai tak buta lagi dan terik mentari pun mulai menyala-nyala. Apakah ia gadis yang cuek dan tipe wanita dingin untuk sekedar bercanda. Atau memang ia sedang sangat terburu-buru dan dirundung perihal darurat. Atau aku yang memang terlalu garing. “Mas-nya ini, mau memberitahu saya atau tidak?”

“Disini itu dusunnya Mbak,” belaku. “Jadi adanya yang Pak Kasun atau kepala dusun. Soal di mana rumah Pak Senden atau Kepala Desa itu ya adanya di desa induknya. Dan lokasinya ada di sebelahnya desa ini.”

“Ohhh ... begitu ya. Kalau rumah kepala dusunnya, dimana Mas ... ?” ujar gadis pasmina itu dan kini ia mulai mengganti airmuka dingin dengan wajah memelas.

“Kalau rumah Pak Kasun atau kepala dusun-nya sih ada di dekat hutan sana Mbak. Sedikit naik jalannya. Tak bisa kalau kesana motoran. Mbak bisa saya antar, kalau mau sih. Kebetulan hari ini saya juga sedang mau ada urusan dengan Pak Kasun!” ucapku mengalir begitu saja.

Padahal apa pula urusanku menemui Pak Kasun. Jangankan nyidam bertemu kepala dusun. Bertemu presiden saja aku ogah. Songong kali aku yah. Meski dulu, memang aku pernah merasa bangga sekali pernah se-forum dengan kepala negara. Tapi anehnya, mengapa pagi ini aku bersemangat sekali mengantarkan gadis ini menemui kepala dusun yah.

“Oh, iya, apakah Mas-nya ini juga termasuk tokoh pemuda dusun ini. Soalnya, selain saya ingin meminta izin untuk mengadakan kegiatan disini pada kepala dusun. Nanti saya juga perlu bertemu dengan ketua atau pengurus karang taruna di dusun ini Mas. Atau, perwakilannya aja juga tak apa sih Mas!,” ujar gadis itu penuh semangat.

“Ups! bukan, bukan Mbak. Malu kalau saya disebut tokoh pemuda dusun ini. Saya juga baru ... tinggal di dusun ini eh. Namun saya memang kebetulan kenal saja dengan Pak Kasun-nya. Tapi, kalau soal mau bertemu ketua pemuda dusun atau karang taruna, disini ... tak ada Mbak. Barangkali muda-mudi dusun yang masih tinggal disini, beberapa gelintir adanya, salah satunya, ya saya ini Mbak.”

“Berarti, nanti wakil pemuda sini yang bisa saya temui, Mas-nya saja ya! Bisa kan Mas?” seru gadis itu dengan mata berbinar-binar.

“Aduh, hmmm, gimana ya,” aku berlagak sok jual mahal. “Kalau memang Mbaknya berkenan sih. Bisa-bisa aja sayanya. Ayo kalau mau saya antarkan ke rumah Pak Kasun sekarang Mbak. Mumpung saya tak lagi repot. Motornya di parkir disini saja. Aman dan gratis kok. Santai, tak ada maling kok disini, hehehe,” ucapku meringis.

“Oke deh Mas!”

Kami berdua pun melangkah ke rumah kepala dusun. Di perjalanan, aku semakin terpantik sungguh ingin meng-kepoi gadis ini ternyata.

“Kalau boleh tahu, namanya siapa Mbak?”

“Aku Diba. Adiba sih lengkapnya Mas.”

“Sedang ada keperluan apa Mbak. Tugas darurat dari kuliah, eh, kampusnya kah. Kok sampai-sampai, sepagi ini, sudah datang kemari. Sepertinya juga penting sekali ya?” cerocosku tak henti-henti mengintrogasi Adiba.

“Itu Mas, urusan komunitas, emm, organisasi saya dan kawan-kawan. Kesini pagi-pagi soalnya kalau sore ujan terus sih.”

“Kalau asalnya dari mana?”

“Asal saya, atau organisasi kami Mas?”

“Semuanya deh, kalau boleh,” sahutku girang.

“Kalo asal saya sih, dari Lamongan Mas. Tahu kan Mas yang terkenal soto-nya itu loh. Kalau komunitasnya kami ini, kebetulan isinya anak-anak yang masih kuliah di Malang, sih.”

“Oohhh, yang terkenal pecel lele-nya juga dong?”

“Yaps! Betul!”

“Kalau nama komunitasnya, apa Mbak? dan rencananya mau bikin apa di dusun ini?”

“Komunitas Punggawa Indonesia, nama organisasi kami Mas. Jadi, rencananya saya lagi survey-survey lokasi Mas. Kami sedang ingin mencari lokasi pelatihan. Untuk bekerjasama dengan masyarakat sini. Desa ini saya rasa pas aja sih, Mas,” ujar gadis itu sembari mengambil sejilid proposal dari tas cangklongnya.

“Mungkin, Masnya bisa baca-baca proposal saya ini dulu untuk lebih jelasnya....” kata Adiba yang mulai lelah kutanya.

“Oke-okey,,,”

Lihat selengkapnya