Tak berselang lama. Semenjak hari perjumpaanku dengannya. Aku menjadi semakin akrab saja dengan Adiba. Urusan ijin Pak Kasun dan kesepakatan masyarakat pun beres. Mempengaruhi mindset warga itupun bisa kuatur dengan berbagai cara. Maklum, soal lobi dan negosiasi, sudah jadi makanan sehari-hariku dulu saat di Jakarta. Hari ini Adiba mengajakku berjumpa di Kedai Merah Putih. Kafe faforitnya jika sedang berada di kota Batu. Ia juga akan mempertemukan aku dengan para timnya di Komunitas Punggawa Indonesia. Aku sudah sejam bersama Adiba disini. Kami banyak membicarakan kondisi dusunku terkini. Dan sesekali aku nekat mengulik kehidupan pribadi Adiba. Begitupun sebaliknya.
Dua pemuda tiba-tiba datang. Namun airmuka kedua pemuda itu kontras. Salah satunya datang dengan membawa airmuka riang. Yang satunya lagi, berjalan menunduk bagai menggendong segunung rasa salah. Satunya memakai blangkon dan satunya lagi berambut gondrong. Melihat tampilan mereka, kok yah sangat mirip dengan jamanku masih menjadi aktivis mahasiswa dahulu kala. Aku bisa menebaknya. Kalau mereka berdua itu, adalah tim Puggawa Indonesia yang kata Adiba tadi, masih aktif di organisasi pergerakan mahasiswa
“Maaf nih Bu Ketum. Kami berdua agak telatan dikit. Dikit nggak papa kan Buk,” ucap pemuda berblangkon itu sambil menyalami kami berdua.
“Se—di—kit, katamu Wen,” serang Adiba.
“Maaf Buk ... ini soalnya kami tadi baru selesai dari acara organisasi ekstra kampus. Harap maklum, Bu Ketum kan tau soal jam karet organisasi ekstra kampus kami itu, hehehe. Terus pas berangkat kesini, tadi ban motorku juga sempat bocor di jalan Buk. Mau ngabari Bu Ketum, eh—HP-ku low bat. Hape si Ferdi ini juga tak ada pulsannya, maap-maap deh udah telat.”
“Kamu ini Wen ... Wen, kapan sih kamu gak telat!” tegur Adiba kepada pemuda berblangkon. Sejenak ia diam. “Ya sudah. Pesan dulu minum di bawah sana. Pesan juga buat Ferdi ya,” intruksi Adiba buat pemuda berblangkon.
“Udah kok Buk. Kami tadi sudah pesan di bawah sebelum naik,” sahut Ferdi. Pemuda yang berambut gondrong. Setelah itu mereka berdua diam beberapa detik. Tatkala dilabrak tipis-tipis oleh Adiba yang kesal atas keterlambatan mereka. Sadis benar Adiba kalau soal urusan ketertiban berorganisasi yah. Namun sebagai ketua mereka berdua di Komunitas Punggawa, ia tahu bagaimana harus bersikap selanjutnya pada mereka berdua.
Selanjutnya, Adiba mulai mengubah ekpresinya. Tak memasang airmuka garang seperti tadi. Ia mulai bercanda, ramai dan melucu. Karakter aslinya terkuak. Ia memperkenalkan kawan-kawan komunitasnya itu padaku. Si pemuda berblangkon itu nama aslinya Ramdan Rahmatullah. Tapi di kota Malang ia lebih viral dipanggil Tumwen—Wen. Tumwen berparas hitam legam. Giginya tak beraturan menguning pula. Memakai kaos berlogo organisasi ekstra kampus kebanggaanya. Namun kaos bercorak biru kuning itu ia jaketi dengan jaket hitam tebal sepinggang. Rambutnya keriting. Nampak dari jambang yang mengakar di bawah blangkon batiknya.
Tumwen ini, asyik juga orangnya. Tatkala berbincang dengan orang baru ia terkesan mudah menyesuaikan. Ia pintar mengolah bahasa. Hanya, masalah wajahnya saja yang mungkin sukar untuk bisa mendapatkan pacar. Hehe. Tumwen badannya cungkring mengering. Mungkin ia kebanyakan puasa ngerowot dan berbuka pil promag khas aktivis kala kehabisan uang. Beberapa menit aku dengar dan cermati, kata-kata yang keluar dari bibir hitam Tumwen itu memang amat berisi dan penuh kharisma. Namun tetap tak mengurangi gaya bercandanya yang renyah.
Yah, mungkin itu yang membuatnya selalu dipinta jadi pimpinan organisasi oleh sahabat-sahabatnya di kampus. Tumwen ini sekarang tengah menempuh pendidikan S2 jurusan tarbiyah di UIN Siti Jenar. Perguruan tinggi negeri Islam di kota Malang yang cukup menterang namanya di level nasional. Ia mendapat beasiswa dari kementrian pemuda dan olahraga, karena sampai kini, ia sangat aktif dalam organisasi kemahasiswaan kecintaannya tersebut.
Selain menterang dan mendapat beasiswa paska sarjana. Tumwen juga menjadi ketua umum di Pergerakan Mahasiswa Moderat (PMM) cabang kota Malang. Dia mulai aktif di organisasi pergerakan mahasiswa itu, sejak masih kuliah S1. Saat ia masih menempuh strata pertamanya itu di salah satu kampus swasta Islam kenamaan di kota Malang. Sejak kecil, katanya Tumwen memang sering menjadi ketua. Ia pun rutin diamanahi menjadi pemimpin di berbagai ranah. Sejak bersekolah memang sangat mencintai organisasi. Sampai jarang sempat ada di rumah. Dan tentu juga jarang sempat mandi. Hehe.
Bahkan sejak kelas satu MI hingga SMA, Tumwen selalu menjadi ketua kelas. Dan berlanjut saat kuliah, ia juga sempat menjadi Presiden BEM di kampusnya. Dan menjadi pendiri beberapa organisasi dan forum studi. Baik intra dan ekstra kampus. Sebelum akhirnya, kini ia hanya fokus di organisasi pergerakan mahasiswanya itu. Ia mendapat amanah untuk memimpin mahasiswa yang mengaku berideologi moderat di kota Malang.
Begitu pula dengan si pemuda berambut gondrong. Ferdi, kawan seperjuangan Tumwen yang kemari bersama dia. Nama lengkapnya Ferdi Budi Laksono. Dia pula masih tercatat menjadi pengurus di organisasi yang dipimpin Tumwen. Namun bedanya, Ferdi hanya menjadi anggota biasa disana. Bukan pengurus inti. Untuk urusan akademik, Ferdi tak seberuntung Tumwen. Mungkin karena kebanyakan galau per-wanita-an kali ya. Sampai kini. Fersi masih berkutat dengan skripsi S1 di Universitas Brojomukti. Perguruan tinggi negeri paling menterang di kota Malang. Adiba juga masih menyelesaikan studi doktoralnya disana.
Ferdi berwajah satu tingkat diatas Tumwen. Kulitnya sawo matang. Bukan hitam legam seperti milik Tumwen. Rambutnya ia biarkan gondrong sebahu dan lusuh. Rambut ikal itu ia biarkan tergerai menceruas kemana-mana. Ferdi nampak lebih pendiam. Hanya sesekali ia ikut bersenyum. Dikala kami bercanda sampai terbahak-terbahak. Mungkin, Ferdi ini tipe orang pembaca karakter dan suasana, barulah ia memperlihatkan karakter aslinya.
Aku masih senyum-senyum geli sendiri dari tadi. Tatkala melihat pakaian mereka berdua yang compang-camping. Mengingatkanku juga pernah berpenampilan seperti itu di masa kuliah dulu. Meski mereka sedang datang ke tempat modernis seperti Kedai Merah Putih ini. Kedua mahasiswa berbeda nasib namun kompak dalam naungan organisasi itu, tak merasa minder dengan stayle aktivis 90-an mereka. Yang paling membuat kami berempat tak henti-hentinya terbahak adalah kompetisi gokil mereka dalam urusan cinta. Tumwen dan Ferdi memperebutkan satu wanita yang sama. Cewek kurang beruntung itu bernama Izza. Mahasiswi semester muda yang juga ikut tergabung di komunitas Punggawa Indonesia dan organisasi pergerakan mahasiswa yang di ikuti Tumwen dan Ferdi.
“Mesra sebagai sahabat, namun saling jegal dalam cinta. Itulah nilai dasar pergerakan cinta kami berdua, Mas Pijar!” ujar Tumwen penuh bangga. Sontak semua tertawa mendengar bualannnya itu. Dua anak muda itu terlibat dalam perang saudara. Memperebutkan bunga tercantik di organisasi ekstra kampusnya. Menurut versi mereka.
“Ah ... Dari namanya saja aku tak yakin cewek yang kalian rebutkan itu cantik,” sahutku mencoba meledek mereka berdua. Ikut menjadi wasit di kompetisi antara si Blangkon dan si Gondrong ini.
“Waaaah. Persoalan ini. Mas Pijar belum melihatnya sendiri sih,” ketus Ferdi membela gadis pujaannya. Akhirnya, Ferdi berani juga bercakap denganku. Tak sungkan-sungkan lagi seperti diawal berjumpa tadi.