MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #6

Pasal 5 BASECAMP

Nampaknya semburat mentari fajar memang belum muncul. Ini belum siang. Bahkan belum pagi. Namun aku mendadak terbangun. Tatkala mendengar Ferdi membangunkan semua pasukan Punggawa. Ada apa sebenarnya. Dari balik kamar temaram yang pintunya terbuka abadi karena rusak. Karena lantai-lantai rumah yang tak datar lagi, dan dindingnya beretakan karena developer macam kurang sungguh-sungguh dalam membangun rumah di kompleks perumahan ini. Kulihat Ferdi sibuk membangunkan semua kawan-kawannya yang ketiduran. Termasuk juga Tumwen, sang ketua umum pergerakan mahasiswa itu.

Dibalik tampilan mereka yang acak-acakan. Muka usang karena terlalu banyak bergadang sembari menyeruput kopi dan jagong remi. Gigi-gigi menguning dan bibir yang menghitam karena mereka adalah para pecandu rokok tak berkesudahan. Di sepertiga malam yang masih tertutup kabut ini, pemuda-pemuda itu kini bergantian wudlu dan ada yang telah khusuk bersujud. Apa mereka sholat subuh. Atau baru sholat isya. Ah tak mungkin. Tadi kan seusai rapat kami semua sudah sholat isya berjamaah.

Aku melirik jam tangan perak di lenganku. Masih pukul tiga pagi. Tentu Ferdi tak mengajak sahabat-sahabatnya itu sholat subuh. Sepertinya mereka sedang sholat malam. Ah, malunya aku yang diawal berjumpa merasa lebih baik dari mereka. Ternyata, meski tanpa bahana, mereka semua itu berusaha selalu mengingat Tuhan-Nya. Dengan langkah gontai, akupun melangkah keluar kamar. Menuju kamar mandi yang nampak di dinding dan pintunya mengusam. Akibat asap kompor barangkali.

Kamar mandi mereka kecil dan tampak sangat usang. Keran airnya sedikit rusak. Air menetes sebiji-biji jagung, perlahan. Seusai mengambil wudlu, aku lalu membaur ke ruang tamu rumah kecil basecamp mereka ini. Yang kini telah mereka sulap jadi pasujudan tengah malam. Setelah mereka usai mendirikan sholat malam. Mereka tak satupun berlalu tidur. Aku pun memperhatikan kegiatan anak-anak itu. Diam-diam sembari duduk diam bersila. Mungkin mereka tengah menunggu waktu subuh tiba.

Ferdi tengah khusuk melantunkan ayat-ayat ilahi. Sayup-sayup merdu. Ia bersuara pelan namun terdengar fasih. Sedangkan Tumwen sedang duduk bersandar di dinding. Matanya memelototi buku huruf demi huruf. Ia sedang membaca buku tebal yang kulirik judulnya, Atlas Walisongo. Begitupun kawan-kawan mereka yang lain. Si anak gendut. Berkepala sedikit botak, yang tadi memperkenalkan nama sapaanya adalah Gudek. Ia kini sedang membolak-balik kitab berwarna kurning beraksara arab gandul, sepertinya ia memang santri tulen. Gudek tadi memang sempat bilang. Kalau ia kuliah di jurusan sastra arab. Sedang anak-anak yang lain, yang belum aku ketahui nama-nama mereka, sedang menghadap buku dan komputer jinjing mereka masing-masing. Mungkin mereka tengah menulis makalah atau skripsi mereka yang belum kunjung usai. Cetak-cetik jemari mereka asyik menari di atas keybord. Ketika kulihat Ferdi telah menutup kitab suci, yang ia lantunkan syahdu tadi, akupun memberanikan diri bertanya kepadanya.

“Apakah kegiatan tengah malam seperti ini selalu kalian lakukan tiap hari, Fer?” tanyaku penasaran.

“Insya Allah seperti itu Mas. Kalau memang tidak ada suatu halangan yang mendesak. Kami disini belajar mengistiqomahkan hal itu. Ya, seperti yang sudah Mas Pijar lihat sejak datang kemari itu Mas. Jagong kartu oke, tapi ibadah, baca, diskusi dan pada ibadah jangan sampai lupa, hehehe,” ujar Ferdi bernada sungkan.

“Apa saja yang kalian lakukan bersama-sama, selain itu?” tanyaku lagi.

“Ngopi bareng sembari jagong remi itu sudah pasti Mas. Dan selain itu, waktu sholat lima waktu kami saling terbiasa mengingatkan, juga bergantian untuk jadi imam sholat berjamaah. Saling mendukung lah pokoknya masalah kuliah, kerja dan bisnis bersama-sama, membayar air, listrik dan sewa rumah kontrakan ini. Kamipun iuran untuk semua kebutuhan kami. Seperti dikala belanja, masak dan makan pula bersama. Pokoknya serba berjamaah, tak boleh sendiri-sendiri, kecuali urusan cinta, hehehe. Bahkan kami menanam berbagai tanaman bersama-sama di depan itu Mas, untuk bumbu gratis saat masak. ” katanya memperjelas.

“Selain itu?” tanyaku yang masih saja penasaran.

“Ada ngaji bersama, diskusi apapun jua, hingga saling mententor ilmu. Kami berada disini ini rata-rata ingin menyepi dari dunia lamanya Mas. Rumah ini kami ibaratkan pesantren pertaubatan kami. Meski kebanyakan anak disini ini, dulunya rata-rata alumni pesantren. Tapi diawal masuk ke Malang, dulu kami yaaa ... sempat lah dulu kita-kita ini tergoda dunia glamor, seperti kebanyakan mahasiswa di Malang ini Mas. Namun di ujung masa kuliah kami semua ini. Kami sangat ingin berbenah diri. Seperti seorang yang ingin ber-uzlah, yah, kita anggap rumah sunyi ini adalah Gua Hira kami lah Mas Pijar. Hehehe.”

Ferdi menerangkan sembari mengikat rambut gondrongnya bagai ekor kuda.

Belum semua pertanyaan sempat aku tanyakan pada Ferdi. Bagaimana mereka menjalani dan membuat peradabannya sendiri di tempat ini. Terdengar suara adzan subuh berkumandang dari masjid di luar sana. Aku jadi teringat nasehat almarhum Ibuku. Jika dirimu boleh menyebar ke penjuru bumi manapun saja. Asalkan satu, jangan tinggalkan sholat lima waktumu. Utamakan berjamaah dan tepat waktu.

Begitulah, petuah Ibuk dulu. Sholat dapat mencegah manusia yang ingin bernafsu melakukan kemungkaran. Kini nasehat Ibuk itu selalu terngiang-ngiang jika adzan berkumandang. Iman dan ketaqwaanku memang masih rentan. Mungkin memang karena masih ingin mendapat kemudahan duniawi. Belum seutuhnya ikhlas hanya karena sebagai hamba Tuhan. Itu rahasiaku. Tak masalah jika sholatmu kini, memang masih harus engkau paksaan dulu. Urusan ikhlas dan diterima atau tidaknya oleh-Nya, kita serahkan saja kepada pemilik kedaulatan diri manusia.

Kami, seisi rumah basecamp ini lalu bangkit berwudlu. Membasuh tubuh kami dengan air dingin khas daerah pegunungan. Namun aku melihat hanya satu teman di rumah kontrakan Ferdi ini, yang ia terus saja membaca buku tak ikut sholat bersama kami. Ada yang aneh dengannya.

“Tak ikut sholat subuh juga Mas,” tanyaku padanya.

Lihat selengkapnya