Hari-hariku berkomunitas dan beraktivitas dengan sahabat-sahabat Punggawa Indonesia pun berjalan hangat. Ada kisah unik di malam tahun baru. Malam tahun baruku semenjak aku kembali ke kota ini. Kini sangat berbeda dengan malam-malam tahun baruku yang pernah kulewati di ibukota. Tak ada pesta mewah. Tak ada jalan-jalan. Tak ada pesta kembang api, pesta bir apalagi pesta freesex seperti di luaran sana. Seperti yang dilakukan mahasiswa dan orang-orang hedon di luar sana. Disini, Adiba malah mengajak kami kenduren. Acara selamatan kecil-kecilan di basecamp. Sekaligus rapat ikhwal keberlanjutan Akademi Punggawa Indonesia. Malam ini kami semua berkumpul. Ditemani papan rapat dan beberapa piring gorengan hangat. Plus kopi panas yang mengepul-ngepul asapnya.
Ferdi di amanahi memimpin doa. Melantunkan surat yasin dan tahlil berjamaah. Entah apa maksud utamanya. Tapi, itulah cara kami berpesta. Dengan melakukan ibadah kenduren. Akulturasi budaya Jawa dan Islam yang di ajarkan walisongo. Seusai doa, lantas kami menyantap tumpeng bersama. Bukan, bukan berupa tumpeng nasi kuning dengan ingkung ayam di atasnya. Tumpeng kami adalah segunung mie goreng dengan puluhan lombok dan ceplok telur. Semua dari mulai nihil saldo. Bahkan stok beras yang biasanya menumpuk, hari-hari ini tinggal beberapa biji. Kecuali saldo Adiba pastinya. Dialah yang lagi-lagi menjadi donatur makan dan minum kami semua.
Aku sebenarnya sangat malu. Tatkala keluar dengan Adiba seorang. Atau jika sedang keluar bersama para sahabat Punggawa. Adiba selalu menjadi bendahara rahasiaku. Bekal saldo ATM yang kutabung selama di ibukota telah raib. Selama disini, aku tak ada pemasukan lagi. Hasil penjualan laptop keramat yang dulu kubeli di Jakarta, kini juga telah habis. Tak ada kepemilikan harta dunia yang abadi tentunya. Lantas akupun memutar otak dan hati.
Apa aku harus menumpuk hutang seperti di Jakarta dulu. Kalau aku mau berhutang di kota ini, kepada siapa aku harus mengais-mengais. Mau pinjam uang ke siapa. Hutang-hutang lamaku saja masih banyak yang belum lunas. Masa, aku harus hutang terus pada mereka. Para sahabat Punggawa. Mereka pun rata-rata masih pemuda yang berstatus mahasiswa tanggungan orangtua. Aku seharusnya malu. Mereka saja, untuk tambah-tambah uang jajan dan bertahan hidup disini. Rela bekerja apapun saja yang bisa mereka lakukan. Siang dan malam. Tak enak juga akhirnya hamba.
Meski, sebenarnya Adiba tak enggan meminjamiku. Bahkan ia bilang tak usah mengembalikan uangnya. Aku pun sampai kini tak pernah meminta bantuan dari wanita kutaksir itu. Malu lah. Dan tak enak. Kalau aku yang lelaki malah menjadi beban baginya. Meski aku merasai kenyaman. Selama bergaul dan berkomunitas sosial dengan mereka. Namun kondisi bersekaratku yang tanpa aktifitas produktif. Khususnya ikhwal kantong. Tentu menjadi masalah pribadiku yang terdarurat.
Aku tetaplah manusia. Bukan malaikat yang tak butuh berkerja dan uang untuk bertahan hidup di dunia. Karena malaikat toh tetap bisa hidup meski seumur hidupnya dihabiskan untuk bersujud pada Allah Ta’ala. Aku tak boleh terus berpangku tangan dengan orang lain. Aku butuh makan. Aku butuh pulsa. Dan semua kebutuhan alamiah seorang manusia di dunia. Akhirnya, kuberanikanlah. Berbincang pada para sahabat. Aku ingin ikut bekerja sambilan seperti mereka. Apapun pekerjaan asal halal kini siap kulakukan. Aku berdamai dengan keadaan. Sembari terus berkegiatan sosial. Aku akan mencoba bekerja. Belajar berbisnis dengan mereka sepertinya solutif.
“Sobat-sobat. Apa aku besok boleh ikut-ikut bantu-bantu bisnis kalian. Tak apa lah aku ikut bekerja apapapun jua.” Kataku saat berkumpul dengan seisi basecamp.
“Wah ... kebetulan Mas Pijar. Sabtu besok, ikut Diba aja. Jualan bunga wisuda. Kebetulan si Tumwen ini lagi males jualan sekarang. Lagi garap proyek seniornya mungkin dia. Terus, besok-besoknya, mungkin bisa bantu-bantu bisnis anak-anak yang lain,” sahut Adiba penuh semangat.
Tumwen yang tengah bersandar di dinding sembari menyesap kreteknya, tiba-tiba berucap dengan gaya bahasa Malangannya, “wah kena PHK dadakan nih ayas.”
“Kamu enggak komit kalo bab bisnis sih Wen. Diajak ambil stok bunga pagi-pagi, malah masih molor,” serang Adiba.
“Woke. Woke. Syiiiap deh, Bu Ketum! Lagian aku lagi sibuk-sibuknya nyelesaikan tesis juga sih,” ucap Tumwen.
“Sibuk tesis atau sibuk nge-chat dan ngajakin jalan Izza nih Pak Tumwen ...,” celetuk si Cuplis dari arah dapur.
Ferdi kebakaran jenggot mendengarnya. Izza menunduk malu.
***
Tanpa banyak alasan. Aku pun mulai start magang berbisnis. Dengan mentor-mentor pengusaha kece, nyentrik bin nyeleneh. Kepunyaan Komunitas Punggawa. Aku mendapat jadwal menemani Adiba, di hari pertamaku berbisnis. Seperti tawaranya kemarin. Membantu Adiba mengambil stok bunga di petani, merangkainya dan lalu ia menjualnya sudah berupa buket bunga wisuda yang cantik bin romantis. Pukul lima pagi. Saat kota batu masih tidur. Embun-embun masih membasahi hamparan alam hijau daerah lereng pegunungan ini. Aku bersiap membonceng Adiba. Menuju lokasi kampus-kampus di kota Malang yang tengah menggelar wisuda mahasiswa.
Aku dipinta duduk bersiaga. Memegang kemudi motor maticn-ya. Sekerdus bunga ia letakkan di antara kedua kaki-kakiku. Sekerdus lagi Adiba pangku. Aku kuat-kuatkan menahan agar tak rubuh. Tatkala Adiba mulai menaiki motor. Posisi kami memang agak doyong. Karena Adiba duduk di jok belakang dengan kedua kaki menyamping. Ia tak biasa di bonceng dengan posisi layaknya aku membonceng cowok. Lagian ia juga memakai gamis. Bukan celana. Tentu aku tak berani memaksa Adiba mengganti posisi duduknya kan.
Kami berdua pun melesat menyusuri jalanan kota. Semua nampak masih sunyi. Namun di pagi buta ini, kita berdua telah menyemai asa. Tatkala banyak mahasiswa lain yang masih membangkong di dalam kamar-kamar kosnya. Kami berburu calon konsumen bunga wisuda. Menjajakan produk kreatif. Hasil kreasi dan kerjamasama seorang Adiba dan beberapa petani bunga kota Batu. Memang beberapa buket bunga tak Adiba kerjakan sendiri. Melainkan ia juga mengajari para petani itu agar bisa merangkai buket bunga juga.