Hari ini adalah jadwal rapat finishing pembukaan Akademi Punggawa Indonesia. Kami akan merapatkan keseluruhan program pendampingan yang akan dilakukan. Kami juga akan evaluasi kembali. Pembagian jobdis untuk masing-masing anggota. Sampai dimana progress yang telah selesai dikerjakan. Semua telah berkumpul.
“Kawan ... nampaknya persiapan teknis penyelenggaraan program kita esok itu saya rasa sudah mantap. Namun, beberapa hari yang lalu, saya timang-timang, ada satu hal yang kurang,” ucap Adiba. Di akhir sesi rapat.
“Apa itu kira-kira Bu Ketum?” tanya Ferdi.
Adiba berfikir sejenak dan lalu berkata, “kita sepertinya butuh mencari pembina yang usianya tak muda, namun ia harus tokoh yang pakar dan expert dalam bidang inovasi. Dan yang harus sudah terbukti di masyarakat lah. Kalian ada yang punya jejaring tokoh yang demikian nggak?”
“Siapa ya Buuuuuk ...” seru semua anggota rapat.
“Aku sih banyak kenalan. Tapi kebanyakan para pejabat publik dan politikus yang banyak omdo doang sih, hehehe,” celetuk Ramdan si Tumwen.
“Hmmmmmmmmmm,” serang kami kompak.
“Sebentar. Sebentar. Aku sepertinya ada seseorang yang rekomended deh soal siapa tokoh ini, beliau memang bukan seorang pejabat, profesor atau akademisi kampus. Namun aku yakin beliau akan sangat dapat membantu dan suka dengan langkah kita ini,” tawarku pada semua. Tiba-tiba aku ingat dengan Kang Sanun. Seorang jenius yang kukenal tempo hari di dalam kereta itu. Adiba terlihat sumringah dan seraya berkata, “Siapa beliau. Siapa beliau Mas Pijar?”
“Beliau orang Batu juga. Namanya Kang Sanun. Coba nanti aku kontak beliau dulu ya. Kalau beliau siap, besok aku perkenalkan pada kalian deh. Sekalian di malam pembukaan program Akademi Punggawa Indonesia saja.”
“Woke. Sip Mas.” Ujar mereka semua kompak.
***
Selepas rapat. Aku bertolak pulang. Sesampainya di rumah, mendadak aku dipanggil oleh Pak Kasun. Kata beliau, ada sedikit masalah ikhwal perizinan agenda Punggawa Indonesia. Beberapa tetua dan muda-mudi ada yang masih kurang setuju. Mereka berpendapat, dusun ini tak perlu di masuki yang aneh-aneh. Apa pula maksud mereka itu. Aku memang pemuda di kampung ini yang paling kekeh—tetap melanjutkan kerjasama dengan Adiba dan komunitas Punggawa-nya. Kakek dan Nenek berujar padaku, kalau aku di tunggu untuk rapat di gedung madrasah dusun kami. Segera aku datang kesana.
Aku berdebat keras. Mendekati bertengkar dengan banyak orang. Di rapat para tetua dan pemuda dusun Kaputren. Sebenarnya kuakui, aku merasa tak enak dengan mereka. Apalagi mereka rata-rata adalah tokoh agama. Posisiku yang hanya sebiji pemuda anak kemarin sore berada di situasi genting. Dari musyawarah yang kami lakukan sejak bakda isya hingga menuju tengah malam, akhirnya, membuahkan hasil yang adil bagiku dan beliau-beliau. Tentang keputusan, apakah dusun kami akan melanjutkan kerjasama dengan komunitas Punggawa atau di tutup-bubarkan. Segala rencana kami.
Bagaimana aku tak ingin memperjuangkan agenda kerjasama itu mati-matian. Lebih dari sebulan ini, telah kuwakafkan hariku untuk mempersiapkan segalanya dengan Tim Punggawa Indonesia. Namun kenapa disaat acara pembukaan kami tinggal esok lusa. Harus ada pendapat dan rapat untuk membatalkan kerjasama ini. Sejak Adiba menginjakkan kaki tuk pertama kali di dusun mungilku ini. Dan sejak itu pula, aku diberi amanah Tim Punggawa untuk mengurus perizinan dan negosiasi dengan semua masyarakat disini. Ini bukan soal cintaku dengan Adiba saja kan. Ini tentu tentang harga diri dan kredibilitasku yang di pertaruhkan.
Sesungguhnya, semua kebijakan masa depan dusun ini, tinggal bagaimana cara memimpin dan mindset Pak Kasun. Karena tak ada yang mau menggantikan bapak tua bernama Imam itu sebagai satu-satunya kepala dusun disini. Mungkin menjadi kepala dusun selama puluhan tahun itu masuk dalam nominator MURI atau Guiness Record, yah. Tapi itu tak penting bagiku. Karena inti dari perlawananku melawan kehendak masyarakat yang terkesan menyergapku hingga akhir rapat tadi adalah ikhwal cinta.
Cintaku pada perbaikan. Cintaku pada dusun kelahiranku dan ibuku ini. Cintaku pada Kakek, Nenek dan semua sanak family. Cintaku pada masyarakat disini. Cintaku pada para almarhum leluhur dusun ini. Dan cintaku pada progresifitas anak-anak muda, remaja dan bocah-bocah kecil kampung ini—yang tentu mereka adalah tunas muda penggerak kemajuan era yang akan datang. Meski sampai hari ini, aku seolah masih dianggap sebagai warga pendatang oleh beberapa warga sini. Aku tak peduli.
Aku masih tak habis fikir. Bagaimana Pak Kasun seminggu yang lalu, mendukungku habis-habisan. Tiba-tiba di malam ini, kenapa ia seolah berubah 180 derajat. Ada apa gerangan. Aku hanya megangguk dan melemparkan senyum pada mereka. Entah kenapa, aku belum ikhlas saja dengan semua ini. Seolah-olah mereka semua itu adalah para tiran yang berhasil merampok anak kandungku dan membunuh anak yang kucintai itu di depan mataku sendiri. Tanganku masih saja mengelus-elus sebuah meja kayu jati.
Beberapa pemuda dan tetua dusun, ternyata masih mendukung perjuanganku selama ini. Tetap menjalankan agenda kami sebagaimana sedia kala. Dan keputusan itu : alhamdulillah, sungguh mengagetkanku. Pak Kasun entah karena musabab apa. Tiba-tiba ia memutuskan akan tetap melanjutkan kerjasama. Namun ia memberi syarat. Jika tak ada bukti manfaat yang kongkrit selama satu bulan. Maka agenda Komunitas Punggawa Indonesia di dusun ini akan di stop. Akupun menyanggupi tantangan beliau.
Seusai rapat selesai. Akupun berjalan pulang menuju rumah. Aku ingin mencari sandaran hati, fikir, jiwa dan raga. Kepada beliau-beliau aku ingin berkeluh kesah. Kepada siapa lagi di dusun kecil ini aku akan mencarinya, kalau bukan pulang ke Kakek dan Nenek yang setia menantiku di rumah udik mereka. Rumah gubuk di ujung timur pedusunan ini. Namun disana adalah surga tempatku tinggal dengan tenang.
Angin alam pegunungan di musim kemarau ini, rasanya lebih dingin dari musim-musim sebelumnya. Aku sudah sangat rindu musim penghujan. Dimana kunikmati ketimpang-ketimpung dendangan suara katak di pejublangan. Dibawah rimbun bambu yang mengalungi dusun ini. Purnama rembulan di atas sana sedang melirik padaku. Ia bersenyum-senyum dari balik awan kelabu. Bagai ia sungguh tahu, aku tak lagi berhati pilu.
“Ka-kek, Kek ... Pijar pulang. Tolong bukakan pintunya,” ucapku berkali-kali saat mengetuki pintu rumah beliau yang semakin usang. Sebagai cucunya, aku belum jua mampu merenovasi seperti para tetangga. Sepertinya Kakek dan Nenek sedang tertidur pulas. Mungkin beliau-beliau baru saja tidur dan kelelahan seharian di ladang.
Aku semakin hawatir dengan kesehatan kedua orang terkasihku itu. Beliau berdua kini lebih sering terbatuk-batuk dan sakit-sakitan. Namun mereka tak pernah mau diam. Selalu ada saja yang ingin mereka sibukkan. Padahal sudah sering menegur. Agar lebih banyak beristirahat saja. Namun sedari dulu, Kakek dan Nenekku itu memang tipe manusia super aktif. Tak pernah mau berdiam diri saja.
Setiap hari, selain berladang. Nenek hingga larut malam masih suka begadang. Menjahitlah, membantu Bu Nyai Fatimah-lah, membungkusi jajanan untuk di jual-lah, dan terkadang ia juga sibuk berjam’iyah pengajian ibu-ibu muslimah. Seolah sedetikpun, hidup beliau tak ingin hanya untuk ia nikmati sendiri. Bahkan dari jasa menjahit yang beliau jalani semenjak lulus dari pesantren dan menikah dengan Kakek. Nenek suka sekali menggratiskan jasa menjahitnya itu untuk para santri. Beliau tak pernah merasa bisnis menjahitnya itu adalah ladang merampok uang para kliennya.
Jika tetangga sekitar meminta Nenek mempermak baju atau memasang emblem di baju sekolah anak mereka. Beliau pun terkadang menjahitkannya secara sukarela. Bahkan, jajanan yang kadang ia bungkusi hingga larut malam itu, dari hasilnya, beliau niatkan untuk membantu salah satu tetangganya. Seorang janda tua tanpa anak, yang kini semakin sulit menyambung sepuluk dua puluk nasi. Penyambung hidup sehari-harinya. Seusai si janda tetangga kami itu membantu menjualkan jajanan Nenek. Beliau biasanya membagi hasilnya langsung dengan si janda tua itu.
Krieeettttthhh. Pintu berbahan kayu selubin di depanku tiba-tiba mengeluarkan bunyi berderik-derik. Wajah Kakek pun muncul dari cela-cela pintu. Membukakan pintu buatku. Setelah beliau tadi menyalakan lampu ruang tamu. Dengan memajang mata keriputnya yang masih berkantuk-kantuk, Kakek bergumam, “kok rapatnya sampai tengah malam begini, Jar. Jangan-jangan ada yang bertengkar lagi ya, uhugk. Uhugk.”
Batuk kakek di ujung kalimatnya itu nampak semakin parah.
“Sudah, aman kok Kek ... tak ada lagi yang bertengkar. Sudah di putuskan. Agenda Punggawa Indonesia tetap di lanjutkan. Sudah, Kakek lanjut istirahat lagi saja,” pintaku beliau. Aku yakin Kakekku pasti dilanda lelah yang teramat. Selain menjadi petani dan petugas kebersihan di Pesantren Assalam. Beliau juga sampai sekarang, masih menerima pekerjaan sambilan sebagai kuli panggul para juragan buah dan sayur-mayur. Yang terkadang hingga larut malam ia lakukan. Tiba-tiba, malam ini kurasai, aku sungguh membebani hidup Kakek dan Nenek selama tinggal disini.
***
Semua persiapan telah kami tunaikan. Tim Punggawa Indonesia, malam ini siap membuka akademi sekaligus program pembinaan masyarakat yang di impikan. Warga telah berduyun-duyun meninggalkan rumah mereka. Menuju halaman madrasah ibtidaiyah dusun kami yang akan menjadi tempat bersejarah. Mereka bahkan ikhlas membawa makanan dan jajanan ringan semampunya. Dengan ikhlas mereka kini ingin menshodaqohkan untuk acara Komunitas Punggawa Indonesia. Pak Kasun bahkan telah menyiapkan nasi kulup dari daun kangkung dan bayam, masakan istri tercinta. Tiba-tiba Pak Kasun mendukung kami berlebih-lebih gini. Tentu atas usaha Kakek yang lebih sepuh pengabdian hidupnya di dusun ini dari Pak Kasun.
Ada satu orang yang kutunggu malam ini. Dan beliau belum jua datang. Siapa lagi kalau bukan Kang Sanun. Seorang inovator yang sudah kujanjikan akan aku perkenalkan pada tim Punggawa Indonesia malam ini. Aku pamit ke muka dusun. Menanti dan menjemput kehadiran Kang Sanun disana. Yah, kupikir Kang Sanun adalah tokoh terhormat yang layak di sambut bak pejabat pemerintah atau kiai ulama mayshur. Eh, ternyata beliau datang kemari tak menggunakan mobil. Beliau naik motor udik dan berpakaian sederhana sekali. Dia berseloroh padaku, “Mas, Mas, aku tak butuh karpet merah juga kali. Tak usah di sambut bak presiden gini lah.”
“Ah, Kang Sanun paling bisa deh!”
Sekitar lima menit kemudian, aku balik menemui ke lokasi acara. Namun kini tak sendiri. Aku datang bersama seorang pria baya yang mulai menua. Terlihat dari rambut ikalnya yang sudah tumbuh beberapa biji uban. Menyelip di bawah peci beludrunya. Kerut di pipinya juga sangat kentara. Namun langkah Kang Sanun ini masih sangat tegap. Mirip gaya berjalannya seorang jenderal. Dia membawa tas kecil berwarna hitam dan bersarung. Tapi, tampilan Kang Sanun ini, memang tak menunjukkan bahwa ia seorang ilmuwan sama sekali deh. Bukan seperti seorang profesor apalagi berjaz ala style presiden dan wakil presiden Indonesia saat dilantik deh.
Adiba dan semua teman-teman menghela nafas panjang. Barangkali mereka semua berfikir keras. Apa sebenarnya yang kurencanakan dengan meminta pria baya udik bersamaku ini buat menjadi pembina mereka. Melihat tampilan Kang Sanun, tentu siapa yang percaya bahwa ia adalah ilmuwan kaliber dunia. Dengan mengajak pria baya yang sama sekali tak berwajah formal itu ke acara yang formal ini.
“Teman-teman semua, perkenalkan, ini Kang Sanun yang kuceritakan tempo hari. Beliau inilah inovator BBA dll, itu. Juga pendiri Yayasan Atlantis-Lemuria. Lembaga independen yang saat ini fokus melakukan riset tentang peradaban Indonesia. Beliau agak telat. Karena kebetulan baru datang menghadiri undangan seminar di Universitas Rajasa Yogyakarta.”
“Selamat malam. Salam kenal buat semua ya,” sapa hangat Kang Sanun.
“Malam juga Pak Kiai!” ujar Tumwen, spontan. Adiba yang berada disamping Tumwen tiba-tiba menginjak kaki Tumwen sembunyi-sembunyi. Memberi kode pada temannya yang kurang sopan itu.