Gerakan Punggawa Indonesia semakin menampakkan hasilnya. Pada masyarakat dusunku dan tentu bagi para alumnus Akademi Punggawa Indonesia. Apalagi dengan pembinaan langsung dari Kang Sanun. Semua kini dapat melihat bukti kongkritnya. Kami mengadopsi konsep pondok pesantren. Pendidikan khas Nusantara warisan walisongo itu memang sangat cocok dan kini telah terbukti banyak menuai hasilnya. Tentu dengan menselaraskan diri pada modersitas yang dibutuhkan di dunia masa kini.
Desa kami menjadi desa wisata unggulan nasional. Banyak produk dan karya ciptaan Kang Sanun yang mulai di terapkan. Tentu yang masih selaras dan mampu untuk disinergikan dengan masyarakat setempat. Kini, rumah-rumah usang milik warga masyarakat, menjadi pondok-pondok yang menjadi kawah candradimuka para pelajar. Dan warga bisa mendapat tambahan nafkah lewat usaha penyedia jasa katering untuk para peserta training dan wisatawan. Kami ajak semua belajar berdikari, tanpa melupakan tujuan utama. Menempa para pelajar itu agar menjadi generasi muda pembangkit Indonesia di masa depan.
Dan hubunganku dengan mereka, khususnya dengan Adiba semakin akrab dan semakin dekat saja. Layaknya mereka adalah warga sini sendiri. Meski mereka hanya seminggu sekali berkunjung ke dusun kami.
Malam ini aku benar-benar tak dibuat tidur oleh bayangan Adiba. Semakin kupaksa kedua mataku memejam. Semakin pula bayangannya meluap-luap di kepalaku. Kunikmati hembusan angin becampur debu. Menyaksisakan ujung-ujung pohon pinus di hutan sana itu mendayu-dayu diguncang badai angin malam pegunungan. Secangkir teh hangat menemaniku duduk menyendiri di teras rumah. Rumahku memang dikhususkan menjadi sekretariat tim Punggawa Indonesia.
“Emm, lagi nggak bisa tidur kah Mas Pijar?”
“Eh, kamu, Diba. Iya nih, Mas belum bisa tidur.., hehehe,” sahutku. Ia tiba-tiba saja muncul dan menyapaku dari arah samping rumah kesekretariatan. Mungkin ia keluar dari pintu dapur. Ia melapisi hijabnya dengan tudung khas orang gunung. Aku menyulut sebatang keretek menghilangkan grogi.
“Hayoo ... belum muhrim,“goda Pak RT memergoki kami berdua. Mendadak pria baya kandidat kuat kepada dusun Kaputren itu muncul dengan menuntun kuda besinya. Segulita ini, pria baya tetanggaku itu telah bersiap mengais nafkah. Dia akan mengantar Mbak Riroh, istrinya, untuk memburu bahan-bahan dapur. Untuk membuatkan sarapan pagi para peserta training. Tatkala Mbak Riroh keluar dari pintu rumahnya, mereka berdua pun bergegas menuju pasar meninggalkan kami.
“Diba!”
“Iya Mas.”
“Kamu belum capek kah, bertahun-tahun mengurus anak orang. Nggak kepingin ganti ngurus anak sendiri gitu,” celetukku asal tanpa kutimang-timang.
“Iiih ... Mas Pijar, ada ... aja!”
“Serius aku ini!”
“Udah-udah. Waktunya bangunin anak-anak buat sholat malam ini.”
Arloji di lengan kiriku memang telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Telah waktunya para fasil dan trainer tuk membangunkan para peserta akademi. Aku lantas diajak Adiba membangunkan para siswa. Kami berkeliling dari pintu rumah satu ke pintu rumah yang lain. Bagai aku saat dulu masih berjualan produk di Jakarta. Bedanya, aku di sepertiga malam ini, mengetuk pintu untuk membangunkan orang tuk bersujud malam. Bukan melobi calon customer kaca mata terapy yang lebih mirip membohongi orang demi terjualnya produk-produk perusahaan semi MLM-ku.
“Kum ... kuuummmmm, tahajud. Bangun tahajud adik-adik!” ucap Adiba tiap sampai di pintu asrama penginapan peserta, sambil tangannya mengetuk-ngetuk pintu rumah warga itu berkali-kali. Warga sudah faham. Ia bukan mengganggu istirahat mereka. Melainkan sedang menunaikan kewajibannya sebagai trainer Punggawa Indonesia. Setelah semua pintu telah kami berdua pastikan isi pesertanya sudah terbangun. Lantas Adiba dengan sabar menunggui para peserta mengambil air wudlu dan berkumpul di mushola.
Kusaksikan pemandangan yang tak pernah kulihat sebelum adanya Adiba kemari. Bagaimana ratusan manusia bangun di sepertiga malam dan sedang akan bertahajud jamaah. Mungkin pada awalnya, mereka para pelajar itu merasa terpaksa. Seperti dimasa kecil mereka diwajibkan sholat lima waktu. Namun ketika kebiasaan baik ini mereka rutinkan—Insya Allah, di kemudian hari, hati mereka pun akan tergerak dengan sendirinya. Membiasakan dengan ibadah bersujud penuh mulia ditengah malam itu. Seusai sholat malam telah terjalankan. Adiba bersama rekan-rekannya, kemudian mengajak mereka semua berolahraga keliling desa.
Pukul sepuluh pagi. Aku bertugas memberi materi. Aku memang kini mulai dipercaya oleh Adiba membantunya. Tatkala beberapa timnya ada kesibukan. Akupun mengiyakan, meski pengalamanku belum seberapa. Ternyata, meski diriku sejak kemarin hingga pagi ini, satu detik pun mataku belum terpejam, namun nyatanya tak ada sebersit kantuk pun yang menggantung di kelopak mataku. Apakah sebesar ini pula energi sebuah cinta itu. Bahkan semua inspirasi muncul seketika di otakku. Sejak tadi malam memang aku bingung, materi apa, game apa yang layak kusampaikan di depan ratusan peserta training kepemimpinan dan keorganisasian pagi ini. Padahal segala ilmu leadership dan pengalaman organisasi telah kutinggalkan bertahun-tahun.
Namun keberadaan Adiba pagi ini sungguh-sungguh merubahku bak ksatria. Segala jenis ilmu dan skill yang pernah kupelajari selama menjadi aktifis organisasi keluar membuncah-buncah. Aku bagai menjadi pribadi yang baru dan siap menantang segala rintang di depan. Dikala semua peserta sudah siap di hadapanku. Berbaris rapi di lapangan. Aku bakar semangat mereka penuh membara. Sebelum kubawa mereka menaiki jalan menanjak menuju lokasi outbound di dekat hutan.
“Semangat pagiiii .........!”
“Pagi, pagi, pagi!”
“ Siapa kita?”
“Indonesia!”
“Dimana kita ... ?”
“Bumi Nusantara.....!”