MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #10

Pasal 9 TAWA DAN DUKA

Kubaca berita itu dengan tangan gemeter. Subhanallah. Sesungguhnya sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Dan itu adalah janji nyata dari Allah Yang Maha Pemberi rizki. Inilah bukti dari buah ikhtiar keistiqomahan meyakini Sang Pencipta segala pintu rizki. Usaha berkirim lamaran pekerjaanku hingga berbulan-bulan ini akhirnya di ijabahi Tuhan. Nikmat mana lagi yang akan kudustakan. Dan dusta mana lagi yang masih ingin kunikmati. Aku sontak mengambil posisi untuk sujud syukur. Lelehan air menetes-netes merasuk syahdu ke bumi milik Tuhanku.

Allah Taala akhirnya membukakan jalan. Jalan masa depan pekerjaan tuk menyemai nafkah minimal kini kumiliki. Berkat rekomendasi Bu Nyai Fatimah. Aku ditawari menjadi guru ekskul jurnalistik dan khitobiyah. Di sekolah yang baru didirikan oleh Pesantren Assalam. Mengajar seminggu sekali disana. Bukan gajinya tentu yang membuatku bahagia. Namun menjadi seorang guru. Tentu akan membawa karir semakin berkah. Apalagi aku akan mengajar di pesantren. Tentu itu punya wibawa dan nilai lebih. Kerja serabutan dan bisnis kecil-kecilan bersama kawan-kawan Punggawa Indonesia pun masih bisa kujalani. Dan tentu, aku tertarik bersinergi dengan riset dan usaha-usaha tawaran Kang Sanun. Meski aku harus sangat belajar lebih dan lebih lagi.

Jika memang sudah waktunya, semua janji Allah akan Dia kuakkan. Setidak dengan itu, minimal aku akhirnya punya nyali melamar anak gadis orang. Di era yang semua melihat apa status pekerjaanmu ini. Kawan-kawan Komunitas Punggawa Indonesia bersorak-sorak gembira. Tatkala kuutarakan niatku ikhwal ingin menikahi Adiba.

Mereka sahut-menyahut meledeku,“udah ... lamar segera lah Mas Pijar ... keburu disikat orang nanti Kak Adiba-nya. Bingung biaya, kan tinggal gadaikan SK pengajar toh!”

“Apaan sih kalian semua,” ketusku.

Tawa mereka semua sampai-sampai mengalahkan suara hujan. Gerimis di luar masih membekukan bumi singhasari. Pagi syahdu dengan tangis bahagia bergerimis. Mengiringi suasana bahagia yang membuncah-buncah di hatiku. Seluruh daratan bumi sedang diajak langit untuk bertasbih. Mensyukuri nikmat hujan membasahi bumi para petani. Sebenarnya bukan masalah uang yang paling menundaku tuk melamar Adiba. Aku masih saat ingin meyakinkan ia. Sebelum aku sungguh-sungguh berani meminangnya.

Aku pulang ke rumah. Untuk mengabarkan kabar gembiraku pada orang rumah. Saat aku sampai di dusun Kaputren ternyata di teras rumahku. Aku syok plus kaget. Nampak Adiba tengah duduk dengan linangan airmata.

“Diba, ada masalah apa ini, tak biasanya engkau menangis sesenggukan seperti ini? Tanyaku padanya.

“Diba hanya mau menyampaikan surat ini pada Mas. Assalamualaikum.”

“Diba... Adiba, kenapa kamu?”

“Mas Pijar baca aja dulu surat itu. Baru nanti kita bisa bicara lagi.”

Ia berlari kencang. Kukejar ia. Namun ia tetap tak bergeming dan tetap pergi pulang melesatkan motor matic-nya.

***

Angin musim kemarau di kota ini, rasanya lebih dingin dari musim-musim sebelumnya. Aku sudah sangat rindu musim penghujan. Dimana kunikmati ketimpang-timpung dendangan suara katak di pejublangan. Dibawah rimbun lingkar hutan bambu yang mengalungi dusunku. Purnama rembulan di atas sana sedang melirik-menertawaiku. Ia bersenyum-senyum dari balik awan kelabu. Bagai ia sungguh tahu, aku tengah bermuka masam dan berhati pilu.

Di saat niatku semakin mantap menikahi Adiba. Tiba-tiba ayat karsa Tuhan berkata lain pada kisah cinta kami berdua. Pagi ini adalah pagi terpanjang. Dalam catatan manuskrip hidupku yang mulai usang. Semalaman aku bergadang suntuk, tak henti-hentinya meratapi duka. Tragedi lara yang terus saja membalut hidupku sungguh tak terduga. Entah berapa butir air mata, yang telah menetes sejak detik itu—hingga pagi ini, mataku masih saja tetap terjaga memerah sembab. Butir-butir bak embun itu menumpah ruah di lembar pasujudan. Permukaan sajadah biruku basah tak tertahankan. Air pelipur lara itu bagai hujan duka yang setia membasahi daun-daun kamboja di pekuburan sana. Semua bermuasal dari surat paling sendu yang kuterima dari tangan Adiba. Surat itu ditulis oleh salah satu kerabat Adiba yang sungguh tak pernah kusangka-sangka bahwa ia adalah orangnya.

Adiba datang kepadaku dengan membawa surat memilukan itu. Kubaca sekali lagi surat pelecut nestapa itu ;

Lihat selengkapnya