Sakina ... duhai engkau Sakina. Kenapa nasibmu semalang itu. Kenapa dulu engkau tak jujur saja padaku. Kenapa engkau tega datang kembali padaku dengan kabar menyakitkan itu. Tatkala kubaca surat usangmu. Akupun tak pernah mengira. Jika perjalanan kita berdua yang dulu hanya berawal dari acara OSPEK kampus. Perjumpaan itu nyatanya bukan sekedar perjumpaan biasa. Dan engkau masih saja terpatri di mencengkram hatiku. Hingga hari ini. Bagaimana aku akhirnya bisa saling merajut rasa denganmu Sakina. Di penghujung senja ini telintas di benakku masa-masa terkenang itu.
Kami berdua dulu satu kampus di Jakarta. Sakina dulu ikut kakeknya yang kala itu masih berdinas di Kementrian Negara. Dan akupun sama, masih ikut ayah-ibuku yang bekerja sebagai wartawan Koran Nasional. Hari itu, saat OSPEK hari pertamaku kuliah. Kakak kelas kami―para panitia OSPEK yang terhormat―menyuruh kami memperkenalkan nama dengan menyertakan nama ayah kami satu persatu. Jadilah hari itu aku jadi bahan bulian paling tenar. Lantaran nama ayahku adalah Bagong.
Kilatan kenang hinggap padaku ;
“Pijar bin Bagong.” Kami para mahasiswa baru. Harus melukis nama panggilan kami beserta nama ayah kami. Di papan nama selebar lapangan bola ; yang menjadi kalung di dada selama masa orientasi siswa baru. Aku mengumpat-umpat dan menggerutu selama OSPEK. Jadilah nafsu berkuasaku membuncah sejak saat itu, suatu saat aku harus jadi Presiden BEM. Agar bisa mengerjai murid-murid baru seperti para kakak senior yang terhormat itu.
“Gong-Bagong!” begitulah akhirnya panggilan hampir semua teman sekelasku kala menyapaku. Sejak hari pertamaku masuk kuliah. Mengikuti kakak kelas kami. Para panitia OSPEK. Bahkan guruku pun memanggilku Bagong. Sebentar. Ada pengecualian. Ada yang tak mau memanggilku Bagong. Dan ini terjadi di hari kedua OSPEK. Hari yang tak pernah bisa kulapai sekalipun kiamat manusia di bumi telah tiba. Kalau kuingat-ingat, beginilah kejadiannya.
Aku adalah anak yang sangat pemalu mendekati penakut. Jangankan berkenalan dan akrab dengan teman baru berjenis kelamin wanita. Dengan teman-teman laki-laki di kelasku saja, hampir tak ada yang bisa sangat akrab denganku. Apalagi saat itu aku baru pindahan dari kota Batu ke Jakarta. Dan di hari kedua OSPEK itu, sudah pasti aku duduk menyendiri di kelas. Bahkan saat istirahat. Aku tercengang-cengang. Saat ia mendekatiku. Iya, gadis yang juga tak keluar kelas sepertiku di waktu istirahat itu.
“Hei. Tak jajan ke kantin kamu. Siapa-siapa, namamu kemarin... Pijar, Pijar Aksara yah!” sapa gadis berkaca mata minus dan rambutnya tak berkuncit mendekati mejaku. Dan hanya satu orang inilah di kelasku, kenapa ia tak ikut memanggilku Bagong. Nama yang temanku lantang-lantangkan untuk dikenal di se-antero kampus kami.
“Tidak Mbak. Aku sungkan. Malu jajan ke kantin lagi. Kemarin banyak kakak senior cewek-cewek yang genit mengerjaiku. Lagian antrinya juga berjubel-jubel pengap di kantin,” kataku tanpa melihat wajahnya, “lah kamu sendiri, kenapa juga tak ikut jajan seperti anak-anak itu?” jawabku sekenanya. Bahkan aku lupa. Siapa nama gadis itu. Karena ia juga siang ini melepas papan namanya sepertiku. Sembari masih berdiri ia gadis itu berkata syahdu terdengar di kupingku,
“Pertama, kamu kayaknya anak desa di Jawa yang baru tinggal di Jakarta ya. Sama kok, aku jawa asalnya dari Jawa!” ujar gadis itu sembari mengajakku bersalaman. “Kedua, aku lebih suka memanggilmu Pijar. Boleh kan. Ketiga, kan, kantin di kampus ini ada tiga. Ada kantin koperasi yang cuma jualan air mineral dan roti. Ada kantin The Man yang di kuasai para senior mahasiswa cowok. Dan ada kantin Bu Sum yang katamu banyak senior cewek genitnya itu.” Ia berjeda sebentar lalu meneruskan nyanyian paginya di depan wajahku, “ke-empat, namaku bukan Mbak. Tapi Sakina Ulya Arrahmah, panggil saja I-N-A. Ke-lima, aku sedang akan berkunjung ke perpustakaan kampus. Kemarin aku tertarik ada informasi pendaftaran anggota baru perpus. Dan sekarang, apakah tuan pendiam bernama Aksara yang tengah melongo di hadapanku ini tertarik ikut bersamaku?”
“Iya, mau, mau aku Mbak, eh, Ina!” sahutku merefleks begitu saja oleh sihir panca diplomasi Sakina. Demikianlah. Sakina akhirnya menjadi satu-satunya teman terakrabku di sekolah. Sekaligus ia adalah teman pertamaku yang berjenis kelamin perempuan di hamparan bumi raya.
“Jadi... mulai sekarang dan hingga selamanya, kita resmi menjadi sahabat ini,” celetuk Adiba saat berjalan menuju perpus. Aku meringis seraya berkata, “boleh,” kataku dalam tempo sesingkat-singkatnya.
“Ciyeee... gue punya teman anak jowo nih sekarang,” ledek Sakina dan semakin mempercepat langkah-langkah kakinya. Jilbabnya berkibasan bak sayap terkena angin menderu.
Demikianlah. Kenanganku saat pertama kalinnya diperjumpakan dengan gadis riang bernama lengkap Sakina Ulya Arrahmah itu. Hingga kami akhirnya semakin dekat. Bersahabat dan berpacaran hingga kami lulus. Dan wahai Sakina. Kenapa hari ini disaat aku mulai bisa merelakan dirimu. Dan ingin menikahi wanita lain. Engkau hadir kembali dengan sejuta kegetiran yang membuatku tak berdaya. Apakah perjumpaanku dengan adikmu yang kini menjadi kekasihku itu, hanyalah kebetulan? Ataukah semua itu memang jembatan skenario Tuhan untuk membawaku kembali kepada masa lalu. Dan anak kita yang gugur sebelum lahir itu, bagaimana aku bisa bersikap normal tanpa rasa salah denganmu wahai Sakina.
Malam ini aku jadi teringat kepada hari-hari itu. Di masa aku masih menjadi aktivis mahasiswa di Jakarta. Tatkala aku cukup banyak merepotkan Sakina kala itu. Kira-kira, demikianlah kisah yang terpalung di dalam relung-relung memori otakku bersamamu ;