MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #12

Pasal 11 TARIKAN ERA USANG

Petala ibukota sedang cerah-cerahnya. Kami bertiga memutuskan berkeliling ibukota dengan KRL, Busway hingga Bajai. Menyambangi Monas, Kota tua, kampusku dulu dan semua tempatku kala masih bersama Sakina di kota ini. Aku tak faham. Apa maksud Adiba mengajakku dan Sakina ke tempat-tempat masa berpacaran kami dulu ini yah? Aku tergelincir kembali pada relung-relung memori bersama Sakina. Saat kami mulai berkenalan. Dikala kami menghabiskan akhir pekan berwisata karena suntuk laporan praktikum kuliah. Saat aku masih sibuk menjadi aktivis mahasiswa—dan Sakina bersama motor Mbak Maha-nya selalu setia menemaniku berkeliling kota. Dan tatkala kita yang masih berjiwa remaja penuh kebebasan bahagia. Belum tersandera oleh ambisi dan nestapa dunia. Kenangan menjadi Bagong. Dan Sakina adalah pahlawanku memberangus panggilan itu.

Sesekali aku mencuri pandang ke wajah Sakina. Airmukanya kini mulai ditumbuhi butir-butir senyum. Seperti ia mulai terlepas dari belenggu penyesalan. Atau ia juga sama sepertiku, teringat kenangan masa lalu. Tatkala kami berdua masih kuliah dan berpacaran dahulu.

Di penguhujung hari. Kami bertiga memilih menutup hari mengunjungi warung kaki lima faforit kami dulu. Warung tenda pecel lele Lamongan. Sang chef legendaris pemiliknya, kaget melihat yang datang adalah aku dan Adiba. Bertahun-tahun tak jumpa dengan Cak Mul, chef sambal terasi pecel lele ini. Ia bagai manusia yang abadi menjadi muda. Senyum tulus bersahajanya masih saja sama sedari dulu.

“Mas Pijar, Mbak Ina, kalian berdua lama tak kemari, kok tiba-tiba sudah punya anak gadis cantik sebesar itu. Apa resepnya Mas, Mbak,” celetuk Cak Mul menerka-nerka ngawur. Kami bertiga pun melongo mendengarnya. Dan tentu terbahak-bahak.

“Hadeeeh. Cak Mul, Cak Mul. Ngawur sampeyan. Ini Adiba, adiknya Ina. Aku belum bisa buat anak seperti sampeyan Cak. Nikah saja belum.”

“Loh! Bukannya Mas Pijar sama Mbak Ina dulu ...,” Cak Mul memberi isyarat dengan tangan. Membentuk kesepuluh jemarinya menjadi burung berciuman.

“Dari dulu bisa ... aja Cak Mul ini,” Sakina menengahi. “Aku sudah menikah Cak. Tapi bukan dengan Pijar. Dan belum punya anak, keduluan suamiku meninggal. Ini adik saya yang kini malah yang akan menikah dengan Pijar. Dunia memang lucu yah!”

“Ah! Pusing saya dengan anak jaman Now ini. Ribet urusan percintaannya. Kalau kami orang jaman old ya tinggal datang ke KUA, selesai dah, buat anak,” ujar Cak Mul membuat semua pembelinya terbahak-bahak.

“Cak Mul, Cak Mul, mereka berdua dari dulu di masa-masa kuliah dan sampai sekarang masih serasi kan ya,” ucap Adiba ikut berkomentar. Terdengar makjleb di telingaku.

“Cucok Mbak. Tapi entar Mbak-nya yang galau, hayooo,” ledek Cak Mul.

“Ah. Cak Mul mah kalau ngedongeng tak akan selesai-selesai. Mana ini pesanan kami,” gerutuku.

“Sabar, Mas Pijar ... lelenya masih di gorok di belakang.”

“Oh iya Cak. Pak Haji Rajib sama Koh A Liem masih suka kemari?” tanyaku tiba-tiba teringat mereka berdua.

“Lah. Mas Pijar masih ingat mereka juga toh. Ini saya kebetulan lagi buatin pesanan mereka berdua. Tadi pesan lewat SMS. Habis ini katanya mau kemari.”

Belum sampai satu menit aku menyebut kedua nama bekas tetanggaku tadi. Datanglah kedua manusia manula itu dengan berboncengan motor. Lengkap sudah nostalgiaku tatkala dulu menjadi warga ibukota. Aku menjadi sasaran korban. Bahan empuk percandaan mereka.

Aje gile, ada pengantin baru nih. Mas Pijar lama tak ke Jakarta, muncul-muncul sudah punya istri dua aje Liem, kirain kemarin diye cuma ndirian ke Jakarte ini,” serangan maut Pak Haji Rajib meluncur.

“Kalah lu Jib ama Mas Pijar. Kontrakan aja loh banyakin. Tapi istri atu doang dari dulu,” Koh A Liem tak mau kalah.

“Koh, Pak Haji, gimana Monas, aman-aman!” serangku balik.

“Aman Mas Pijar ... asal orang-orang tukang demo kayak ente jauh-jauh dah dari Jakarte. Betul kagak Liem, ” seru Pak Haji Rajib.

“Tak sepakat guah kalo yang itu Jib. Harusnya orang kayak Mas Pijar ini yang mimpin DKI. Masalah cinta aja jago, apalagi benahi DKI, banjir, macet, sampah, pengangguran, pasti ...,”

“Pasti apa Koh?” sergap Cak Mul sambil mengelap mejanya.

“Pasti kagak keurus, lah cuman janji kampanye pakek cinta doang!”

Semua terpingkal-pingkal mendengar guyonan Koh A Liem.

“Kami pamit dulu Cak, Koh, Pak Haji.”

“Buru-buru kemana Mas?” tanya mereka bertiga serempak.

Lihat selengkapnya