Entah siapa yang pernah mengalaminya selainku. Di tubuh manusia, menurutku, menurutku ya—seperti ada sebuah tombol-tombol software pemograman yang berjalan. Alam bawah sadar kita seolah tahu kapan saatnya harus bangun dikala tidur. Sudah pasti semua itu dicipta oleh Tuhan. Namun setiap pribadi diberi leluasa untuk memprogramnya untuk apa. Dan untung saja. Alam bawah sadarku saat itu memprogram agar diriku terbangun dari lelapku di Kereta.
Tatkala fajar berkemilau kemerahan mulai bermunculan. Melukis langit muara pagi. Keretaku berhenti di Stasiun Babat Lamongan. Mataku terbelalak. Sontak aku terperanjat. Bergegas membangunkan kedua wanita di depanku dan lalu keluar dari kereta. Aku turun dengan amat gesa-gesa.
Dan ... benar!
Beberapa detik kemudian kereta itu melaju kembali menyusuri relnya. Di peron stasiun aku baru sadar. Jika koperku masih tertinggal di laci petala kereta. Untung saja di koper itu hanya berisi pakaian. Tak ada barang penting dan berharga di dalamnya. Karena dompet, ponsel dan berkas-berkas penting semua telah kumasukkan di dalam tas cangklongku.
Meskipun begitu aku tetap merasa kesal. Tentu aku tak akan bisa lama di kota kelahiran Sakina dan Adiba ini. Aku akan ketetaran tak punya pakaian ganti. Ya sudahlah. Pakaian bisa kubeli setelah ini. Yang penting aku telah selamat dalam menempuh perjalanan. Dan tentu, telah berhasil membantu Adiba membawa pulang kembali kakaknya ke rumah.
Dan akhirnya, untuk pertama kalinya diriku menginjakkan kaki di kota Lamongan, tanah kelahiran Adiba. Tak seperti di Stasiun Pasar Senen yang besar dan harus melewati terowongan bawah tanah. Di Stasiun Babat, terkesan semua nampak sederhana. Namun tak mengurangi kesibukan mereka melayani para penumpang kereta. Aku melihat ada sederet kursi-kursi cembung berbahan plastik dan berwarna hijau dengan satu kaki yang menunggu bokong panasku tuk berduduk. Aku berjalanan menuju deretan kursi itu. Duduk sejenak. Menikmati hembusan angin muara pagi di kota ini. Alasannya, tentu aku menunggu Sakina dan Adiba yang punya hajat khas wanita.
“Ada yang jemput, Mas?” tanya seorang remaja bertopi merah. Ia juga baru turun dari kereta sepertiku nampaknya.
“Insya Allah ada Mas. Soalnya saya bareng sama orang sini. Memangnya kenapa Mas?” sahutku.
“Kalau tidak ada yang jemput. Saya mau ajak Mas, buat patungan sewa mobil. Bisa untuk mengantar ke tujuan kita masing-masing ntar Mas.” Tawar remaja itu serius.
“Oooh, begitu toh. Nanti ada keluarga kawan saya yang jemput kok Mas. Tapi kalau boleh tanya. Pasar yang jualan baju di dekat sini dimana ya Mas?” tanyaku padanya. Mumpung ia belum pergi. Basa basi sih.
“Di Pasar Babat Mas. Dekat kok dari sini." Sepertinya ia asli orang Lamongan yang baru pulang kampung—mudik. Ransel di depannya pun cukup besar. Bahkan seekor kambing pun muat kalau di masukkan ke ranselnya itu.
“Aku duluan yah Mas,” pamitnya. Dan segera keluar dari stasiun bertiang kayu berwarna kuning itu.
Tak berselang lama. Adiba mengkodeku agar segera cabut dari sini. Adiba pun tak mau kalah menyahuti, “Mas, yuk sudah di tunggu bapak di rumah. Katanya mau mampir beli baju ganti di pasar dulu.
Di luar stasiun ternyata riuh sekali. Puluhan ojek, supir angkot dan jasa rental mobil seperti yang diutarakan remaja tadi telah menanti klien mereka. Ada beberapa penumpang yang dijemput oleh kendaraan milik keluarga mereka sendiri. Ada pula yang masih tawar menawar harga. Suara mereka saling bersahutan. Aku pun dengan cepat digandeng seorang tukang ojek sepuh. Tanpa banyak berkelit. Aku bilang mau di antar ke Pasar Babat. Si tukang ojek sepuh itupun dengan sekali injak starter, langsung mengerangkan motornya.
Ternyata Adiba dan Sakina kompak mengajakku naik ojek terlebih dahulu ke pasar. Baru di pasar nanti, supir keluarganya ia pinta tuk menjemput kami. Mereka bilang sangat rindu menyaksisan pasar Babat pagi hari. Sepertinya itu hanyalah alasan bumbu. Alasan utamanya tentu karena dua gadis bersaudara itu merasa tak enak oleh tragedi raibnya koper pakaianku di dalam kereta dan ia ingin membelikanku pakaian ganti di pasar sana.
“Pak, jangan kencang-kencang yah. Soalnya saya ingin lihat suasana sekitar, ” pintaku pada tukang ojek.
“Oke. Siap Mas,” sahut si Tukang Ojek yang meski tangannya sudah berkeriput namun masih sangat cekatan itu. Mengenggam stang Supra X merahnya bak mau mengajakku terbang. Aku diboncengnya menyusuri jalanan berpasir. Aspal jalan yang telah rusak. Menyisakan lobang-lobang berisi genangan air. Sepertinnya di tempat ini baru saja terguyur hujan. Di kiri jalan. Deretan warung-warung dan outlet pertiketan berbaris rapi. Nampak baliho-baliho yang terpampang di depan warung-warung itu. Sedia : nasi pecel, rawon, soto dan di ujung depan itu adalah sebuah warung kopi yang ramai. Melihat semua itu, perutku terasa keroncongan. Terakhir aku mengisi perut memang sebelum naik kereta kemarin siang.
Setelah melawati jalanan yang berderet warung dan outlet-outlet pertiketan. Sampailah kami di jalanan beraspal tebal. Lalu lalang mobil juga motor beriringan bersama delman. Nuansa kota kolosal yang indah. Ternyata kota ini menjadi salah satu kawasan di Indonesia yang masih melestarikan moda transportasi yang ditarik kuda itu. Mereka para ibu-ibu yang akan berbelanja ke pasar, sungguh menikmati kala mereka diatas andong—tuk tik tak tik suara sepatu kuda. Aku merasa bagai kembali ke masa-masa setiap harinya menyanyikan lagu itu. Melihat delman-delman di kota ini.
Pak Ojek sepuh yang membawaku ternyata cukup gesit. Ia berbelok ke kanan saat memangkas haluan dan masuk ke jalan raya bagai Valentino Rossi. Pasti ia sudah hafal betul dengan lajur sehari-harinya itu. Kini aku di ajaknya melaju di jalan aspal bernaung langit pagi yang masih temaram. Sorot lampu kendaraan dibawah lampu merkuri berpadu menjadi kemilau sinar keemasan alam. Jalanan beraspal itu diapit oleh toko kelontong, kios buah hingga swalayan di kanan dan kiri jalan.
Hawa pasar kental mulai terasa. Namun sebelum kami sampai di pasar. Ada sebuah bundaran persimpangan empat jalan. Tepat ditengahnya. Ada sebuah tugu bagai pohon. Namun tugu itu memiliki bentuk buah-buah yang aneh. Si Pak Ojek berhenti. Lalu ia berkata “Mas ... ini kita sudah sampai di Pasar Babat,” katanya santun.
“O, sudah sampai ya Pak. Berapa ongkosnya Pak?” tanyaku.
“Sepuluh ribu Mas,” ujar si Tukang Ojek. Dengan terlebih dahulu ia turun dari motornya dan menghadapku. Sopan sekali tukang ojek di kota ini. Ongkosnya pun amat murah. Jika di Jakarta, pasti tarifnya lebih dari sepuluh ribu. Meskipun sedekat ini.
“Ini Pak. Oh iya. Aku mau tanya Pak. Tugu di bundaran itu apa yah namanya Pak. Kok unik sekali gitu bentuknhya,” tanyaku penasaran sembari mengulurkan beberapa helai rupiah pada Pak Ojek sepuh itu.
“Oh itu namanya Tugu Wingko Babat Mas. Simbolnya kota Babat,” jawabnya antusias. Penuh senyum sumringah. Tak lama berselang. Pak Ojek itu lalu melesatkan bebek bermesinnya pergi. Jika orang-orang yang berhijrah ke Jakarta. Mereka disambut oleh tugu selamat datang Bundaran HI. Maka, aku yang datang ke tempat ini, seolah disambut oleh Tugu Wingko Babat.
Para pedagang Pasar Babat mulai berdatangan. Di pagi buta yang sejuk ini. Mereka telah bersiap mengais secercah rizki pagi. Semburat bias mentari di ujung timur langit mulai menyala merah. Banyak warung-warung yang siap memanjakan kemerusuk bunyi lambungku di seberang sana. Kami pun menyeberangi jalan. Dan sampailah aku akhirnya di pelataran Pasar Babat. Namun ketika sampai, bukannya kami berburu pakaian ganti buatku, aku malah tertarik mengajak mereka berdua menghampiri warung nasi pecel Mbok Bubat yang racikan bumbunya menyedot perhatian seisi pasar. Lagian, di pagi buta, mana ada toko pakaian di pasar yang sudah buka toh.
Tak berselang lama. Setelah aku gagal membeli baju ganti karena kepagian. Ada seseorang bernama Mas Dirja, menelepon Adiba. Orang yang dikirim ayahnya tuk menjemput kami. Mas Dirja sendiri adalah kakak lelaki kedua gadis ini, ujar mereka. Supir keluarga mereka tak jadi menjemput karena harus mengantarkan ibunya dinas luar kota. Mas Dirja telah sampai dan menungguku di depan pasar. Mas Dirja membawa Honda Yaris merah. Terparkir di halaman kantor Bank BRI yang berada di pojok seberang Pasar Babat. Dan kami bertiga pun mencari lokasi sesui arahannya tersebut.
Sesampainya diriku di depan Bank BRI tersebut. Kutengok-tengok sekeliling. Nampak di depanku seorang pria bermuka garang disamping Honda Yaris merah.