Langit malam penuh bintang-gemintang. Mengiringi perjalanan kami berdua di atas motor kolosal yang meraung-raung macam ingin terbang. Rumah mewah Pak Irwan letaknya tak jauh dari jalan raya. Baru sekejap Mas Dirja memutar pegas motornya. Aku sudah dibawanya berjalan di atas jalan raya berjajar riuh kendaraan.
Memang untuk orang yang biasa berkendara rua doa. Jalan-jalan menggunakan motor memiliki sensasinya sendiri. Dari rumah Pak Irwan yang terletak di tengah kota Babat. Yang kuingat tadi, aku di ajak Mas Dirja keluar dari area perumahan berpenduduk padat ke arah utara. Sampai di jalan raya, kami belok ke arah kanan. Lalu menyisir jalan hingga sampai di lampu merah pertemuan jalur empat arah. Di bawah lampu penunjuk maju dan jalannya kendaraan itu, kulihat beberapa pengamen berpakaian punk. Ternyata anak jalanan bukan hanya ada di ibukota. Di kota kecil ini, mereka juga bertebaran.
Setelah melewati lampu merah. Mas Dirja membanting kemudinya ke kiri dan meluncur kencang bagai pembalap di Moto GP. Ia lesatkan si bebek klimis kolosal hijaunya. Meliuk-liuk di samping truk-truk yang mengelendeng kotak kontainer belakang. Aku di dibuatnya ketir-ketir. Sampai kutabuki pundak Mas Dirja. Berteriak-teriak meminta agar lebih pelan saja.
“Sudah sampai ini kita Mas,” ujarnya.
“Ngopi kok ke pasar sayur mayur gini toh Mas?” tanyaku. Namun Mas Dirja diam tak berkomentas. Baru setelah ia selesai tak lagi fokus menyetir dan mulai mengendorkan pegangan stang si bebek klimis kolosalnya, ia pun berkata, “ini namanya Pasar Agrobis Babat Pak Mir. Wisata kopi malam hari dan pusat hiburan rakyat yang murah meriah. Hiburan semua usia ada di sini Mas. Masih baru dan sedang viral.” Terang Mas Dirja.
Angin malam berdesir lengang. Menyubling ke pori kulitku yang mulai nampak legam. Temaram malam berpadu dengan merkuri keperakan. Deretan warung-warung beratap terpal di tepian trotoar berjejeran. Menyambut kedatangan kami dua bujang. Dan warung yang nampak di kelambu depannya, sedia; Nasi Lodeh dll itu, terlihat paling riuh diantaranya. Sinar putih menyala-nyala dari lampu neon di warung terseut. Memperjelas sorot pandanganku kala melihat si pedagang di warung itu adalah seorang nenek-nenek berbaju kumuh yang sudah tua renta. Mungkin rasa masakannya. Yang membuat warung itu laris manis.
Di sudut pojok area pasar, bercokol bilik ATM Bank Negara. Mas Dirja menghentikan si bebek klimis kolosalnya di depan bilik mesin penyedia uang tunai itu. Aku lalu dimintanya menunggu di atas motornya sejenak. Dan ia bergegas masuk ke ruang berkaca transparan tersebut. Nampak disekelilingku, para penjajah buah dan sayur-mayur tengah hilir-mudik. Di ruko-ruko depan tak semua kios terisi. Mungkin memang pasar ini masih baru. Aku pun sempat bergumam dalam hati. Terus apa yang membuat tempat ini jadi wahana wisata. Seperti yang di utarakan Mas Dirja tadi. Mas Dirja akhirnya keluar dari bilik ATM dengan senyum lebar. Senyum khas air muka orang yang sehabis menerima gajian. Sudah pasti itu. Mana mungkin kalau dia sedang berkantong akhir bulan akan beraut wajah seperti itu kala keluar dari ATM.
“Habis gajian ya, Mas. Kok tampaknya bahagia sekali!” godaku ke pegawai Pak Irwan itu.
“Bukan...., Ini loh Mas. Orangtuanya telah merestuiku. Kalau aku serius ingin menikahi anaknya.” Katanya sambil memajang mimik berbunga-bunga. Nyossss. Rasanya aku bagai tercolek knalpot panas kala mendengar untaian kata Mas Dirja tadi. Ternyata bukan uang yang membuatnya tersenyum lebar. Namun lagi-lagi adalah perkara cinta. Aku yang mendengarnya sontak bagai tertusuk peluru rasa iri. Lemas. Karena nasib percintaanku dengan Sakina masih mengambang tak jelas. Bahkan setelah tragedi hadirnya Adiba. Hubunganku dengan gadis manis itu bagai teman biasa.
“Waduh, duh, duh, duh! Selamat, selamat yah Mas. Turut berbahagia saya.” kataku, meski menahan pilu iri dengki. Kalau saja malam ini, aku bukan yang menjadi tamu-nya, tapi sebagai tuan rumahnya. Bahkan jika Bupati Lamongan-pun yang mengajakku, aku lebih memilih pulang. Daripada sekedar ngopi di tempat ini. Mood jalan-jalanku tiba-tiba musnah. Mendengar Mas Dirja bilang kalau ia sudah diminta melamar kekasihnya itu. Namun karena Mas Guni adalah yang pemanduku ke tempat ini, dan ia sudah merelakan dirinya untuk menjamuku hingga kemari, maka aku paksa tubuhku tetap berdamai dengan wana wisata malam yang belum aku mengerti kenapa ramai di kunjungi muda-mudi ini.
Sebelum kami memasuki area dalam pasar wisata malam itu. Aku melihat di pintu-pintu masuk area pasar itu terpalang. Beberapa tukang parkir berompi oranye yang mirip rompi tahanan KPK itu menjadi penjaga siapapun yang ingin memasuki daerah kekuasaanya itu. Mas Gun mengemudi pelan-pelan di area depan pasar. Sesampainya di pintu masuk paling ujung timur pasar. Mas Dirja tiba-tiba berujar pelan kepadaku.
“Mas Pijar. Nanti jangan kaget yah! Ini pasar bukan sembarang pasar. Ini tempat sudah seperti miniatur bangsa kita Mas. Semua tipe manusia ada disini. Mas Pijar mau aku lihatkan sisi lain dari kota Lamongan yang selama ini terkenal sebagai kota santri dengan seribu pesantrennya dan serta kota wisata religi dengan keberadaan makam para waliyullah yang banyak terdapat di kota ini macam Kanjeng Sunan Drajat itu,” bisiknya. Semakin dia membuatku penasaran.
“Sisi lain bagaimana itu Mas? Tanyaku agak keras. “Pokoknya sampeyan nanti lihat dan nilai sendiri saja deh, hehehe,” tukasnya. Semakin membuatku bertanya-tanya.
Si bebek klimis kolosal Mas Dirja memasuki pintu masuk Pasar Agrobis. Pria-pria berompi orange standby berjaga. Ada dua pria berwajah garang menghadang motor kami. “Karcis motor, dua ribu Mas!” ujar si Pria bersarung pada kami. Bagai sudah faham betul dengan tempat ini, Mas Dirja sudah menyiapkan di tangannya sejak tadi lembaran rupiah yang kemudian ia sodorkan ke pria penjaga palang pintu ini.
Kami berdua pun masuk lewat pintu paling timur. Di kanan nampak kios warung-warung kopi berdamping warung nasi dengan pemandangan yang kini kontras dengan sebelah barat tadi. Deretan gadis-gadis bergincu nan menor dan bertubuh molek tengah asyik merumpi. Banyak penjaga warung-warung kopi itu sedang memasang wajah manis memantik calon pengunjung. Musik dangdut karaoke saling bersahutan. Begitu pula di sebelah kiri kami, namun di kiri kami tempatnya lebih temaram namun masih sama menjadi arena warung-warung kopi karaoke. Di depan kami, remaja-remaja muda berseliweran. Ada mereka yang sendiri, remaja pria berboncegan dengan sesama mereka, namun juga tak sedikit dari anak-anak usia sekolah itu yang membonceng kekasih-kekasih mereka yang nungging di motor. Memamerkan kaos ketat yang tak sampainya menutup hingga pinggul mereka.
Seusai Mas Dirja mengajakku masuk area dalam pasar. Melewati lorong gang temaram yang berbau parfum perempuan-perempuan molek itu. Aku melihat pemandangan yang amat kontras lagi dengan sebelumnya. Di ujung lorong. Ada beberapa wahana permainan anak-anak. Yang sedang dijajakan oleh penyewanya di lantai berpaving. Yah. Lumrahnya pasar malam. Banyak penjaja pakaian juga mainan. Ibu-ibu berbaju muslimah juga bapak-bapak muda berkopyah putih. Menggandeng tangan anak-anak mereka. Komedi putar mini, bomb-bomb car, hingga kereta penyanyi, semua tersedia disini.