MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #15

Pasal 14 PAGI YANG SESUATU

Baru kali ini kutahu. Jika wilayah Lamongan itu bukan hanya dianugerahi lautan di hamparan pesisir alamnya. Di kota kecil ini, terdapat juga deretan perbukitan gunung-gemunung kehijauan mewarna. Mengitari bumi tanah kelahiran Adiba, Sakina dan Mas Dirja ini. Meskipun gunung-gunung itu bukan gunung berapi yang menjulang tinggi. Namun setidaknya, di tempat ini masih bercokol pepohonan rindang yang asri berseri. Dan pagi ini, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, desa nan hijau itu. Desa tempat Mas Dirja tuk pertama kali mengirup udara di bumi.

Desa Kuripan. Desa kelahiran Mas Dirja ini ternyata masih berciri desa klasik dan bernuansa kuno. Diyakini, desa ini adalah sepenggal warisan peradaban kerajaan Kahuripan yang dirajai Prabu Airlangga. Desanya sejuk dan rindang. Dan saat kepalaku menengadah ke arah selatan. Hamparan perbukitan hijau pegunungan bergandengan. Di mulai dari Gunung Puncak Wangi, Gunung Pegat, Gunung Ratu dan Gunung Mas. Jelas Mas Dirja padaku. Beberapa gunung itu membentuk harmoni alam di wilayah Lamongan daerah selatan.

Mas Dirja mengajakku ke salah satu rumah tetua desa Kuripan pagi ini. Tetua desa itu bernama Kiai Akhyar. Dan di rumah tetua itu, aku diberitahu leboh jelas pula, jika di wilayah desa Kuripan dan sekitarnya ini, diyakini bahwa di masa lalu adalah wilayah kerajaan Kahuripan. Negeri yang bangun oleh Prabu Airlangga dan Kahuripan tetap lestari hingga di masa Kemaharajaan Majapahit, sebagai sebuah negara bagian. Bahkan Ratu Tribuwana Tunggadewi dan Mahapatih Gaja Mada sebelum di tugaskan di pusat keraton Majapahit, mereka terlebih dahulu di tempa di sepenggal bumi Kahuripan ini.

Aku amat bersyukur bisa menapakkan kaki di desa yang romantis ini. Setelah kami menikmati teh hangat di rumah sederhana Kiai Akhyar. Kami berdua lalu berkeliling di antero desa. Mas Dirja mengajakku menuju pekuburan orangtua kandungnya. Sungguh. Aku melihat sendiri. Bagaimana kedamaian yang terjadi di desa ini. Kerumunan burung kutilang menari-nari dan bersenandung tiada henti. Di atas pepohonan bambu yang masih masih sunyi di muara hari. Senandung mereka sungguh sayup-sayup merdu. Bagai orkestra, teracik penuh irama melengking syahdu. Di awal musim penghujan seperti ini, telur-telur di sarang mereka biasanya mulai menetas. Telur itu kemudian berubah menjadi monster-monster kecil berbulu lembut. Gersang namun menawan.

Semua pasti cemburu dengan keajaiban ritme alam yang tengah kulihat ini. Induk-induk kutilang dengan mesranya mulai mengajari anak-anak mereka. Bagaimana cara mematuk. Menggerakkan sayap-sayap mereka yang masih lengket selepas dilahirkan. Sang induk memperlihatkan bayi-bayi kutilang itu, bagaimana gempita dunia di luar sarang mereka. Induk burung kutilang itu rajin menjelajah ke dedaunan di pohon-pohon yang menghijaukan desa ini. Terutama pohon yang banyak dihinggapi ulat-ulat seperti pohon mahoni yang memiliki buah kecoklatan nan pahit itu. Selain tumbuh-tumbuhan penghasil biji. Ulat-ulat muda memang menjadi salah satu makanan faforit burung-burung kutilang yang melayang-layang bebas di petala itu.

Gemesir angin menggerakkan rumpunan pohon-pohon bambu. Pohon yang menjadi tempat burung kutilang itu, membuat sarang-sarang lucu. Surga kecil mereka yang sederhana namun penuh sahaja. Suasana pagi di desa ini begitu nyaman dan asri. Pedesaan kecil di peisisir pulau Jawa yang masih perawan ini. Masih nampak embun bergelincir dari atas daun-daun talas. Juga di dedaunan lain yang hijau membias. Sinar mentari hangat menyapa mewangi. Menjabat mereka para petani di desa ini yang akan segera memulai aktifitas menyemai sawah mereka di pagi hari.

“Apakah semua orang di desa ini menjadi petani Mas?” tanyaku Mas Dirja yang hampir keseluruhan badannya hitam itu.

“Ya tidak Mas. Ada juga yang merantau. Berdagang. Menjadi polisi, pegawai negeri hingga jadi TKI di luar negeri,” terangnya padaku.

Bambu-bambu tumbuh menjulang tinggi, mengelilingi seluruh penjuru desa tanah kelahiran Mas Dirja ini. Menjadi batas antara rumah-rumah penduduk dengan ratusan hektar persawahan. Hampir semua warga di sini adalah petani. Hanya segelintir dari mereka yang tak ber-KTP petani. Seperti anak tunggal Kiai Akhyar yang bersama kami tadi. Dia memberitahuku jika anak kebanggaannya itu kini tengah berdinas sebagai tentara di Surabaya. Wah betapa bahagianya Kiai Akhyar memiliki putra yang berhasil mencapai cita-cita seperti cita-cita masa kecilku itu.

Mentari di ufuk timur desa tak ingin bersembunyi lagi. Separuh badannnya mulai menggeliat keatas bumi. Menyinari tunas-tunas padi yang mulai ditanam sebagian petani disini. Kita menyusuri pematang sawah. Pematang menjadi pembatas antar petak sawah milik masing-masing warga. Disamping pematang sawah ada sungai kecil. Sungai kecil dengan air beningnya yang mengalir—petani desa menyebutnya wangan. Pertanian di Lamongan. Memang berbeda dengan Malang. Di kota rata-rata tanah di tamani padi. Pantas. Kota ini menjadi lumbung pangan nasional.

Sebelum kami sampai ke lokasi makam desa, kami melewati sawah yang sudah di keduk, menjadi tiga petak tambak ikan yang cukup besar. Kata Mas Dirja, tambak-tambak itu sudah ada bahkan sebelum ia lahir. Tambak-tambak itu seolah menjadi pembeda pemandangan di antara hamparan persawahan, dengan rimbunan pohon pisang tumbuh di bantarannya. Tiga petak tambak hijau itu berada di tengah-tengah ribuan hektar sawah yang masih menghitam basah. Tanah sawah masih belum semuanya tertutup tanaman hijau, karena musim tanam memang baru akan datang. Tadi malam, tepat setelah aku pulang dari Pasar Agrobis itu, guyuran hujan sangat lebat memang membuncah hingga fajar merah menyapa. Jadi, kaki-kaki kami kini harus memilah jalanan di persawahan yang paling memungkinkan untuk di injak.

“Astagfirulahaladziim!” ucapku syok bin kaget. Tatkala kakiku mendadak terperosot ke sawah yang penuh lumpur. Syukurlah badanku tak sampai jatuh terperosot. Kami berdua tertawa cekikikan menyaksikan akrobatku tersebut. Bukannya kesal. Namun aku malah ikut tertawa. Seluruh penjuru arah mata angin kulihat penuh tatapan arti. Terhampar bumi karya cipta sang pemilik semesta alam realita, bukan alam maya. Kepingan tanah penggalawan syurgawi, gemah ripah loh jinawi. Yang akan selalu memberi nikmat bahan pangan dua ratus juta penghuni negeriku ini—salah satunya dari buah keringat ikhlas para petani, seperti Kiai Akhyar itu tadi. Sambil menyusuri pematang sawah berlumpur basah. Mas Dirja memberitahuku. Jika Lamongan adalah salah satu daerah di Indonesia yang menjadi lumbung pangan nasional. Khususnya hasil pertanian padi. Sebuah keajaiban Tuhan, dari keikhlasan para petani di desa ini, merawat sawah dan tanamannya penuh cinta. Kearifan lokal yang berpadu dengan kesederhaan budaya masyarakat desa.

Akhirnya setelah melewati jalanan yang membuat kami kami belepotan itu, sampai juga kami di makam milik desa. Aroma bunga kamboja menusuk-nusuk lobang hidungku. Area makam yang sedang kami datangi ini ukurannya tak besar. Juga tak nampak kijing-kijing kokoh di antara pekuburannya. Hanya ada satu makam yang paling di muliakan di tengah sana.

Kami berjalan menuju satu-satunyan kuburan yang di atasnya di dirikan cungkup dari kayu jati. Saat kami sampai di kuburan itu, tiba-tiba Mas Dirja berucap “Ini adalah kuburan kakek buyutnya Adiba Mas. Makam dari Mbah Wongso. Tokoh yang katanya, dulu yang mula-ula menyebarkan agama Islam di desa ini. Menurut riwayatnya, beliau dulu adalah keturunan trah raja-raja Jawa yang mengasingkan diri tuk menderma Islam hingga pelosok desa ini. Begitulah kisah dari para tetua desa yang dulu di ceritakan padaku.”

“Emmm, jadi Adiba, Sakina, dan Par Irwan memang bukan keturunan orang-orang biasa ya Mas ... kalau yang ini, makam siapa Mas?”

“Kalau ini ... buburan orangtuaku Mas.”

“Tau nggak Mas, selain karena alasan untuk sowan ke Mbah Wongso—kakek buyut calon istrimu itu, apa lagi kira-kira alasan saya mengajak Mas Pijar pagi ini berziarah kemari?”

“Apa lagi memangnya Mas?”

“Buat menjawab pertanyaan Mas semalam. Agar tak gagal faham. Jadi gini Mas, selain fenomena kopi pangku, Lamongan ini juga terkenal sebagai kota wisata religi Mas Pijar ... biar Mas tak menilai kota kami negatifnya saja,” terang Mas Dirja. Berlanjut tawa kami berdua. Ada-ada saja memang Mas Dirja ini. Setelah bincang singkat. Kami berdua lalu duduk bersila. Diam dan khusuk. Mas Dirja memimpin doa berkomat kamit, mulut hitamnya mengucap logat-logat arab yang biasa disebut tahlilan. Aku memang agak dungu soal membaca lantunan tahlil. Namun Mas Dirja membaca dengan suara lumayan keras. Setidaknya aku bisa sedikit-sedikit mengikutinya. Mungkin seperti itu, kenapa ulama-ulama di masa lalu mengeraskan dzikir dan lantunan do’a mereka dikala selesai sholat. Agar mereka manusia awam agama seperti aku ini, bisa langsung belajar dengan mendengarkannya.

Setengah jam kami berdoa di pemakaman itu. Seusai Mas Dirja tuntas bersungkem ikwal niatnya akan menikah pada almarhum orangtuanya ini, lantas ia mengajakku kembali ke rumahnya. Sekali lagi, kami berdua harus melewati jalanan lumpur yang licin itu. Namun kali ini kami sudah hafal dan tahu bagaimana cara terbebas dari tragedi yang menimpaku saat perjalanan berangkat tadi. Mas Dirja mengajariku. Agar saat berjalan di jalan berlumpur liat itu, jangan menggunakan sandal. Karena pasti terpeleset. Lebih baik kami berkaki ceker. Agar jari-jari kaki kami mencengkram ke tanah.

Ini adalah pengalaman pertamaku berjalan di pematang sawah di kota Adiba ini. Sesampainya aku kembali ke desa Mas Dirja. Hamparan bumi yang tersaji di depanku, seolah membawaku bernostalgia kembali ke masa-masa menjadi seorang bocah desa. Kafilah kupu-kupu berbagai warna melayang tenang di udara menyambut kami. Sesekali mereka hinggap di atas kelopak bunga sepatu, tanaman yang banyak tumbuh di pagar bambu. Yang banyak tumbuh di depan rumah-rumah sederhana para warga itu.

Lihat selengkapnya