MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #16

Pasal 15 OTW NGALAM

Siang ini kabut debu berhamburan. Di jalanan beraspal yang kami lalui di sepanjang perjalanan pulang. Jalanan itu berlubang-lubang meminta tambal sulam. Sebagai daerah pesisir, hawa panas di kota Lamongan ini memang tak terhindarkan. Namun panas di kota ini masih bersahabat. Bukan panas polusi bak di Jakarta sana. Sinar mentari menjulurkan lidahnya. Menjilat-jilat dari celah-celah pohon jati di jalan yang membelah belantara hutan jati ini. Meski sinar matahari siang tak selamanya nyaman untuk tubuh, tapi ia tak pernah ingkar memberi kehangatan, menghidupkan alam. Menguapkan embun, mengeringkan daun-daun, juga dahan pohon mangga di tepi jalan itu. Hamparan rumput di tepian jalan kembali terlihat hijau cerah. Sinar kemuning itu memberi kesehatan untuk tubuhku beserta seluruh makhluk di tiap jengkal bumi raya.

Sepanjang kedua tangannya mengemudi di Jalan Raya Babat-Jombang, Mas Dirja tetap lanyah mendongeng untukku tiada henti. Untuk orang yang masih amat sangat penasaran dengan siklus peradaban manusia beserta alamnya di bumi para wali ini. Selain terdapat maqbaroh Raden Qosim atau Sunan Drajat yang masyhur itu. Di tanah ini ternyata masih banyak maqbaroh-maqbaroh dari tokoh-tokoh lain. Juga banyak petilasan mereka yang kemudian disakralkan oleh masyarakat setempat. Ada Syekh Maulana Ishaq ayah kandung—Kanjeng Sunan Giri—juga ada Mbok Rondo ibu angkat beliau. Mbah Lamong murid Sunan Ampel. Juga yang sampai sekarang masih diteliti. Makam Joko Tingkir yang kemudian menjadi icon klub sepakbola Lamongan, hingga maqbaroh Sunan Sendang Duwur yang masih lestari sampai kini.

Serta masih ada makam Dewi Andong Sari. Yang di percaya sebagai ibunda dari pencetus sumpah palapa Maha Patih Gajah Mada. Dan tepat saat ini. Aku tengah berada di jalan raya yang tak jauh dari situs makam tersebut. Di sekitaran Gunung Ratu, yang berada di daerah Ngimbang. Daerah itu berada di wilayah perbatasan kabupaten Lamongan dengan Jombang. Sayangnya, disitu ada beberapa oknum yang menjadikan makam tersebut nampak negatif. Karena adanya praktek ritual dan sesajen serta menjadi tempat pemujaan dengan ritual yang mengarah pada kemusyrikan. Masyarakat di sekiar sini meyakini jika Gajah Mada, di masa kecilnya tinggal disini. Sebelum masuk kecamatan Ngimbang ini. Tadi, di selatan kecamatan Babat. Aku juga melihat daerah yang bernama Modo. Seperti nama kecil Gajah Mada yang adalah Joko Modo.

Di depan hami kini terhampar hutan belantara pohon jati. Mas Dirja tiba-tiba mendongengkan fenomena warung kopi yang berharmoni dengan pasar wisata malam Agrobis. Yang ia janjikan tadi malam itu. Alamak. Bisa turun marwahku ini jika Adiba mengira aku aneh-aneh di tempat itu.

“Lalu bagaimana pemerintah dan masyarakat Lamongan menyikapi fenomena Mbak-Mbak molek itu. Itu kan yang Mas Pijar pertanyakan?” ujar Mas Dirja.

“Apa ... Mas Pijar! Mas Dirja ajak Mas Pijar ngopi di pasar Agrobis,” tanya Adiba ketus. Sedang Sakina hanya bersenyum-senyum malu.

“Santai. Santai Diba. Mas Pijar pujaanmu ini ternyata sudah teruji oleh godaan cewek-cewek disana,” sahut Mas Dirja. “Lagian, paginya, dia uda aku ajak taubat di makam sesepuh desaku kok.”

“Ah, Mas Dirja memang usil deh,” seru Adiba.

Asem. Benar sekali tebakanku. Aku semalem ternyata memang senagaja di tes oleh calon iparku ini. Sejenak Mas Dirja terdiam. Lalu ia pun akhirnya menerangkan seluk beluk perkara yang mengusik rasa penasaranku itu. Karena semakin maraknya beberapa perempuan bergincu tebal, bertubuh molek yang terkadang adalah seorang pelacur yang berkedok menjadi penjual kopi, itulah, alasan kenapa Pak Irwan mau di calonkan sebagai Bupati.

Dengan menjadi pemegang kuasa tertinggi. Yang bisa memutuskan kebijakan makro. Bahkan Mas Dirja kerap diajak oleh Pak Irwan blusukan menemui wanita-wanita itu. Kenapa mereka sampai terjerumus ke perdagangan lendir itu? Lalu masih maukah mereka bekerja bukan menjadi penjual kopi pangku plus-plus itu. Yang tiap malam perempuan-perempuan itu harus rela dicolek-colek bahkan dibawa ke kamar hotel hingga di semak-semak temaram.

Menurut informasi yang dimiliki Mas Dirja. Kebanyakan wanita-wanita itu ternyata bukan penduduk asli Lamongan. Hanya segelintir yang asli berkelahiran dari bumi joko tingkir ini. Karena masyarakat welcome dengan mereka. Bahkan sangat senang dengan keberadaan warung-warung itu. Akhirnya prostitusi terselubung juga praktik ngopi sembari pangku-memangku dan di tempel perempuan molek itu tumbuh subur.

Meskipun satpol PP. kerap merazia warung-warung mereka. Bahkan wisata kopi pangku di Lamongan seperti telah terlokalisasi secara alami. Di kota itu ada empat daerah yang menjadi sarang warung kopi plus-plus tersebut. Selain di Pasar Agrobis Babat yang masih baru itu. Mas Dirja masih punya rahasia tiga tempat lain yang banyak di hinggapi warung yang menyediakan pelayan cewek-cewek aduhai lain. Layaknya penjuru mata angin. Jika di Lamongan sebelah barat ada di Pasar Agrobis Babat.

Di Lamongan selatan, warung-warung itu ada dan berderet di sekitaran Waduk Wisata Gondang kecamatan Sugio. Di Lamongan timur, daerah pusat kota ada di Pasar Burung. Dan di Lamongan sebelah utara atau daerah pesisir laut ada di daerah pinggiran hutan Paciran. Di dekat Makam Sunan Drajat. Ironi bukan. Dan ajaibnya. Semua warung-warung itu ternyata berada tak jauh dari maqbaroh waliyullah juga kawasan pesantren.

Demikianlah siklus alur dunia. Tuhan menciptakan putih juga beserta warna hitam. Jika ada tempat untuk menuju kepada-Nya. Juga pasti di sekitarnya ada godaan untuk melalaikan Tuhan. Dan di bumi kelahiran Adiba ini. Yin-Yang fenomena itu berdamping tanpa saling berperang. Syiar agama di lakukan tanpa menggebuk. Seperti yang sering dilakukan oleh Pak Irwan. Menurut kisah Mas Dirja sekali lagi. Bahkan Pak Irwan sering mengunjungi empat tempat itu secara diam-diam di malam sunyi. Ia lakukan itu selepas berziarah ke maqbaroh-maqbaroh wali yang berdampingan dengan warung-warung mereka.

Pak Irwan dalam kisah Mas Dirja. Sering mendatangi ke empat tempat itu bukan untuk ikut mencolek-colek sang penjual kopi. Seperti yang normalnya di lakukan pembeli kopi lain. Ia kesana untuk meminta alamat rumah mereka. Dan di pagi harinya, ia menemui anak-anak mereka, memotivasi juga berbagi sekedar buku atau sebungkus jajan. Mendekap mereka. Sesama manusia. Sekedar meneduhkan dan saling mengingatkan. Dan dengan itu barangkali perempuan molek yang kebanyakan janda-janda itu mau keluar dari zona temaram yang dihukumi manusia nista oleh kebanyakan tetangga-tetangga mereka itu. Rem kuda besi beroda empat kami berdesit. Mas Dirja menghentikan mobilnya di depan sebuah masjid.

Lihat selengkapnya