Memasuki pukul lima sore. Hawa daerah pegunungan mulai terasa dingin meradang. Yaps! Aku hampir sampai di kota kelahiran. Angin berhawa lemari pendingin membelai-belai pipiku. Menerobos dari balik jendela mobil yang kacanya kubuka perlahan. Aku memang suka sekali membuka sedikit kaca mobil. Kita akan mendapatkan sensasi tersendiri dalam menikmati angin perjalanan. Disaat kita berkendara dengan roda empat di kawasan yang akan kami lalui berjuluk kota swiss van java ini terutama. Selamat berjumpa kembali denganku wahai kota Batu.
Menikmati semilir angin petang di wilayah ini sungguh menakjubkan. Desisnya menerobos ke sela-sela ruang dalam mobil, hingga mengelus-elus semampai. Dari dalam sini, aku lihat deretan orang-orang di luar sana. Sedang berjalan gemulai masuk ke rumah-rumah sederhana bertatatal kayu mereka. Mungkin karena sudah waktu sandekala. Mereka harus berada di rumahnya. Lalu bergegas ke rumah ibadah disaat sandekala.
Tentu berbeda. Jika dengan membuka kaca mobil ini aku lakukan di Jakarta sana, disaat berkendara di waktu sandekala ini. Tentu akan berbeda yang aku lihat dan kurasai. Di Jakarta tentu jam sekian pipiku akan di tampar-tampar oleh asap kendaraan yang menyemut. Lalu yang aku lihat tentu bukan pemandangan seperti itu. Melainkan deretan orang yang saling bersikut, berkendara saling kebut, selepas tergopoh-gopoh seharian berjibaku dengan kantor-kantor beragam industri mereka.
Bagi mereka yang belum terbiasa kemari, dinginnya hawa daerah ini sungguh akan terasa menyuntik hingga ke sumsum-sumsum tulang. Semburat surya berwarna jingga, menerobos dari sela-sela pegunungan. Lentera alam mulai sayu berganti bias rembulan. Gunung Arjuno, Semeru, Bromo, Welirang hingga Panderman adalah benteng alami kawasan ini. Mereka mengelilingi tiga wilayah administrasi di daerah Malang Raya ini. Daerah yang mulai bermetamorfosis menuju metropolitan masa kini. Gunung-gemunung itu menancap ke dasar bumi, menjulang tinggi ke atmosfir langit. Sebuah kawasan di timur pulau Jawa yang dipenuhi anugerah Tuhan, dengan sepenggal alam surgawi yang dicipratkan di hamparan bumi rayanya. Untuk kita manusia agar selalu bersyukur dan tak berpongah.
Awan tipis menggelombang di rongga-rongga angkasa. Berpadu dengan rintik gerimis yang mulai turun bergiliran—ukurannya hanya sebesar biji apel. Buah yang banyak tumbuh di dataran tinggi daerah ini. Sungguh sebuah maha karya pemilik semesta. Suasana di daerah paling dingin di timur pulau Jawa, bumi ibu dari raja-raja jawa Ken Dedes—Malang raya. Tak terasa kami telah keluar dari kawasan kota abang-ijo, Jombang. Dan kami telah memasuki wilayah Kasembon. Salah satu kecamatan yang menjadi pembatas antara kabupaten Malang dengan kota Tahu—Kediri. Yah. Memang sebelum masuk ke area Malang raya tadi, selain kami melewati Jombang bumi NU. Mobil kami sempat menginjakkan rodanya di secuil wilayah ujung Kediri. Secuil ujung bumi Jayabaya itu bernama kecamatan Kandangan.
Seusai kami tadi melewati jalanan kecil yang berliku berdamping belantara dan sungai-sungai berjurang. Tepat di waktu maghrib kami sampai di Masjid Jami’ kota Batu. Berbeda dengan rumah-rumah yang aku lihat sebelum masuk di perkotaan ini tadi. Rumah-rumah penduduk di kota Batu inipun terlihat mulai saling mengapit. Mereka penduduk asli di daerah pusat kota ini semakin tergeser oleh mall-mall, hotel, villa dan gedung-gedung pencakar langit berkaca lain di kawasan perkotaan yang mulai bercukulan. Namun semua masih tetap terjaga kedamaiannya.
Kota kecil ini adalah kawasan Malang raya yang terkenal akan tempat wisata dan suasana romatisnya. Kotaku ini, dahulunya memang satu wilayah administrasi dengan kabupaten Malang. Namun sekarang, kota ini memilih berpisah dan mandiri. Kota Batu telah menjadi kota administrasi tersendiri dengan brand KWB atau Kota Wisata Batu. Selepas sholat maghrib di masjid Jami’ tadi. Mas Dirja mengajakku sejenak duduk di pagar depan masjid. Ia memang suka banget dekat dengan masjid.
Pagar masjid ini memang nyaman untuk berleha-leha sejenak. Dari tempatku berleha di area depan masjid ini. Terpampang taman Alun-Alun KWB di hadapanku langsung berkemilauan. Benda bernama bianglala yang memiliki deretan lampu warna-warni itu seperti sedang menari-nari. Benda itu paling mencolok diantara taman kota eksotis ini. menjadi simbol Alun-Alun KWB.
Kami bermesraan dengan hembusan angin malam kota Batu yang berhempasan. Untungnya, aku kemarin telah membeli jaket yang lumayan tebal. Jaket itu dibagian lehernya terdapat bulu-bulu wol. Sehingga tubuhku pun terlindung dari hawa dingin bak di kutub selatan ini. Padahal aku hanya di ujung timur pulau Jawa bagian selatan. Jaketku setidaknya tak membuatku bergidik kaku.Walau tetap, bulu kudukku nyatanya masih berdiri. Tubuhku sudah pasti kaget. Dari Jakarta ke Lamongan cuacaya masih sama-sama panas. Namun dari Lamongan ke Malang ini, perbedaan hawa yang ekstrim membuat badan kurusku memberontak. Dan tak terpungkiri lagi. Lobang hidung dan mulutku pun mulai berpadu menjadi gebres bersin-bersin yang membeler ke arah tarikan gravitasi bumi.
Taman Alun-Alun KWB di depanku itu tak terlalu besar, karena letaknya memang berada di persimpangan lingkar jalan raya, pusat kota Batu. Alun-alun ini adalah salah satu taman publik terbaik di Asia Tenggara. Konsep modernitas teknologi yang dipadukan dengan keindahanya hijau taman berbunga.
“Waduh. Duh, duh, duh. Sampeyan kok sudah K.O, gitu Mas!” Ledekku pada Mas Dirja.
“Iya Mas. Langsung beler ini hidungku. Mungkin badanku masih butuh menyesuaikan beberapa jam dulu dengan hawa kota ini. Uda lama sekali aku tak kemari.” Katanya sambil mengkerut. Memasukkan kedua tanganku ke lobang jaket dalam-dalam.
“Wah. Wah. Wah. Tapi santai Mas. Nanti saya ajak nyari yang hangat-hangat. Kalau temen-temenku datang!” Tawarku dengan airmuka menggoda. Kami lalu bergegas meninggalkan pagar masjid kota Batu itu. Berjalan menyeberangi jalan menuju area Alun-Alun KWB yang eksotis itu.
“Loh. Loh. Loh. Nyari hangat-hangat kok ke loket Mas?” Tanyanya penasaran.
“Kita beli tiket buat naik bianglala ini dulu Mas. Ini sih tadi requestnya adik sampeyan. Habis naik ini, baru nanti saya ajak nyari yang anget-anget, hehehe,” celetukku.
“Siapa, kamu kah Adiba?”
“Bukan aku kali. Ini permintaan Kak Ina,” sergah Adiba.
“O, Ina. Okelah”
Tiba-tiba Mas Dirja berubah manis saat tahu kalau naik bianglala adalah permintaannya Sakina. Aneh. Kenapa ya?
“Huum Mas. Aku selalu rindu naik bianglala kalau kemari. Kalau Mas tak mau, biar aku naik sama Dek Diba aja. Mas bisa duluan ke kafe sama Mas Pijar.”