MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #18

Pasal 17 REKTOR JALANAN

Pagi merangkak siang. Mas Dirja bangun dengan sedikit gelagapan. Airmukanya pun nampak cukup tegang. Ia merasa sangat bersalah karena bangun kesiangan. Pagi ini, ia sudah berjanji mengajak Sakina ke suatu tempat. Hanya mereka berdua yang tahu. Aku dan Adiba tak boleh ikut. Namun apa daya. Hawa kota Batu memang amat menggoda tuk menina-bobokkan Mas Dirja. Akhirnya, pagi ini pun ia telat bangun dan tak segera menjemput Sakina yang telah menantinya di rumah kontrakan Adiba. Semalam, Mas Dirja memang kuajak saja menginap di rumah Nenekku. Setelah mengantarkan Sakina ke rumah kontrakan Adiba di Kota Malang semalam.

Kenapa Mas Dirja buru-buru sekali. Bahkan ia tak sabar menunggu sarapan buatan Nenekku matang. Setelah mandi sekenanya, aku diajaknya bergegas menuju Universitas Brojomukti yang berada di kota Malang. Tempatnya menempuh pendidikan doktoral. Disana pula kini Sakina menunggu kami sembari ikut menemani Adiba yang ada keperluan di kampusnya pagi ini. Semalam Adiba berkata, pagi ini memangada urusan akademik sebentar.

Alam masih sendu temaram. Bulir-bulir embun masih nampak mengelincir di dedaunan. Deru angin menggoyangkan tangkai pohon-pohon palm yang banyak ditanam di kampus ini. Aku turun dari mobil. Tepat di pusat kampus dengan branding Entrepreneur University ini. Entah itu hanya sebuah branding atau memang lulusan kampus ini memang sudah terbukti menjadi pengusaha-pengusaha sukses. Aku kurang terlalu mafhum. Ada hamparan lapangan hijau luas didepan sana. Juga gedung rektorat yang beratap kerucut. Dan semua gedung di kampus ini tinggi-tinggi mengujang. Suasana kampus yang terlihat bagai kumpulan kantor-kantor perusahaan bisnis. Berderet baliho-baliho berbagai acara.

Kami ternyata sudah ditunggu oleh Adiba dan Sakina di bundaran Brojomukti. Ada sebuah tugu setinggi lima meter. Tugu itu dibuat dari batuan yang mirip dengan bata penyusun candi-candi. Bentuknya segi empat dengan tiap sisinya menelpel sebuah jam bulat mungil. Sedang di pucuk tugu, ada seonggok besi runcing lancip. Mirip penangkal petir.

Dibawah tugu. Ada danau air kecil melingkari semua sisi tugu. Air danau itu berwarna hijau pekat. Beberapa bunga teratai hinggap di ubun-ubun genangan air danau itu. Di pinggiran atas danau, dibangun untuk tempat-tempat duduk mereka yang bersantai di tempat ini. Selain danau kecil yang melingkari tugu eksotis itu. Terdapat juga kebun mini taman bunga mengitariku kini. Entah jenis tanaman dan bunga apa saja itu, aku bukan ahli botani yang tahu masing-masing jenis tubuhan. Namun tanaman itu nampak indah. Warna hijau, merah, kuning berpadu membentuk harmoni tempat ini. Kampus memang masih lengang. Dan hanya aku tengah berdiam di tugu simbol kampus ini. Namun di jalanan kampus juga paviliun-paviliun di seberang sana. Telah banyak mahasiswa-mahasiswa yang tengah memulai aktifitas mereka.

Kami sejenak menikmati hawa segar alam pagi yang sejuk terasa dan elok dipandang ini. Apakah segala fasilititas perkuliahan yang teramat lengkap ini mampu menghasilkan manusia-manusia mulia. Masyarakatlah yang akan menilainya. Dikala aku mulai akan meninggalkan tempat ini, segerombol mahasiswa dengan tangan mereka masing-masing memegang kertas bufallo tercoret-coret dan berjalan mengerumun ke tempatku berdiri. Mas Dirja sedang mencari Sakina dan Adiba di rektorat dan aku memilih menunggu mereka disini saja.

 “Tegakkan khilafah di Indonesia. Tegakkan syariat Islam di kampus Brojomukti. Takbir!” Suara lantang dari kawanan pendemo itu menggelegar-gelegar. Bagai mereka adalah satu-satunya pemilik tempat ini. Kupandangi masing-masing dari mereka. Ada puluhan juga mungkin ratusan mahasiswa menyusul berdatangan—berduyun-duyun. Mereka yang laki-laki kebanyakan berjenggot panjang. Namun ada dari mereka yang jenggotnya hanya beberapai helai. Berpakaian baju koko. Bercelana kain panjang namun tak sampai tumit. Dan di dahi para mahasiswa lelaki itu, terdapat pentolan-pentolan gosong. Mirip biksu shaolin, namun milik mereka itu hanya dua biji.

Sedang para pendemo yang berjenis kelamin perempuan. Rata-rata bergamis gelap. Berkerudung panjang. Dan muka mereka tertutup cadar. Namun yang amat mencolok dari perempuan-perempua itu adalah mereka yang memakai abaya. Pakaian khas wanita arab. Yang semua tubuh mereka terbalut kain hitam. Hanya menyisakan dua mata. Layaknya tampilan seorang ninja.

Aku perhatikan hentakan kalimat-kalimat tauhid itu dengan wajah tertegun. Apakah sebegitu tak berdayanya Tuhan. Hingga mereka kobarkan asma Allah di jalanan. Bolehlah Bung Tomo dulu bertakbir-takbir lantang disaat Perang Resolusi Jihad di Surabaya silam. Yang kala itu para pahlawan dan juga tentara sukarelawan yang kebanyakan kiai dan santri, berjuang mati-matian. Mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang akan diambil alih lagi oleh bangsa penjajah.

Namun pagi ini, apa landasan mereka ini. Mengomando aksi massa di kampus mereka sendiri. Apakah hanya untuk menunjukkan eksistensi organisasi mereka yang bertama Jihad Khilafah Indonesia atau JKI itu. Kalam tauhid mereka jadikan tameng di bendera hitam yang terkibar-kibar. Aku mulai tahu. Jika di kampus yang memakai nama Brojokmukti, gelar untuk raja-raja pemimpin di kerajaan Manawapa itu, juga ada kelompok JKI seperti juga yang mulai subur di berbagai kota. JKI Chapter UB yang sedang berdemo ini, menjadi miniatur, jika di kampus-kampus dan di seluruh kota-kota di Indonesia saat ini. Mereka gesit menyemai embrio-embrio pendakwah Islam ala tukang gebuk.

 “Akhi! Ayo cepat bergabung bersama kami. Kita turunkan Pak Rektor yang semakin sekuler itu!” kata seorang dari mereka. Berwajah sangat Jawa namun memaksa berlogat arab. Mengajakku dengan merangkul-rangul. Sedikit memaksa.

“Terima kasih Mas. Saya sedang akan ada agenda penting ini. Tapi kalau boleh tahu, kenapa kalian menginginkan Pak Rektor diturunkan. Sekuler bagamaina itu?” tanyaku padanya.

Lalu ia segera menyodorkan selembar kertas padaku. Sepertinya kertas itu adalah press realese tuntutan demo mereka. Lekas saja kubaca selembar kertas itu. Ternyata, alasan melakukan demo besar-besaran dalam skala mahasiswa ini, karena dua hal. Pertama karena Pak Rektor yang baru berniat membangun sebuah hotel untuk publik di area dalam kampus, guna pelebaran sayap bisnis kampus. Yang kedua ini yang menurutku unik. Karena si Pak Rektor kini sering menggelar pementasan wayang dan berbagai seni kebudayaan lain di pelataran depan masjid kampus. JKI Chapter UB ini tak terima, karena menganggap semua itu bid’ah. Dan menodai mahasiswa muslim.

Jadilah kini mereka menggelar ‘Aksi Bela Syariat’ dan menuntut Pak Rektor mereka itu untuk turun. Jika pimpinan kampus mereka itu tak segera menunaikan tuntutan mereka. Setelah para demonstran pria telah usai berteriak-teriak dengan megaphone. Kini aku melihat seorang perempuan ikut mengumandangkan aspirasi mereka. Dari seluruh bagian tubuhnya, yang dapat nampak ku lihat hanyalah mata dan hidungnya. Karena ia memakai abaya hitam legam. Barangkali, gerakan mereka inilah yang pernah diceritakan Ferdi dan Tumwen tempo hari. Dan lewat Pergerakan Mahasiswa Moderat Brojomukti, mereka berjuang membendung gerakan konservatif seperti ini.

“Eh, sudah pada disini ternyata!” seruku melihat kehadiran Adiba, Sakina dan Mas Dirja.

“Mas ... Ayo lekas pergi dari ini. Jika lama-lama melihat demo ini, aku hawatir trauma Kak Ina kambuh,” bisik Adiba padaku.

Oyi lord!” Jawabku.

Kami berempat pun bergeser ke Kafetaria Kampus tuk sarapan bersama terlebih dahulu. Tatkala berjalan menuju kantin. Kulihat mentari yang tadi pagi mengintip-intip dari paku bumi itu, kini mulai semakin berani menampakkan diri. Kerumunan mahasiswa berdemonstasi masih meraung-raung. Ada pula mereka yang baru berangkat kuliah dengan berjalan kaki. Ada juga mereka yang beruntung memiliki kuda besi dan lebih-lebih unta besi. Semua bergegas berangkat, pulang dan kembali. Dari kesibukan intelektual mereka sehari-hari. Di atas jalanan ini tumbuh pepohononan rindang. Syukurlah meski kota ini mulai memetropolitankan dirinya, namun pepohonan tak mereka gunduli begitu saja. Entah sampai kapan pohon-pohon itu bertahan oleh nafsu manusia.

Pagi merangkak siang di kota pendidikan. Kota Malang, kota yang menjadi pelabuhan faforit berjuta insan mahasiswa. Ada mereka yang sungguh mencari ilmu. Mahasiswa pencari ijazah dan lowongan kerja. Mencari pacar untuk istri di hari kemudian. Mencari jejaring bisnis dan lokasi usaha. Bahkan mereka mahasiswa perantauan yang bermula jadi aktivis akhirnya bertarung menjadi DPRD dan walikota. Namun lain cerita yang terjadi di sudut lampu merah yang sempat kami lewati tadi. Aku merdengar dari salah satu kawula lampu merah. Rintih tangis bocah kecil, menahan rasa lapar berhari-hari membuncah. Anak-anak para janda entah dimana bapaknya. Pengemis, gembel, gelandangan, pengamen yang masih berpeluh keringat hingga sandekala.

Siang ini, Mas Dirja nampak aneh. Ia ingin mengajak Sakina seorang yang menemaninya berkeliling Malang. Aku menaruh curigai, apa yang sedang direncakan Mas Dirja untuk Sakina. Aku dan Adiba dipintanya tak usah ikut. Baiklah. Tentu aku sangat senang sumringah lah. Punya kesempatan berduaan dengan Adiba.

Eits. Itu bukan kebiasaan Adiba. Ia malah merancang dan mengajakku menemui para tim punggawa. Allamatttt. Hari ini aku akan diajaknya ke sebuah tempat yang spesial dan rahasia, katanya. Kami berdua pun meluncur dengan mengendarai matic Adiba. Berkendara di atas jalan yang merupakan salah satu kawasan yang menjadi tempat tongkrongan faforit semua mahasiswa di kota Malang. Jalan Suhat namanya. Mulai kelas mahasiswa ahli tukang gadai laptop akhir bulan sampai mahasiswa elit bermobil modif bertebaran disini. Apalagi malam ini memang malam minggu. Jalan Suhat memiliki lajur dua arah dan ditengahnya terdapat trotoar kebun yang indah. Tumbuh rerumputan hijau terawat bak stadion sepakbola.

Setelah melewati jembatan Suhat yang berkilauan cahaya temaram jika malam hari. Di kanan kiri jalan ini tampak tak ada sedikitpun kelelangan. Restoran mewah, ruko perkantoran, tempat hiburan malam seperti kafe live music, pusat karaoke, tempat dugem, hingga toko buku dan taman budaya bercukulan di kawasan terkenal ini. Yang unik memang mereka-mereka yang berdagang diatas mobil-mobil ter-permak menjadi kios beroda itu. Jika di kota batu tubuhku mengkerut. Disini terasa lebih hangat namun tak mengurangi kesejukan yang terasa menyegarkan. Sesampainya di bawah tol jalan layang, kami semua berhenti dan memarkir motor rapi. Di depan sana. Tumwen telah berdiri menunggu kami dengan memajang wajah serius. Kedua tangannya menanting dua tas kresek plastik besar berwarna merah.

“Apa kabar kawula muda ...,” sambut Tumwen dengan gaya khasnya. Dan bersalaman adalah bagai syariat wajib bagi para pasukan Komunitas Punggawa ketika berjumpa dengan siapapun. Baik orang yang telah dikenalnya maupun orang yang baru beretemu denganya, di waktu itu. Aku tak menyangka. Adiba membawa kami ke tempat ini. Mendekap para penghuni kolong tol. Di bawah jalan layang ring-road. Tumwen dkk, mendapat tugas sebagai seksi konsumsi. Mangkanya di tangannya, ia membawa berbagai jenis bahan makanan pokok seperti beras dan lain-lain.

Membawa makanan dan minuman siap makan juga. Seperti nasi bungkus plus beberapa roti kerin. Dan tak munkin ia lupakan beberapa bungkus kopi hitam untuk menemani saat mereka mengajak berbincang hangat para penghuni kolong jembatan ini. Tugasku sebagai anggota baru Punggawa tentulah diajak ikut mengenal para penghuni kolong tol ini. Aku wajib berkenalan dan mengajak mereka tertawa. Membesarkan hati mereka, para anak-anak punk, gembel, pengemis, pemulung, pengamen jalanan. Aku harus bisa menyatu dengan yang lainnya, tuk bisa ikut tertawa bahagia.

Lihat selengkapnya