MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #19

Pasal 18 PAMITNYA IA DULU

Di masa itu.

Selarik daun kering jatuh tepat mengenai pundaknya. Pundak yang kini sedemikian lunglai kepemilikan Sakina—perempuan muda kekasihku—yang dulu di awal kuliah nampak selalu tangguh. Namun di senja itu airmukanya dipenuhi rasa resah. Resah akan nasib studinya yang mulai berantakan dan tak kunjung bisa ia selesaikan. Resah karena ibunya—kini terkubur di balik tanah bertumbuh bunga-bunga kamboja. Resah tentang ayahnya yang dikabarkan ingin menjodohkannya dengan pria lain. Dan resah demi keresahan lain yang kian menggumpal adanya. Seolah ia adalah gadis satu-satunya di hamparan bumi ini yang dihuni berjuta masalah yang terus saja menghunus-menghujam.

Lelaki muda berpeci hitam dan memakai sarung di depannya (aku) itupun mengajaknya berteduh. Berlindung dari rinai hujan yang mulai membasahi bumi. Bernaung dibalik dedaunan pohon mangga di halaman rumah indekosnya yang lebat mengkanopi. Guyuran tangis langit kian deras menderu. Di bawah petala senja yang kian gulita tanpa bintang. Mata Sakina larut oleh deru hujan dan ia mulai berkaca-kaca. Dan aku yang duduk di selemparan batu darinya, hanya bisa mendengarnya tanpa dapat berbuat apa-apa.

Ia mengira, selarik daun kering yang jatuh mengenai pundaknya di senja itu, jatuh begitu saja oleh hukum alam. Bukan. Bukan wahai gadis manis nan elok jelita. Selembar daun kering itu memang sengaja di kirim Tuhan tepat di pundakmu untuk mengingatkan. Jika kehidupan manusia di dunia ini, hanyalah tentang ujian dan puasa. Ia, begitulah kehidupan ini hai Sakina. Nikmatilah. Syukurilah. Dan teruslah engkau menjalaninya. Dirimu memang kini berada di titik daun kering. Bagian amat penting dari tumbuhan itu kerap kali terbuang. Ia terlupakan dan dibakar kala kering bergeletakan.

“Sungguh. Engkau ingin mengakhirinya, begitu saja sampai disini,” ujarku yang tak kuasa ini. Kedua mataku berkerjap-kerjap.

“Maaf,” Sakina membalas. “Kalau keputusan ini teramat berat untukmu, Pijar. Sebelum hubungan kita ini terlampau jauh. Saya ingin membebaskanmu dan kejarlah mimpi-mimpi besarmu itu,” lirih Sakina. Ia menahan isak tangis yang kian membuncah.

Tanganku mengusap sekujur kepalan. Dari kening hingga ujung tengkuknya, menandakan jika aku semakin gundah. “Sesungguhnya aku belum sepenuhnya mengerti. Apa yang mendasari keputusanmu ini. Dengan begitu mudahnya engkau ingin kita saling menyakiti satu sama lain. Bukankan demikian, yang dihasilkan dari keputusanmu itu. Tentu aku yakin. Tak semudah ini pula engkau akan mengajak berpisah!” Ujarku dingin.

Sakina hanya diam. Mulutnya tercekat. Ia memang satu dari sedikit perempuan di hamparan bumi ini yang bersikap demikian. Gadis itu teramat pendiam sebagai seorang wanita. Ia tak suka bercerita keluh kesahnya pada orang lain selama ini. Apalagi bergosip ria layaknya trend wanita kebanyakan—sama sekali bukan karakter di dalam diri gadis itu. Ia lebih banyak bercerita pada secarik kertas. Menggores segala dilema hidupnya dengan rajutan surat-surat. Jangankan berkeluh pada sang lelaki muda yang kekasihnya ini. Kepada kedua orangtua kandungnya saja ia selalu tertahan saat ingin menceritakan segala masalah hidupnya.

Sakina memang gadis yang selalu tak ingin menjadi beban untuk orang lain. Namun ia lebih suka mendengar keluh kesah kawan-kawannya selama ini. Sering pula ia ikhlas membantu meringankan beban orang-orang di sekelilingnya. Gadis itu tak pernah mengeluh sedikitpun pada kedua orangtuanya. Jangankan mau curhat permasalah ikhwal cinta. Berbicara santai dengan ayah-ibunya saja ia sungkan. Karakter keluarga sang gadis memang begitu. Bukan karena kondisi keluarga sang gadis bermasalah. Namun kebanyakan, keluarga besarnya memang pendiam. Saling tertutup.

Meski kini di kota tempat studi-nya, sang gadis semakin terhimpit berkeputus-asaan. Antara terus berlanjut menyelesaikan skripsinya dan lulus bersarjana, atau lebih memfokuskan bekerja untuk membantu kondisi ekonomi keluarganya yang tengah jatuh. Sakina memang setegar daun kering. Hingga di penghujung perjumpaan denganku senja ini, ia tak kuasa berkata sebenarnya padaku. Ia selalu misteri. Alasan terutama, kenapa ia ingin membebaskanku berlabuh ke lain hati dan atau fokus mengejar mimpi. Bahwa, bukan masalah kuliah, keluarga, apalagi finansial yang membuatnya ingin berpisah. Telapak tangan Sakina nampah semakin melembab basah. Bukan basah karena cipratan air hujan dan atau pelupuh air mata. Entah karena apa. Ia mual-mual tak jelas oleh apa.

Tatkala hujan reda dan langit malam berganti membiaskan sinar gemintang. Diriku menunduk pasrah pun akhirnya meminta diri pergi. Berjalan pergi dan seraya berkata, “terima kasih sudah mau menemuiku.”

Aku pun pergi meninggalkan Sakina dengan menyiratkan airmuka bertumpuk sekarung luka.

“Pijar...!”

Aku menengok kaget. Barangkali ia berniat menggubah niatnya

“Iya. Kenapa?” sahutku parau sembari memutar kunci motor.

Sakina mendekat seraya berkata, “Kamu lelaki baik. Terima kasih selama tiga setengah tahun ini sudah setia menemani perjuanganku di kota ini.”

“Kamu juga perempuan baik Sakina,” ucapku setengah hati.

Kami saling memandang beberapa detik. Hingga suara auman kucing berlarian menjadi penanda kalau telah malam. Bahwa setiap perjumpaan selalu ada perpisahan. Setiap permulaan selalu akan momentum pengakhiran. Di tiap kelahiran selalu ada kematian dan setiap dimulainya sebuah ikatan selalu saja ada perpecahan. Begitupula ikatan cinta sesama anak manusia itu. Malam itu menjadi titik terakhir mereka bersua. Entah, pertemuan itu sungguh-sungguh akan menjadi pertemuan terakhir mereka hingga nafas dan jiwa mereka saling membumi. Selamanya mereka berdua takkan pernah di perjumpakan kembali oleh semesta. Atau sang pengatur skenario kehidupan akan memperjumpakan mereka berdua kembali kelak. Sang gadis memilih berpisah dengan setumpuk pertanyaan menggelembung di dada lelaki muda. Dan sang lelaki muda, sekali lagi ia ingin mempertegas.

“Baiklah. Sebelum aku ikhlas berpisah, bolehkan sekirannya aku berprasangka. Bahwa ini semua hanya tentang kisah perjodohanmu saja. Bukan tentang yang lain,” selidikku.

Sang gadis berfikir sejenak. Lantas berucap,“aku mengandung anakmu Pijar. Apakah aku ini egois, jika aku saja yang berkorban untukkmu Pijar. Aku akan menikah dengan pria pilihan abah!”

“Apakah aku tak boleh bertanggungjawab untuk kebejatanku Ina?” tanyaku sekali lagi.

“Tinggalkan aku. Kamu harus lulus Pijar. Kamu harus banggakan keluargamu dulu.”

“Kenapa ... kenapa Sakina!”

“Karena aku baru saja keguguran.”

Mendengar kata Sakina, aku lemas. Kelopak mataku tak kuasa meneteskan bulirnya. Aku sudah mengira. Bahwa saat kemarin Sakina bertanya kepadaku ikhwal bagaimana pendapatku—jika ada seorang perempuan yang ingin berkorban untuk membebaskan kekasihnya. Agar lulus kuliah. Biar ia saja yang menanggung buah cintanya. Karena tak ingin ia membebani sang kekasih jika mendadak harus menikah dan menafkahi keluarga.

Sekali lagi. Harapanku meyakinkan bahwa komitmenku ingin terus memperjuangkan Sakina berujung nestapa. Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun. Kami berdua telah lulus. Kami loss kontak. “Pijar. Aku ingin belajar tentang keikhlasan,” lirih Sakina yang selalu ternyiang di kesunyian malam-malamku seusai hari itu. Bahkan kejadian itu, membuatku bertanya-tanya akan keadilan Tuhan. Tentang Tuhan yang katanya Maha pengasih dan penyayang. (Kisah ini yang mula-mula menjadikanku seorang agnostik, atheis dan sangat ingin mengakhiri hidupku secara paksa)

***

Saat ini.          

Kulihat mata Adiba berkaca-kaca. Setetes butiran bening menetes di pipi merahnya. Kuseka sebutir air bening itu dengan ibu jariku. Perasaanku lega sekali tatkala kujelaskan padanya. Bagaimana dulu aku sampai berpisah dengan kakaknya. Aku jujur. Dulu memang bejat. Tak layak untuk wanita ini. Namun kini aku sungguh ingin bertaubat. Dan jikapun dulu Sakina memintaku bertanggungjawab. Tentu aku akan menikahinya. Tentu pula aku akan bertanggungjawab jika keluarganya menuntutku.

Adiba hanya terdiam. Barangkali betapa nestapa kakaknya itu tersimpan rapat-rapat selama ini darinya selama ini. Bahkan ayahnya pun tak pernah mengungkap hal itu pada khalayak keluarga. Bahwa rahasia Sakina pernah hamil dan keguguran itu hanya di ketahui oleh Sakina sendiri dan ayahnya. Dan tentu saja olehku. Tak saat itu tak bisa berbuat apa-apa.

“Diba, kini, semua kuserahkan padamu?”

“Tentang apa Mas?”

“Tentang niat tulusku ingin menikahimu.”

Lihat selengkapnya