Sebulan sudah. Aku tak berjumpa Adiba. Ia kini semakin sibuk dengan riset-riset doktoralnya. Adiba juga kini lebih sering pulang ke Lamongan sana. Semenjak Sakinah kini kembali berada di rumah. Dan tentu, alasan utamanya di rumah, ia ingin memperjuangkan restu dari ayahnya, ikhwal hubungan kami. Barangkali itu prasangka baik yang bisa kuterka. Tatkala percintaan kami berdua terasa semakin runyam. Aku tak henti-hentinya berdoa memohon yang terbaik. Kini, aku hanya bisa bertawakkal pada Tuhan. Ikhtiarku meyakinkan orangtua Adiba tak kunjung jua berbuah hasil kepastian. Aku sering meminta Adiba agar di izinkan menelepon ayahnya. Namun belum ada izin untuk itu. Bahkan aku ingin menyusulnya dan menemui ayahnya lagi di Lamongan. Atau bahkan, jika di bolehkan. Bahkan aku siap mengajak kakek dan nenekku melamarnya secara resmi disana. Namun Adiba dan keluarganya masih meminta waktu untuk mempertimbangkan.
Segenap daya, aku telah mengumpulkan peluru-peluru ikhtiar yang tersisa. Aku provokasi pasukan Punggawa untuk turut mendukungku. Bergerak bersama mereka cukup seru. Info C1 dari mereka para intel rumah punggawa itu semoga valid. Apakah aku sungguh layak menemani hidup Adiba. Aku mulai lemah semangat. Kawan-kawan Punggawa sampai mempertanyakan komitmenku.
Namun sebagaimana kabar yang kudapati, dengan segala cara kudapatkan informasi dari sahabat-sahabat Punggawa. Berujar, kalau Adiba akan dijodohkan dengan kerabatnya. Kuyakini itu hanyalah gosip belaka. Akhirnya, dikala diriku mulai gundah perihal Adiba. Kuputuskan hari ini aku keluar rumah. Mencari angin segar. Bukan berkunjung ke basecamp Punggawa. Aku punya tempat lain untuk menenangkan diri.
Disinilah aku.
Kutemui Kang Sanun dan keluarga kecilnya yang tak pernah nampak sedih. Selalu meriah.
“Ngelamun kok yah di depan pintu rumah orang sih Mas ... Mas! Ngelamunin jodoh yang sudah habis masa tenggangnya, yah!” Tegur Kang Sanun yang tengah memakai peci beludru.
“Ngelamunin nasib bangsa dan negara Kang,” elakku.
“Bangsa dongeng apa bangsa begedur Mas.”
“Bangsa langit Kang.”
“Wis. Wis. Ayo minum kopi di teras belakang saja yuk!”
Kang Sanun. Meski bicara dengan orang ini akan selalu bikin otak panas dan perut mulas. Tapi ia orang yang halus budinya. Kuanggap ia guru spiritual pribadiku. Sejak aku bertemu dengannya. Bukan hanya Kang Sanun. Mbak Nisa, Fatma, Fatia, Arki dan si mungil Arya juga menyambutku hangat. Tiap kali aku datang ke rumah mereka. Rumah Kang Sanun adalah pesantren dadakan kawula muda yang tentu patah arah sepertiku ini. Kami berdua duduk di atas karpet yang mulai usang. Saling bersenda gurau bagai dua orang karib seperjuangan. Meski kadang aku masih banyak tak setuju dengan pemikirannya. Namun kami masih saja satu frekuensi.
Oh yah. Diawal aku pernah berjanji memberitahu, apa kelebihan Arki. Sejak kecil, Arki mampu mengetahui apapun yang telah diketahui dan bahkan belum diketahui oleh Kang Sanun. Bahkan, dulu Arki lah yang memaksa Kang Sanun agar mau naik kereta—agar Kang Sanun berjumpa denganku—saat dulu itu, karena Arki tahu, bahwa bertemunya aku dan bapaknya, akan memiliki dampak kebaikan dalam jangka panjang. Salah satunya, kini segala gagasan, ide dan karya-karya Kang Sanun akhirnya mendapat kesempatan tuk menjadi gerakan nyata lewat Komunitas Punggawa Indonesia dan berdampak positif bagi masyarakat luas. Dan tentu, kami akhirnya ikut membantu Kang Sanun dengan bergabung menjadi tim di Yayasan Atlantis-Lemuria Indonesia-nya.
“Jadi ... jadi, gimana-gimana,” lanjut Kang Sanun. “Kabar hubunganmu dengan gadis cantik perintis Komunitas Punggawa Indonesia yang kau puja-puja itu, Mas Pijar. Cukup lama aku tak kau beritahu. Terakhir, dua bulan yang lalu ya, seingatku. Rindu sudah aku, bisa melihat mimik wajahmu yang berkobar-kobar jika sudah bicara tentang, siapa, siapa, lupa aku, Dina ya?”.
“Diba Kang. Adiba ...”
“Oh, iya ... A ... diba, kaulah gadis Pijar yang pa-ling ... cantik, ” canda Kang Sanun dengan melafalkan nama Adiba macam lirik salah lagu band pop melayu terkenal.
“Lagi pusing ini aku Kang. Ternyata kakak Adiba yang namanya Sakina itu adalah mantan kekasihku dulu pas masih kuliah di Jakarta. Itu yang jadi masalah kini. Jadi adiknya kini bimbang ceritanya.”
“Simbah, simbah, cucumu ini pernah jadi playboy juga ternyata,” ledek Kang Sanun di sertai tawa bahaknya.
“Lah, itulah masalahnya, masih ada yang lebih pelik Kang. Kalau perangku soal materi, aku tentu masih maju tak gentar. Namun, masih ada yang lebih gawat.”
“Apa Mas yang lebih gawatnya?”
“Aku takut Abahnya Diba yang tak merestui ini Kang. Karena barangkali sudah tahu dari Sakina, bahwa aku dulu sempat menghamili Sakina. Namun anak kami itu dulu ia sengaja gugurkan. Lalu bilang ke aku kalau ia keguguran dan Sakina dulu tak mau aku nikahi karena saat itu aku belum lulus kuliah.”
“Astagfirullahal adzim ... kisah percintaanmu kok lebih rumit daripada konflik politik negeri ini ya Mas Pijar.”
Kang Sanun bergeleng-geleng.