MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #21

Pasal 20 DOKTOR DAN DOKTER

Tiba-tiba, seseorang meneriakan namaku sangat keras sekali. Suara itu berasal dari balik kerumunan jamaah yang masih memadati lokasi pengajian Kiai Budayawan. Suara yang kudengar itu sungguh sangat khas. Aku amat sangat mengenal suara pemuda itu. Ia mendekat. Mata pemuda berbaju hitam itu tajam berbinar. Ia memanggilku berkali-kali di depan banyak orang berseliweran. Tak sabar. Ia pun berlari menuju ke tempatku yang sedang berduduk di bawah panggung. Semakin mendekat ia ke tempatku, aku semakin jelas dapat memerhatikan wajahnya. Ternyata ... ia adalah Mirzam. Si doktor muda kawan lamaku yang songong itu. Alamakk, kenapa aku harus berjumpa dengan dia lagi.

Maaf itu mudah terucap. Namun belum tentu mampu mudah tertancap. Demikianlah, di muara pagi itu. Saat aku akan bertolak pulang. Aku tak sengaja diperjumpakan dengan kawan lamaku. Dan canggungnya, persahabatan kami belum benar-benar pulih. Hingga hari ini, satu tahun setelahnya, nyatanya, masih saja diriku sulit memaafkan. Namun sesungguhnya banyak hikmah yang dapat kupetik setelah kejadian pertengkaranku dengannya.

Aku hanya duduk terpaku. Termenung tak bergerak dan juga tak berucap sepatah katapun pada Mirzam. Tiba-tiba, Mirzam yang bersuara cempreng itu mendekatiku dengan tabokan akrab kerasnya. Tabokan yang selalu ia alamatkan padaku seperti saat-saat dulu kami masih berkawab akrab. “Serius, ini kamu cu*!” umpatnya sok mengakrabiku ala jawa timuran. “Ini aku cu* Mirzam.”

“Hehehe. Iya,iya tahu kok aku Ndeng! kamu itu si Bindeng,”akhirnya kubalas tawaran sok akrabnya.

 “Akhirnya, aku bisa berjumpa lagi dengan mukamu, wahai manusia yang katanya paling idealis di dunia,” kelakarnya sembari menjabat tangan dan memelukku erat-erat.

Seusai menepuk pundakku, si Mirzam pak doktor muda yang bersuara cempreng itu mengajakku mencari tempat yang lebih tenang. Kisahnya, Mirzam ini juga aslinya orang Malang. Ia kawan masa kuliahku di Jakarta yang dari awal jumpa kuberi ia panggillan akrab Ndeng, Bindeng. Sekian lama tak jumpa dan bahkan bertengkar, ia ternyata tak berubah. Bertingkah seperti saat kami masih berkawan dekat dulu. Mirzam suka bertingkah konyol dan ceplas ceplos.

Malam ini, sikap hangatnya padaku yang sempat pudar itu muncul kembali. Kami berdua lantas duduk bersila. Saling bertukar kabar. Namun Mirzam lah yang lebih aktif bercerocos. Maklum, ia yang kini memiliki hari penuh bunga-bunga. Sedangkan aku, tengah dirundung gundah gulana. Aku hanya menjadi pendengar yang baik untuk sahabat lamaku ini.

Tak ada yang menarik untuk kukisahkan dari hidupku padanya. Yang mengagetkanku, ia akan pergi menjadi TKI. What. Dari mantan tenaga ahli DPR RI mendadak jadi TKI. Dunia memang terkadang punya kelucuannya tersendiri. Mungkin, malam ini aku tak akan punya kesempatan lagi menikmati momen syahdu seperti ini lagi dengannya. Jika memang takdir akan membawanya menetap ke luar negeri, bisa sebentar, atau bahkan untuk selamanya tak kembali lagi ke Indonesia. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka berbaikan denganya ini. Ku ajak ia mengenang masa-masa indah kami saat masih kuliah dulu.

Hingga stok cerita Mirzam itu hampir habis. Aku masih saja ragu mengutarakan kabar kehidupanku. Melihatku hanya berdiam. Ia pun kembali berbicara lanyah. Kata-kata yang merembes dari mulut teman aktivis sepergerakanku di Jakarta itu kini lebih santun penuh makna. Tak seperti di masa akhir kami berjumpa. Ia dulu bahkan sangat sombong. Dan jarang mau bicara apa adanya. Jangankan mau berbicara jujur di depan banyak orang—saat bersamaku seorang saja ia tak henti-hentinya sok berpongah.

Hilir mudik manusia yang masih mengerumun di sekeliling kami, tak menganggunya mengajakku berdiskusi apapun saja. Mereka para jamaah Pak Kiai Budayawan yang datang kemari ini, yang datang jauh-jauh ke sini, barangkali adalah pelipur kerinduan mereka. Kerinduan jutaan umat muslim Indonesia yang merindukan siraman bijak penuh kharisma, seperti juga diriku.

“Heh, Cu*, kamu ini, di ajak berbincang kok malah ngelamun!” Tegur Mirzam padaku dan sekali lagi, ia tak lupa menjendul kepalaku. Tanpa sungkan. Sontak ia membangunkan lamunanku.

“Upsss. Soir-soir ... itu loh Sob. Aku sungguh terharu, menyaksikan semangat orang-orang itu, yang rela datang jauh-jauh hanya untuk kemari. Mereka berombongan dari desa atau bahkan luar kota tempat asalnya, menuju tempat ini,” elakku.

 “Maklum cu*. Pak Kiai Budayawan itu memang kiai yang nyamudro.”

“Apa lagi ... itu nyamudro, ada-ada saja istilahmu itu Ndeng.”

 “Nyamudro itu rendah hati dan mengayoni siapapun gitu lho cu* kamsudku!”

 “E, serius a itu Ndeng, kamu mau hijrah jadi TKI.”

 “Serius cu*. Menurutku aku terlalu gokil plus hina ya, jika mantan jendralnya aktivis mahasiswa, mantan TA DPR dan pemuda yang bergelar doktor ini mau jadi TKI?” tanyanya bernada serius.

“Ya serius gokilnya itu Ndeng, mangkanya aku kepo,” lirihku.

Lihat selengkapnya