MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #22

Pasal 21 ORANG-ORANG TERKASIH

Aku kembali siuman. Efek bius selama operasi mulai menghilang perlahan. Entah sekarang ini pukul berapa tepatnya. Nampaknya belum malam. Masih sore menuju senja. Aku belum mati. Aku tak sendiri. Sepertinya aku telah dikembalikan ke kamar perawatanku tadi pagi. Karena aku bukan pasien yang bisa membayar kamar privat apalagi kamar VVIP. Aku pun ditempatkan di ruangan yang terdapat dua pasien lain di kanan dan kiriku. Namun kami terpisah oleh kelambu kain biru berwiru putih. Bau obat menyeruap-ruap. Kurasai, seusai di operasi, perutku sangat lapar sekali. Kurasai tubuhku seperti telanjang. Aku hanya memakai daster hijau khas pasien sehabis di operasi.

Aku mendengar suara Kakek dan Nenek sayup-sayup. Mereka segera menyapaku yang baru siuman. Kakek menata bantal agar posisi kepalaku lebih enakan. Sedangkan Nenek, menanyaiku, apakah sudah lapar, tanpa menunggu aku menjawab, ia sigap. Mengambil sepiring nasi jatah rumah sakit. Menyuapiku yang masih tak berdaya. Sebenarnya, jika tak di infus, tangan kananku masih bisa kugerakkan. Namun karena saran suster, aku tak boleh menggerakkan tangan kanan agar selang infusnya tak bergeser. Jadilah aku berubah menjadi bayi kembali hari ini. Aku menurut di suapi nenek. Ingin kencing pun kakek dengan sigap mengambilkan botol khusus untuk buang air padaku.

Aku malu sekali diperlakukan bak bayi seperti ini. Namun mau bagaimana lagi. Kondisi lemah seusai di operasi mewajibkanku tak banyak bergerak. Selagi aku di suapi oleh Nenek. Aku sempatkan bertanya, siapa saja yang sedang menjengukku di luar itu. Aku penasaran karena tadi, sekilas nampak ramai. Yang bisa kulihat dari atas ranjang ini, memang hanya Pak Kasun yang sedang duduk bersandar dinding, bergeleng-geleng dan lalu bersenyum padaku. Kata Nenek. Semua orang yang kukenal datang menungguiku di depan ruang operasi, saat tubuhku di sayat-sayat oleh dokter tadi.

Satu persatu kawan-kawan Punggawa Indonesia akhirnya menemuiku yang tak berdaya di atas ranjang. Ferdi, Tumwen, Gus Towel, Gudek, Cuplis, Izza dan Dino si kristen moderat. Sedang Mas Hadi dan Mbak Nunik sudah pulang saat aku di operasi.

“Bro. Soal biaya jangan di fikirkan, kami akan usahakan semampunya. Dan satu lagi, sebelum kami pamit,” ujar Ferdi membuatku penasaran.

“Apa sob?”

“Dapat salam lekas sembuh dari Pak Irwan, bapaknya Bu ketum. Sekarang posisi Adiba sekeluarga masih umroh, bro. Besok setibanya mereka kembali ke tanah air, mereka sekeluarga akan berombongan ke Malang tuk menjengukmu, sekalian melamar katanya,” bisik Ferdi.

“Hah! Whatttt,” aku kaget sekali mendengarnya.

Karena jam besuk dan jumlah penjenguk di batasi. Kawan-kawan Punggawa tak bisa lama-lama disini. Mereka pamit. Besok akan kemari lagi. Seusai mereka keluar ruang. Mbah Putri, Nenekku, tiba-tiba berkata, tadi siang, juga ada orang tak dikenalnya bernama Kang Sanun, datang bersama istri dan anak-anaknya. Namun Kang Sanun terburu-buru, lalu balik sebelum aku siuman. Karena ada hajatan keluarga. Sebelum pulang, beliau menitipkan amplop tebal buatku kepada nenek. Tahu darimana ... orang itu kalau aku kecelakaan dan di operasi. Dasar Kang Sanun yang misterius. Barangkali dengan itu, Kang Sanun ingin mengajariku sekali lagi tentang nasehatnya kemarin itu, ikhwal, Min Khaisu La Yah Tasib—rizki Allah itu tanpa di sangka-sangka datangnya.

Aku masih tak percaya dengan semua kejadian ini. Aku masih tak percaya aku mendadak kecelakaan. Tulangku pundak kiriku retak. Harus di operasi dan dirawat entah berapa hari disini. Dan tentu, aku yang sempat ragu, akan mampu membiayai diriku di rumah sakit. Nyatanya, semua bahu membahu membantuku. Kawan-kawanku saling swadaya. Para tetangga dan sanak saudara Kakek dan Nenekku bahkan tak ada yang absen menjenguk dan berbagi beban biaya. Dan yang masih membuatku tercenung, apakah dengan tragedi ini, Allah Ta’ala membukakan jalan, ikhwal restu cintaku dengan Adiba. Sembari merebahkan diri memandangi langit-langit kamar rumah sakit, aku melamun, apakah ini nyata. Apakah ini realita. Rasanya, ini seperti kisah di negeri dongengku saja. Seperti skenario film-film ala kadarnya.

Aku salah jika merasa sendiri di dunia ini. Ternyata, aku di limpahi orang-orang terkasih. Orang-orang yang kukira tak peduli pada hidupku. Nyatanya, mereka peduli dan ada untukku. Bahkan Mirzam, yang akhirnya tahu aku kecelakaan. Gara-gara melihat status sosmedku, malam ini menyempatkan waktunya tuk menjengukku sebelum pergi ke luar negeri. Padahal aku bukan sengaja mengumbar kondisiku yang sedang di rawat disini. Mirzam ternyata cukup peka. Hanya dengan membaca status sosmedku yang sesungguhnya aku biaskan menjadi sebuah narasi syair maupun puisi. (kegemaranku baru-baru ini).

***

Hari kelima di rumah sakit. Aku pun akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan menjalani pemulihan tulangku di rumah saja. Kondisi vitalku memang cukup baik. Sejatinya, jika bukan untuk memasukkan obat pemulihan tulang. Aku tak perlu di infus. Aku kini sudah mampu berjalan. Hanya tangan kiriku yang belum leluasa kugerakkan. Kawan-kawan Punggawa Indonesia berombongan menjemputku. Mereka menyewa mobil untuk mengangkutku beserta Kakek beserta Nenek. Tentu, mereka tak tega. Jika aku pulang ke rumah harus naik bus dengan kondisiku tulangku yang belum pulih sempurna.

Selama perawatan di rumah. Aku di wajibkan Dokter Yusuf agar tak banyak bergerak dan tentu tak boleh mengendarai motor terlebih dahulu. Jangankan untuk keluar kota, keluar untuk sekedar ngopi aku tak di perbolehkan. Hanya keluar untuk chek up saja. Aku benar-benar harus belajar menikmati berdiam diri. Soal minum obat rutin tentu aku siap. Tapi untuk diam saja tak bergerak, aku sedikit nakal. Meski belum terlalu pulih. Aku memaksakan diri ikut sholat berjamaah di masjid. Meskipun terasa nyeri jika ingin bangun dari sujud.

***

Seminggu berlalu. Cidera patah tulangku kian membaik. Pagi ini, aku buru-buru sekali datang untuk chek up ke rumah sakit. Dokter Yusuf sudah menjadwal jam konsultasi untukku, hari ini pukul 11.00 WIB. Saking semangatnya diriku berusaha untuk pulih secepatnya, karena jalan panjang menghalalkan Adiba selalu nampak di depan mata, sampai-sampai aku lupa pada ponsel yang sedari dulu selalu tak lupa kubawa kemana-mana. Karena tak ada mobil pinjaman dan Ferdi dkk di Rumah Punggawa sedang sibuk-sibuknya, hari ini, aku minta dibonceng kakek saja menuju rumah sakit kota. Medical chek up di ruang spesialis orthopedy berlangsung cepat. Aku dipinta agar tak mengendarai motor terlebih dahulu dan dokter Yusuf memberi resep obat untuk kutebus di apotik rumah sakit. Aku pulang dan kembali pada rutinitas penyembuhan, duduk manis di sekitaran rumah.

Selama ini, aku sama sekali tak pernah merancang apalagi mengevaluasi lajur hidupku. Menjalaninya detik per detik bagai aliran sungai berantas. Aku mengalir begitu saja dalam roda dunia, arus peradaban manusia yang riuh menggema. Hingga di hari ini, di hilir bulan oktober. Seminggu setelah pulang dari rumah sakit. Aku mulai memikirkan arah kehidupan duniaku nantinya seperti apa. Sebenarnya, apa yang ingin aku tujuh itu.       

Mereka, semua kawan masa kecilku, kini sudah ada memiliki dua istri, satu anak, tiga mobil dan sebuah istana untuk orang tuanya. Ada sahabat karib saat kuliah yang telah melambung karirnya sebagai pejabat pemerintahan, di kota barunya. Juga ada yang mewujudkan mimpinya jadi orang kaya, tampil jadi pengusaha kelas kakap di perantauannya. Dan ada yang tetap berkutat di dunia ilmu, mengabdikan diri sebagai dosen di salah satu universitas ternama. Dan aku yang masih jadi manusia serba tuna, haruskah depresi tatkala disandingkan dengan itu semua.

Di bawah naungan rimbun bambu di belakang rumah. Tiba-tiba aku teringat, pernah ada seorang ibu pengasuh panti asuhan yang sering kudatangi di kota Jakarta dulu, sewaktu masih kuliah dan menjadi aktivis mahasiswa. Ibu itu iseng-iseng pernah meramalkan masa depan percintaanku. Kapan aku akan diperjumpakan dengan jodohku. Kata kawan-kawan kuliahku waktu itu, ibu itu bukan orang sembarangan, sejenis orang yang punya kelebihan bisa mengetahui hal yang belum diketahui orang.

Kata ibu itu dulu, aku bakal cukup lama bertemu jodohku, kemungkinan tidak akan menikah di usia muda. Kalimat itu terngiang-ngiang hari ini di relungku. Pada saat itu, aku tak terlalu percaya dengan ramalan-ramalan. Tapi hari ini, aku mulai merenungkannya. Memang di usia dua puluh tujuh tahun sepertiku, seorang lelaki, sepertiku ini, seharusnya sudah menata mahligai keluarga. Jika meneladani Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Beliau saja menikahi siti khadijah di usia dua puluh lima.

Lihat selengkapnya