MOVEMENT

Fahri NR
Chapter #23

Aturan Peralihan

Alam pedesaan itu masih membeku. Memandu para warga tuk bangun dan bersubuh. Embun-embun pagi buta pun ikut bertasbih. Dedaunan melambai tuk menyahut tahmid. Angin fajar menggerakkan ranting-ranting agar ikut melenggak-lenggok bertahlil. Dan semua manusia di rumah mewah itu tengah larut dalam istighfar. Tiga perempuan salihah dengan nasib masing-masing yang berbeda. Seorang ibu paruh baya dan kedua putri tirinya. Ialah Bu Nida, Sakinah dan Adiba nama ketiga perempuan itu. Mereka bertiga, kini telah selesai berjamaah subuh di rumah. Kenapa Bu Nida yang menjadi imam. Dimanakah Pak Irwan, kepala keluarga dari rumah megah berisi tiga perempuan salihah itu?

Ternyata Pak Irwan pagi itu memilih sholat subuh berjamaah di masjid. Beliau juga telah menyelesaikan rutinan berdzikir paska subuhnya dan lekas ia pulang ke rumah. Lihatlah Pak Irwan yang sedang berjalan pulang seusai keluar dari pintu masjidnya itu. Jika diperhatikan, mata Pak Irwan yang mulai berkeriput itu bulat menyipit. Hidungnya sungguh mancung dan dagunnya berjambang cukup lebat. Pak Irwan itu bagai seorang pria dari arabia. Memang, leluhurnya ada campuran orang gujarat. Pagi itu, kedua telapak tangannya terasa membeku. Entah karena apa. Sedangkan di kedua kaki yang terbalut sandal slop hitam mengkilat itupun kian berjalan berat. Ia menyeru asma Ilahi berkali-kali sepanjang perjalanan pulang. Hingga suaranya cukup serak.

Sesudah ia sampai di rumahnya pagi itu, lantas Pak Irwan pun menuju belakang rumah. Mungkin pria baya itu mulai lelah dengan kesibukan hari-harinya yang padat melelahkan. Dan tiba-tiba, pagi itu ia tak ingin tergesa-gesa berangkat kerja-kerja politik atau mengurus bisnis seperti biasanya. Ia ingin sekali menikmati suasana rumah berduduk santai sejenak. Semakin mendekat ia ke kursi di teras belakang. Semakin nampak jelas, kedua bola matanya semakin sayu.

Berdetik-detik ia memandang langit penghujung fajar. Hingga akhirnya ia menunduk. Takut. Mungkin itu menenangkannya. Ia mengalihkan pandang ke permukaan kolam ikan. Tak tahu, apakah itu juga hobinya. Dan tatkala ia memandangi permukaan kolam yang airnya mulai hijau itu, ia mendengar seretan langkah tapak kaki yang semakin mendekat padanya. Ia pun akhirnya memalingkan wajah ke arah belakang. Namun tak ada siapa-siapa disana. Bu Nida istrinya, dan kedua putrinya—Adiba dan Sakina, sehabis subuh selalu mengaji di kamar masing-masing. Lantas suara kaki siapa itu tadi.

Dan tiba-tiba saja, sebuah kalimat yang paling tak terduga di pagi itu, keluar dari bibir Pak Irwan. “Laaaa ila-la ha-a il—ilooowooh_______________________________________

Duhai pemilik segala maha. Sesungguhnya kami semua adalah milik-Mu. Dan hanya kepada-Mu lah kami kembali. Sungguh kami semua teramat rindu bersatu dengan-Mu. Seperti pula yang terjadi kepada Pak Irwan Notonegoro, salah satu manusia di hamparan bumi raya yang kau panggil tuk kembali kepadamu di muara pagi ini.

Di salah satu sudut kamar rumah itu. Adiba, putri bungsu Pak Irwan, sedang menuntaskan murojaahnya. Pagi ini, ia mengasah kembali hafalan surat-surat pilihan. Surat al-fatihah, yasin, arrahman, waqiah, al-mulk, dan ia tutup dengan dzikir dan doa, ijazah dari Bu Nyai Tsuroiyyah, pengasuh pesantren tahfiz-nya dulu. Itu jadwal yang rutin ia lakukan sehabis subuh. Kalau surat-surat yang lain, biasanya ia jadwalkan di waktu sebelum magrib. Mendadak, hati Adiba berdesir tak karuan. Saat ia belum melantunkan doa untuk kedua orangtuanya di ujung rutinan ibadahnya pagi ini. “Rabbighfirli waliwali daiyya warhamhuma kama rabbayani shoghiro.”

Adiba berjingkat dan keluar kamar. Tatkala ia mendengar teriakan dan tangis bahana Bu Nida. Meneriaki dan memaksa suaminya agar jangan meninggalkannya. Jantung Adiba berdesir hebat. Kenapa pagi-pagi mereka bertengkar. Ah, bukan. Terka Adiba. Ia menggedor-gedor dan membuka paksa pintu kamar Sakina. Ternyata kakaknya sudah tak ada di kamar. Adiba lemas, tatkala ia juga mendengar kakaknya menangis kencang. Melebihi tangisan yang dibahanakan Bu Nida tadi.

Segera Adiba berlari kencang menuju teras belakang rumah. Ia mendapati Bu Nida tengah menangis meraung-raung di lantai. Sakina kakaknya, memeluk erat-erat tubuh Pak Irwan yang duduk terlentang kaku. Kaki Adiba gemetar ketakukan. Matanya terbelalak. Mulutnya tercekat tak bisa berkata, apalagi menangis keras seperti Bu Nida dan kakaknya. Ia lemas lunglai. Hingga Sakina memeluk adiknya itu, barulah Adiba tersadar. Lelehan air mulai mengalir deras dari ujung kelopak matanya membasahi pipi.

Adiba hanya mampu berkata, “Bapak ... Kak, Bapak! Kak ...” tatkala pelukan kakaknya kini semakin erat melingkari tubuh lunglainya. Lantas ia mulai berjalan pelan. Sangat pelan. Menghampiri tubuh Pak Irwan yang mulai pucat. Tubuh ayahnya, yang seminggu lalu, baru saja mengantarkannya ke menemui keluarga Pijar di Malang, untuk melamar kekasihnya itu sebagai menantunya. Merestui Pijar menjadi suaminya.

Ya Allah, tubuh kaku dan pucat itu, seharusnya, sebentar lagi akan menjadi wali di pernikahannya. Bagaimana nasib Adiba setelah kejadian ini. Bagaimana nasib pernikahannya dengan Pijar. Bagaimana ia dan keluarganya akan menjalani semua ini. Mendadak, Allah Ta’ala, Tuhan pemilik semesta raya, dengan nyata dan paksa, telah mengambil ayahnya pagi ini.

Lihat selengkapnya