Ironis, demikian dia selalu menyebutkannya, dan beginilah jika dia diberi kesempatan untuk menuliskannya di lembar apapun juga: “Saya adalah seorang anak laki-laki yang dilahirkan dari ibu yang membenci laki-laki, tidakkah itu membuat saya merasa terkutuk?”
Berulang-ulang. Ibunya seringkali mengedepankan Adam dan Hawa sebagai perumpamaan betapa buruknya laki-laki, beginilah ibunya sering bercerita (dengan kegeraman yang hampir jelas di mata dan tarikan bibirnya):
“Irwan, Kamu harus tahu cerita ini, ketika Tuhan memergoki Adam dan Hawa memakan buah terlarang, Hawa dengan jiwa perempuannya berkata pada Tuhan: ya saya bersalah. Tapi Adam, sebagai laki-laki malah berkata: perempuan itu yang memberikan buah terlarang padaku. Maka dari itu ibu tidak suka laki-laki karena mereka egois, selalu menyalahkan perempuan, tidak mau kalah, dan tidak mau dianggap salah!”
Makin lama dia merasa kebencian ibunya pada laki-laki makin besar, hingga puncaknya ketika satu hari ibunya menghardik “Tahu bakal begini, lebih baik dulu ibu aborsi kamu!”
Disusul sebuah tamparan mendarat di pipi dan Irwan kecil menangis, lebih menyayat dari tangis manapun yang dia keluarkan. Padahal saat itu kesalahannya sederhana, mencuri uang seribu rupiah. Sebagian anak kecil di dunia pasti pernah melakukannya, tapi mengapa kata aborsi itu yang keluar?
Ketika sudah besar—ketika Irwan mengetahui arti aborsi yang sebenarnya—dia mengkonfirmasi itu, dan ibunya mengiyakan dengan dingin. Benar, kamu memang dulu mau diaborsi. Kakakmu yang seharusnya menjadi bungsu.
Akhirnya sejak itu Irwan merasa begitu terasing, bahkan dari ibunya sendiri. Saat itu dia bertanya-tanya, apakah kehadirannya tidak diinginkan? Apakah ibunya tidak mencintai dia? Apakah ibunya akan benar-benar membunuhnya? Sejak itu dia merasa ibu tidak menginginkan dia ada dan hanya keterlanjuran yang memaksa mereka berkasih sayang. Jadi bukankah kalau begitu maka semua kasih sayang ibunya adalah palsu?