Mari kita mundur agak jauh, ketika itu Irwan masih sepuluh tahun. Pada sebuah malam, untuk pertama kali dia mendengar orangtuanya bertengkar. Entah apa masalahnya, tapi untuk pertama kalinya dia mendengar ibunya menangis begitu menyayat. Saat itu dengan keluguannya dia bertanya-tanya, mengapa rumahnya begitu kecil hingga pertengkaran yang ada di ruang tamu seolah ada di dalam kamarnya? Mengapa ayah yang pada siang hari bermain begitu ceria dengannya, ternyata bisa membuat ibu menangis seperti itu?
Pada detik-detik itu dia ingin berkumpul dengan kakak-kakaknya, tapi dia tidak berani beranjak, dia tetap meringkuk, sebelum dia mendengar ibunya menangis di depan pintu kamar, dan terdengar pula suara pintu depan dibanting. Suara langkah ayahnya terdengar menjauhi rumah.
Dia tahu ayahnya tidak akan pergi selamanya, tapi dia tetap merasa sedih, dan kembali bertanya-tanya apakah suatu saat ibunya akan dibunuh oleh ayah? Atau sebaliknya?
*****
Pagi hari, ayahnya sudah ada lagi di meja makan. Ibu pun masih melayani sarapan keluarga meski dengan wajah mendung. Ketika itu untuk pertama kalinya dia belajar tentang pengingkaran. Pengingkaran ayah ibunya akan kenyataan.
Untuk pertama kalinya juga dia mengamati wajah ayah dan ibunya. Ibunya adalah tipikal perempuan pekerja keras dan menyukai kesempurnaan, Dia seperti mudah mendominasi sesuatu, atau memenuhi ruangan tempat dia sedang berada. Di saat begitu sangat sulit mengalahkannya, sebab dia tidak akan melepaskan kekuasaan yang sudah dia genggam.
Tapi di lain waktu ketika ibunya sedang tenang dalam diam dia bisa jadi sangat mudah ditaklukkan, dia menjadi perempuan yang bersikap seperti perempuan keraton, penyayang dan mendamba disayang. Di tempat tidur dia akan jadi pendongeng ulung, selimut abadi bagi anaknya yang bergelung kedinginan, pelepas lelah suami yang seharian pergi dan baru pulang.
Maka dengan semua sifat itu sudah lama Irwan percaya bahwa ibunya bisa menciptakan takdir sendiri, ibunya tidak pernah mau menyerah pada nasib. Mungkin pada satu saat, nasiblah yang harus menyerah padanya.
Ketika Irwan sudah agak besar dan mengenal cerita wayang, dia menyamakan ibunya dengan Drupadi, sosok perempuan pendamping Yudhistira. Perempuan yang penurut dan mengikuti nasib harus menikah dengan sulung Pandawa, padahal hatinya cinta pada Arjuna—bahkan begitu penurutnya—sampai dia rela dipertaruhkan dalam arena judi dan dipermalukan oleh Dursasana.
Tapi pada satu saat Drupadi mampu menjelma jadi perempuan yang menentukan takdirnya sendiri saat dengan kesadaran sendiri dia bersumpah akan mendampingi suaminya selama dua belas tahun masa pembuangan, sekaligus tidak akan menyanggul rambutnya sebelum dikeramas oleh darah Dursasana.
Kembali pada ibunya, setiap malam Drupadi itu akan bercerita sebelum Irwan tidur, dan inilah satu dari sekian sedikit cerita yang Irwan ingat…