Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #3

IRWAN: Bayangan Ayah dan Kakak Adalah Hantu Sesungguhnya

Sebenarnya dia punya kakak. Empat semuanya, tapi kakak pertama tak pernah bertemu karena meninggal ketika bayi.

“Dia sakit panas, lalu pada hari ketiga dia meninggal.” Demikian ibunya selalu bercerita “Dia satu-satunya kakakmu yang perempuan, setelah dia meninggal ibu tahu kalau ibu tidak akan pernah punya anak perempuan lagi.”

Sejak itu Irwan sering membayangkan apa jadinya bila kakak perempuannya itu masih hidup? Mungkin rasanya menyenangkan bila punya kakak perempuan.

Lalu kakak yang keduanya, laki-laki. Selisih tiga belas tahun dengannya. Maka itu Irwan tak pernah betul-betul ingat akan dia, apalagi rasanya sang kakak tidak pernah ada di rumah, hanya muncul sesekali, itu pun hanya kelebatan sempurna. Setelah agak besar baru dia tahu kalau—pada satu waktu yang terlewat oleh kenangannya—kakaknya sudah pergi dari rumah, ibu mengusirnya. Saat itu dia masih terlalu kecil dan terlalu takut untuk bertanya kenapa.

Tapi seingatnya pada suatu malam, beberapa tahun setelah pengusiran itu, kakaknya pernah juga pulang, entah kemana dia berkelana sebelumnya. Saat itu Irwan beserta kakak yang lain duduk mengelilingi kakak kedua di teras, mereka bertukar cerita.

Irwan yang masih terlalu kecil tidak bicara apa-apa, dia hanya menangkap sekilas-sekilas bahwa kakaknya itu kini membuka usaha kerajinan kulit. Selebihnya tidak terlalu jelas, apalagi karena sudah terlalu malam, Irwan tertidur dan keping ingatan berikutnya adalah sosok ibunya yang membopong dia masuk ke kamar, kakaknya sudah lenyap entah kemana. Mungkinkah dia lenyap bersamaan dengan kemunculan ibu?

Namun sejak itu kakak keduanya tak pernah terlihat lagi, meninggalkan Irwan yang bertanya-tanya.

Kakak kedua dan ketiga hanya berbeda setahun, hingga kenangan akan mereka sama samarnya. Irwan tidak pernah benar-benar paham, yang Irwan ingat kakak ketiga ini sedang ada di sebuah sekolah yang mengharuskan siswanya tinggal di asrama. Tapi lalu tiba-tiba sang kakak juga menghilang, kabarnya ibu mengusir dia dari rumah. Kenapa? Dia masih terlalu kecil untuk berani bertanya. Dia hanya berharap ketika sang kakak pulang meski hanya sekejap, dia sudah cukup besar untuk bertanya ada apa. Mungkin akan dilakukannya sambil bercengkrama di teras seperti ketika kepulangan singkat kakak kedua? Siapa tahu.

Tapi kakak ketiga ini ternyata tidak pernah muncul lagi. Ibunya pernah sekilas berkata bahwa sang kakak ada di Lampung. Tapi tidak ada penjelasan tambahan. Irwan kembali bertanya-tanya.

Hidup terus berputar meski tak pernah menghitung siapa penghuninya. Kini tinggal Irwan dan kakak keempat. Kakak yang paling dekat dengannya, selisih umur mereka sepuluh tahun dan untung sang kakak tidak pernah merasa terlalu besar untuk bermain dengan adiknya. Tapi tetap saja Irwan cemas, kepolosannya mengasumsikan pada suatu hari kakak keempat ini juga akan diusir Ibu. Tapi kapan? Entahlah. Sampai satu saat, ketika mereka sedang duduk di pinggir kolam ikan, Irwan mempertanyakan itu. “Apa kakak akan pergi juga?”

“Tidak…” kakaknya adalah tipikal orang yang suka menjawab pertanyaan sependek mungkin, kadang sang kakak tidak merasa kalimatnya perlu dimengerti, jadi dia hanya menjawab dengan kata pertama yang terlintas di benaknya. Suatu sifat yang melekat juga pada Irwan ketika beranjak dewasa.

Lihat selengkapnya