Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #4

IRWAN: Obrolan di Kamar Pengantin 1

“Jadi itu alasannya kenapa bapak, atau kakak nggak hadir?”

Memang tadi siang dia sudah menjalani sebuah akad nikah sederhana yang hanya disaksikan oleh ibunda. Namun siapa yang menginginkannya? Tentu sebagai seorang anak Irwan mengharapkan keluarga lengkap, atau minimal ayah dan ibu bergandeng bersama menyaksikan akad. Tapi memang kenyataan berbeda, maka dia tak punya pilihan selain mengangguk.

“Sayang, kamu menyesal punya suami yang bapaknya tidak jelas ada di mana?” Irwan bertanya tapi istrinya tidak menjawab, malah menyembunyikan wajahnya di dada Irwan lebih dalam. Perlahan terasa gelengannya, Irwan menarik nafas, ada kelegaan menyusup. “Ada ruginya juga ya nikah dengan tukar menukar biodata seperti kita? Di sana kan cuma tertulis nama ayah dan nama saudara kandung, tapi kan tidak ada pertanyaan dimana si ayah sekarang, di mana kakaknya sekarang, betul kan?”

“Tapi kan jadi lebih terjaga kang...”

“Iya sih... tapi...”

“Sudah jangan dibahas! Nisa terima akang apa adanya, nggak ada penyesalan, jadi jangan dibahas lagi ya...”

Dia tersenyum, memeluk istrinya, menciumnya sekali lagi, mereka berbaring, saling menatap, di kasur terasa wangi melati yang ditaburkan. Kata orang tua melati-melati itu biarlah di sana hingga layu, jangan langsung dibuang. Mereka menurut.

Sementara jam kuno di ruang tamu sudah berdentang dua kali. Tapi tak ada kantuk, yang ada hanya keinginan berbagi cerita, mereka masih usia dua puluh lima, mereka dulu hanya bisa saling berpapasan kala di kampus, tapi kini mereka bisa saling menyentuh. Tapi anehnya yang ada justru keinginan berbagi rasa, berbagi keluhan, berbagi masa lalu. Tak ada gairah tinggi seperti yang dibayangkan banyak orang ketika malam pertama.

Bukankah waktu kita panjang hingga gairah bisa terpuaskan kapan saja? Tapi malam pertama dengan bertukar kata, bertukar doa, dan bertukar senyum akan lebih bermakna?

“Kang... pertanyaan tadi sore kenapa jawabannya aneh?”

“Yang mana?”

“Waktu Nisa tanya kita mau tinggal di mana, akang malah bilang sosok, sosok gitu, maksudnya apa sih? Maaf, Nisa bukan tipe perempuan romantis yang ngerti bahasa-bahasa begitu...”

Irwan baru tahu kalau istrinya memang selalu bicara apa adanya, tidak berbunga-bunga atau memakai kiasan. Mencerna kalimat-kalimat dari bibir indahnya niscaya akan sangat mudah. Demikian Irwan berpikir.

“Maksudnya? Ya, memang begitu, saya memang tidak punya rumah lain untuk pulang. Semua tempat rasanya sudah tidak ada yang akrab lagi.”

“Aneh kang, mestinya seseorang minimal punya satu tempat pulang, misalnya kota tempat dia dilahirkan.”

Lihat selengkapnya