“Singkatnya sih, di Cilodong itu sedang ada proyek mall besar yang sebagian tanahnya disewakan ke penduduk sekitar, khusus untuk masyarakat yang mau buat warung di sekitar proyek. Banyak masyarakat yang tertarik…”
Dia merenung lagi, berusaha mengingat-ingat, tapi bayangan cerita itu memang tidak pernah bisa benar-benar pergi dari memorinya. Tentang bagaimana pada suatu ketika, dia dan Adim melangkah menyibak maghrib yang hampir usai, sambil berjalan Adim memperkenalkan lagi daerahnya karena terlalu banyak yang berubah, terlalu banyak yang luput dari ingatan. Bagaimana tentang rumah-rumah yang sudah berganti, bagaimana tentang kenalan lama yang sudah menikah atau pindah ke luar kota, siapa yang meninggal, siapa yang pergi dan tak pulang-pulang.
Lalu ketika mereka menyusuri jalan utama, Irwan merasa lingkungan ini lebih ramai daripada dulu. Lalu tak lama mereka datang ke sebuah tempat yang sangat bising oleh raungan mesin-mesin berat, suara bertalu-talu entah apa, kerekan rantai, dan banyak suara berat lain. Sorot lampu yang letaknya di dekat langit tampak mendekat, puluhan orang berpapasan, semuanya dengan helm kuning seragam tapi sebagian tak berbaju, sebagian dengan kaos lusuh atau tanpa lengan, berbagai peralatan di tangan. Ini rupanya sebuah proyek mall.
Irwan masih ingat ketika dia memandang ke langit, gedung itu seperti sudah menyundul awan, di ujungnya ada papan besar bertuliskan perusahaan pemilik proyek ini, lama-lama tulisan itu pun bisa terbaca di pagar-pagar pembatas dari seng, di beberapa alat berat dan helm para pekerja. Sekejap Irwan merasa asing, padahal dia merasa kenal tempat ini.
“Begitulah, ternyata ada rentenir yang menguras uang penduduk lewat pinjaman dan penyitaan yang tidak masuk akal. Banyak penduduk yang terjebak oleh kertas perjanjian, itu kondisi yang saya temui waktu pulang ke sana.”
“Lalu?”
“Saya bergerak, dibantu Adim dan beberapa orang lain.”
“Caranya?”
“Begini cara mereka memeras pedagang, setiap kali para pedagang itu telat membayar maka otomatis uang sewanya berbunga sekian persen, dan begitu seterusnya. Menurut Adim, setiap bunga itu sebenarnya tidak benar-benar berbentuk bunga uang, tapi penyitaan barang. Kalau bulan berikutnya barang tersebut mau digunakan maka kita harus bayar sewa. Jadi kalau bulan ini kita tak bisa bayar, mungkin etalase kita mereka sita, tapi tak mereka ambil. Tapi bulan depan kita harus bayar sewa kalau mau pakai etalase itu. Mungkin itu juga berlaku ke piring, sendok, atau panci. Mereka seenaknya tentukan barang yang mau disita, dan bahkan mungkin di sebuah warung, semua yang kita lihat itu barang sitaan.”
“Kok bisa?”
“Ya memang itu kenyataannya, jadi waktu itu teori pemecahannya sederhana. Karena semua pedagang di sana bermasalah dengan barang-barang yang harus disewa, kadang dengan harga yang tidak masuk akal. Jadi saya membuat gerakan pengumpulan barang sejenis, lalu menyuruh pedagang untuk memberikan barang yang terlanjur kena sewa secara cuma-cuma kepada pihak rentenir. Istilahnya adalah mengembalikan barang itu.”
“Cerdas juga…”