Dan inilah yang terjadi padanya setelah itu: mereka berdua mencari tempat tinggal dan menemukannya di pinggir kota. Rumah itu menarik perhatiannya karena pintunya menghadap matahari terbit, jaminan rumah tak akan mudah lembab.
Pagar hidup di halaman depan begitu hijau dan kelihatan baru dipangkas, cat kuning muda yang bersih, pekarangan tanah yang kosong—dia merencanakan sebuah apotik obat seperti milik ibunya dan istrinya menginginkan taman bunga kecil di sebuah sudut. Dari sudut dia berdiri sekarang dua jendela kayu mungil berpelitur seperti mata yang berkedip-kedip menyambutnya, genteng hijau tua, dan pintu kayu berukir. Tidak seperti yang dia impikan tapi setidaknya dia tak harus tinggal di pinggir rel kereta atau sungai.
Letaknya tepat di pinggir jalan desa tapi sangat jauh dari jalan raya, sekitar satu jam lebih jalan kaki. Tapi tak apa, banyak orang yang bercerita kalau daerah ini nantinya akan jadi ramai karena ada rencana pembangunan terminal bus luar kota tak jauh dari sana. Tapi entah tahun berapa, dia tidak berharap akan cepat. Sebab dia sudah lama belajar sebuah pembangunan akan lambat mencapai pinggiran kecuali ada maksud-maksud tertentu.
Dia mengangguk, istrinya juga. Harga sewa sudah disepakati dan sesuai dengan anggarannya. Di samping mereka seorang ibu separuh baya, memakai kemeja tangan panjang dan kain coklat, sanggul asal-asalan. Dia pemilik rumah ini. Pipi ibu itu yang menonjolkan raut tua, separuh mengingatkan Irwan pada ibunya. Tapi tak lama sebelum ibu itu berkata.
“Neng, kapan mau pindah?” pertanyaan itu untuk istrinya tapi Irwan yang menjawab, minggu depan, selain harus menyeleksi barang apa saja yang harus dibawa, dia merasa sebuah kepindahan memerlukan lebih dari sekedar persiapan biaya dan fisik, tapi juga mental, dan itu yang sedang dia lakukan.